Chang, Pejuang Tanah Timur-Bagian 8

           Chang
            Kapal bergerak pelan membelah lautan. Angin, burung camar, dan bau garam menggelitik penciuman Chang. Ini kali pertama ia berlayar dengan kapal penumpang. Beruntung ia tak perlu mengalami mabuk laut. Orang-orang memenuhi dek dengan makanan, ocehan, dan aroma keringat. Dari kejauhan nampak kapal lain yang lebih besar lewat. Yher, teman seperjalanan Chang, tengah kerepotan menguras isi perutnya. Sedari tadi ia tak beranjak dari tempatnya berada. Chang merasa kasihan. Mungkin aku harus menyeduhkan teh untuknya, pikirnya. Belum sempat Chang melangkah, kapal berguncang keras. Tanpa permisi, ombak setinggi beberapa kaki menghantam sisi kiri kapal. Oleng. Terjadi kekacauan. Orang-orang di dek menjerit-jerit. Para anaku buah kapal berlarian.
            Chang berpegang pada tiang layar. Kali ini perut dan kepalanya serasa diaduk-aduk. Tubuhnya basah oleh cipratan ombak kedua yang jauh lebih tinggi. Ia menempelkan kepala pada tiang, menutup mata, dan mencoba berkonsentrasi memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Kapal berguncang-guncang hebat. Makin banyak ombak yang datang. Makin banyak kegaduhan yang terjadi. Namun Chang tidak berani membuka matanya. Seseorang menarik tangannya, "Tinggalkan kapal! Kapal hampir tenggelam!" Chang menggeleng keras. "Tidak, kalau aku melepaskan pegangan dari tiang ini, ombak besar itu akan menelanku!"
"Jangan ngotot!" teriak orang itu lagi."
"Pergilah sendiri! Aku yakin akan selamat dengan kapal ini!" usir Chang.
            Ia menanamkan kepercayaan kuat-kuat dalam hatinya. Yher saja tidak menyuruhku meninggalkan kapal. Aku yakin Yhertengah bersembunyi. Tidak mungkin nahkoda itu membiarkan kapal dan penumpangnya tenggelam, pikir Chang. Hujan turun sangat deras. Angin melolong kencang. Layar berkibar-kibar keras, menyakiti telinga Chang. Kapal mulai miring. "Tidak!" pekik Chang. "Kumohon, siapapun, dewa atau apapun yang menciptakanku. Meski aku tak tahu wujudmu dan sering mempertanyakan keberadaanmu, sekali ini saja selamatkan nyawaku. Aku tidak mau mati! Aku ingin bertemu kakekku! Tapi tidak untuk saat ini!" Tubuh Chang basah sepenuhnya. Suara-suara teriakan telah hilang. Ia merasa kehilangan daya. Kapal itu benar-benar miring, hampir 900. Chang merasa bergelantungan di tiang layar kapal. 
Di buritan, Chang melihat Yher berpegangan. Wajahnya pias dan tubuhnya basah kuyup. "Chang!" jerit Yher untuk terakhir kalinya sebelum ia melepaskan pegangan. "Yher!" Chang berteriak sekencang-kencangnya. Laut menelan Yher tanpa sisa. Chang semakin kalut. Ia menenggakkan kepala dan melihat kumpulan awan badai. Gulungan air siap menelan dari segala penjuru. "Aku ingin percaya bahwa apa yang Jem yakini selama ini benar. Aku percaya pada dewa-dewa, aku percaya Jem, dan aku percaya terompet ini!" Chang meniup terompet pusaka tanah timur. Namun ia tidak memiliki tenaga lagi. Suara yang dihasilkan begitu kecil. Mulutnya justru dipenuhi air asin. Chang mengalungkan terompet itu ke lehernya sebelum kapal benar-benar tenggelan seluruhnya.
            Hening.
            Debur-debur kecil terdengar. Chang merasa tubuhnya terayun-ayun. Kepalanya pening. Matahari bersinar terik membakar kulitnya. Sejauh mata memandang hanya air, air, dan air. Ia sendirian, di laut lepas, berpegang pada bilah kayu lapuk yang terus bergoyang oleh gelombang. Pikirannya terserang gelombang panic. Sudah berapa lama aku di sini? Kemana orang-orang? Bagaimana caraku mencapai daratan? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benak Chang. Rasa haus dan lapar menggerogoti perutnya. Inilah yang disebut kesepian. Ketika di sekelilingmu hanya ada kau dan dunia yang terhampar luas. Batas langit dan bumi begitu jelas.
            Jejak-jejak badai habis menghilang. Cuma kayu lapuk tempat berpegang Chang ini yang tersisa dari kapal. Entah di mana titik karam kapal. Juga titik tenggelam penumpang lain. Aku akan selamat, aku pasti selamat, aku pasti mencapai daratan terdekat. Chang berusaha menggerakkan kakinya. Ia mengingat-ingat dulu ketika ayahnya berenang di sungai. Menyesal Chang menolak diajari berenang oleh ayah. Seketika Chang teringat saat itu, ketika usianya baru lima tahun. "Chang, kemarilah," panggil ayah. Chang menghampiri ayahnya. "Lepas pakaianmu."
"Untuk apa ayah? Apa kita akan main air?"
"Bukan nak, ayah ingin mengajari berenang."
"Berenang?"
"Iya, di sungai. Ayo!"
"Aku tidak mau, ayah. Sungainya sangat dingin."
"Baiklah, ayah tidak memaksa. Tapi coba kau perhatikan ayah baik-baik. Berenang itu menyenangkan sekaligus menyehatkan. Nah, begini caranya. Gerakkan kakimu, atur posisi tubuhmu. Kau pasti bisa."
            Chang mengusap air matanya. Bukan cuma karena rindu yang menendang-nendang dari dalam dada ingin bersua dengan ayah. Chang merasa perih luar biasa. Air laut ini akibatnya, pikir Chang. Ia menggerak-gerakkan kakinya persis seperti yang ia ingat dari gerakan ayah. Sedikit, sedikit, maju sedikit demi sedikit. Hingga Chang sadar ia tak kemana tujuannya dan kenapa ia belum ajuh beranjak. Aku tidak boleh putus asa! Ia terus menyemangati diri. Ayo, ayo, ayo, desaknya pada diri sendiri.
            Namun hingga hari mulai gelap, semakin menguap harapannya mencapai daratan. Seakan bumi betul-betul kosong. Tidak ada kapal lain yang lewat. Bahkan seekor burung yang berenang di atas laut atau ikan di dalam air tak ia temukan. Chang sudah capek berenang. Dadanya kembang kempis. Bunyi dari perutnya makin membuyarkan semangat. Ayah, ibu, apa aku akan segera bertemu kalian? Kakek, maafkan aku karena pergi diam-diam. Apa kakek sudah sembuh?
            Chang tertidur akibat kelelahan. Tahu-tahu gelombang air telah menghempaskannya sangat jauh. Samar, ia melihat pantai. Chang berjuang sekuat tenaga. Ia terus berenang. Tak dipedulikannya lelah, lapar, haus, dan sakit. Semua ia tepis dari pikiran. Aku harus selamat, harus, demi bertemu kakekku suatu saat nanti. Setelah ini aku harus mencari kapal lain menuju Hallendoirf. Semoga semakin dekat jarakku dengan Hallendoirf.
            Sebuah sampan mendekat. Seorang perempuan di atasnya, dengan penutup kepala dari belitan kain. Chang menatapnya. Sebuah pertolongan, bisiknya. Perempuan itu mengulurkan tangan. Setelah di atas sampan, Chang meluruskan tubuh. Ia tertidur lagi.



2 Komentar

  1. Kekuatan alam siapa yg bisa menebak....keren nih tragedi ditengah laut.....

    Harapan itu bernama daratan!!!

    BalasHapus
  2. hehehehehe tp masih ngerasa kurang

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama