Chang, Pejuang Tanah Timur-Bagian 6

Chang
            Berjuang dengan sisa-sisa kekuatannya, Chang merangkak menuju sungai. Kulitnya biru. Bibirnya kelu, giginya gemelutuk tak karuan. Ia pingsan semalam setelah terantuk batu di pinggir sungai. Wajahnya menghantan tanah. Ketika bangun, tubuhnya kaku. Di mulutnya terdapat segenggam tanah yang mengotori gigi dan lidahnya. Darah kering membekas di bibir, hidung, dan pelipis kiri. Tangan kakinya perih akibat lecet-lecet yang beradu dengan pakaian.
            Embun membasahi rerumputan. Pelan-pelan Chang mengangkat tubuhnya. Duduk, ia menangkupkan tangan dan mengambil air. Sungai seakan beku. Setelah menyesap air sebisanya, ia mencelupkan wajah ke dalam air. Ia menikmati sensasi digelitiki aliran air. Siapa tahu sungai ini bisa membantunya menjernihkan pikiran. Namun itu tak berlangsung lama. Rasa lapar kembali merongrong dari dalam perut. Chang mencengkeram perutnya dengan kencang. Aku tak bisa begini terus, pikirnya. Kekuatannya belum berkumpul, berdiri saja susah, duduk pun goyah. Ia memeluk kedua kakiknya, bergoyang maju mundur dan menekuri sungai. Ia menangis.
            Chang terisak-isak. Makin lama, suaranya makin kencang. Semakin ia menyeka air matanya, semakin deras yang jatuh menurui pipi. Ia mencemaskan kewarasannya. "Aaaaaaaaaaa!" jerit Chang sekencang-kencangnya. Tak ada jawaban. Tak ada sahutan. Kenapa aku, tanyanya dalam hati terus menerus. Ada setumpuk rasa sakit yang tak bisa keluar dan kini melubangi hatinya. Melukai perasaanya sangat dalam. Tanpa permisi, merenggut kenangan-kenangan indah masa kecilnya. Cuplikan-cuplikan datang kilat, beterbangan dalam otak, menguasai konsentrasinya.
            Chang melihat Jem tengah menggendong Chang kecil yang tertawa-tawa. Chang kecil terlihat manja. "Kakek, kapan kita main ke sungai lagi? Aku ingin menangkap ikan bersama kakek!" Jem menciumi kedua pipi bocah itu, "Nanti, kalau urusan kakek selesai. Kakek harus pergi sekarang. Mainlah dulu dengan ibumu." Chang kecil berlari menghampiri ibunya yang muncul dari arah ladang. Ibu membawa sekeranjang apel segar nan ranum. "Ibu aku mau," ujar Chang. Dengan semangat Chang menikmati sebutir apel pemberian ibu. Cuplikan berganti. Ada ayahnya, berjalan ke arahnya. "Nak, jaga kakek baik-baik ya. Jangan nakal. Jangan main jauh-jauh. Ayah pergi dulu." Lama ayah mendekap Chang kecil. Menciumi ubun-ubung putra semata wayangnya sembari menyembunyikan wajah sendu.
            Cuplikan berganti. Chang melihat Jem meratap di depan dua peti kaca berukir berisi kedau jasad orangtuanya. Chang kecil menangis meronta dalam pelukan Jemima. Cuplikan-cuplikan itu lalu hilang. Chang terjerembab. Entah kapan ia mampu berdiri tapi sekarang ia sudah jatuh berbaring di tanah. Ia bangkit lagi. Setelah menyeberangi sungai, ia tinggal mengikuti arah alirannya menuju hilir. Hallendoirf masih jauh.

Peppe
            Kami takut. Semakin banyak penduduk desa ini yang meninggal. Sebagian kecil menggeletar-geletar kesakitan dengan darah yang muncrat dari mulut dan hidung. Darah itu agak kental dan hitam. Baunya busuk. Taremb kembali dengan bala bantuan. Seorang tabib dari desa tetangga datang. Ia terkejut menyaksikan korban-korban bergelimpangan. "Apa yang terjadi?" serunya panik. Gadis itu, gadis yang pertama kali kutemukan, ia hampir kehilangan nyawa. Aku tak dapat memahami kata-katanya. Suaranya hilang timbul bersama darah yang menggelegak keluar. Wajahnya pias. Tabib itu tak tahu apa yang harus dilakukan dengan keadaan segenting ini. Ia tak pernah menghadapi penyakit seaneh ini. Akhirnya si gadis meninggal di depanku.
            Tabib itu terlihat syok. Pasti kematian penduduk desa di depan mata kepalanya tanpa mampu ia tolong sangat mempeharuhi batinnya. Aku dan anak buahku pun merasa bersalah. Kami memutuskan kami tak bsia berlama-lama. Tempat yang aneh dengan kejadian yang aneh pula. Kami tak betah. Walau lapar dan lelah, lebih baik kami melanjutkan perjalanan. Tabib itu minta tinggal. Ia akan tetap disana, memeriksa berbagai bukti yang dapat menjelaskan fenomena ini. Meski takut dan yakin atas permintaannya, kami menurut. Setelah membersihkan diri, kami buru-buru pergi.
            Pada desa berikutnya, kami diterima ramah. Kami boleh mendirikan tenda di alun-alun desa. Besok, kami akan mulai berjualan. Walaupun aku yakin pikiran anak buahku masih tersita pada kejadian yang baru saja kami lewati. Taremb sendiri lebih banyak diam. Saat kuajak bicara, ia menggeleng. "Tuan, aku belum pernah mendengar kisah seaneh itu. Penyakit macam apa yang mampu merenggut nyawa satu desa. Nampaknya ada sesuatu yang terjadi sebelum kita datang. Prajurit Kerajaan Selatan mencurigakan, tuan. Bagaimana mungkin mereka punya obat penangkalnya? Kalau mereka tahu ada cara menghentikan wabah penyakit itu, kenapa mereka tidak menolong orang-orang desa di perbatasan? Karena mereka tahu wabah penyakit ini mematikan, bukankah mereka telah melihat sendiri seseram apa penyakit itu?"
            Aku mengangguk. Ya, kata-kata Taremb masuk akal. Aku mulai berpikir bila prajurit telah memiliki alat antisipasi berupa botol obat yang mereka barter pada kami, sebenarnya mereka tahu banyak. Apalagi tabib desa tetangga saja tak bisa menjelaskan fenomena ini. Apakah prajurit-prajurit itu sengaja? Aku tak mau berburuk sangka. Kurebahkan tubuh di atas tikar lipat dan kupejamkan mata. Besok akan menjadi hari yang melelahkan.

Chang
            "Kelinci!" sorak Chang pelan. Ia menyiapkan anak panah dan busurnya. Kelinci itu hampir masuk ke dalam sarangnya ketika Chang berhasil membidikkan anak panah. "Terima kasih," ucap Chang sembari memandang langit tanpa tahu kepada siapa ia mengucapkan rasa terima kasihnya. Tak lama kelinci itu telah selesai dikuliti, dibersihkan, dan dipotong-potong. Chang tidak membawa garam atau apapun sebagai penambah rasa makanannya. Namun ia menikmati tiap gigitan daging kelinci bakarnya. Tanpa memperhatikan sekeliling, Chang terus menyantap makanan pertamanya dengan nikimat setelah tiga hari kelaparan.

Rim
            Orangtuaku memelukku sangat erat. Aku dapat memahami betapa rindunya mereka bertemu denganku, putra angkat semata wayangnya yang telah lama meninggalkan rumah. Lima tahun berselang, ayah dan ibu tetap baik padaku. Mereka menyiapkan makanan enak dan banyak bertanya apa yang kulakukan di luar sana. Aku belum bercerita banyak. Knvan masih berduka, tak apik bila aku berbagi cerita tentang pengalaman-pengalamanku.
            "Apa pekerjaanmu, nak?"
"Tukang jagal di sebuah rumah jagal besar di kota. Kami memiliki banyak pelanggan orang-orang kaya. Mereka membeli banyak persediaan daging kami. Bahkan mereka sering memberiku uang tip jika aku mengantarkan daging pesanan."
"Ibu pikir kau akan pulang bersama istrimu."
"Belum, bu. Aku tidak sedang dekat dengan siapapun."
"Benarkah? Kau sudah cukup usia untuk membina rumah tangga, putraku."
"Menemukan orang yang cocok tidak mudah, ayah. Lagi pula aku harus memiliki rumah dan ladangku sendiri sebagai bekal melamar seorang gadis. Gadis-gadis di kota menetapkan persyaratan tinggi bagi calon suami mereka. Bila aku salah memilih, aku akan menyesal seumur hidup menikahi gadis mata duitan yang tak henti mengeluh kapan aku memberinya uang lagi."
            Tak ada yang lebih kuinginkan dari Elepta. Gadis muda berkulit pucat bermata coklat besar dengan rambut mekar bak singa. Lamunanku dibuyarkan ayah. "Nak, datanglah. Penduduk desa akan mengadakan rapat di lapangan. Jem sudah tiada, kaulah yang kunominasikan menggantikannya. Kita tak bisa berharap Chang kembali."

6 Komentar

  1. ceritanya masih terjaga.... cuman saya bingung rasanya di beberapa bab sebelumnya menggunakan kata ganti org pertama "aku" kok sekarang hal itu gak di pertahankan sih?.....

    heheee tetap semangat nulis

    salam J50K

    BalasHapus
  2. si taremb bukan?yg di bagian lima karena waktu dia ngomong sama prajurit pake "saya"? hehe abis biar keliatan hormat aja gitu. huehehehhe.tenang ini nanti kan amsih bisa diedit.makasih yaaa

    BalasHapus
  3. Iya bisa di edit heheheh tetap semangat ya

    Terus nulis nih saya kok kayak kewalahan gitu hehehe

    BalasHapus
  4. wajar kewalahan, linda juga kok, lima puluh ribu kata itu buanyak hahahahah

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama