Chang, Pejuang Tanah Timur-Bagian 3

Chang
            Dengan lari, aku hanya melawan diriku untuk kembali. Aku masih terlalu pengecut untuk pulang. Aku bukan seorang pejuang. Seumur hidupku, aku telah melihat bagaimana kakekku menjalani kehidupannya sebagai pemimpin sekaligus pemuka agama di tanah timur. Sudah dua ratus tahun, lima generasi, dan generasi kelima adalah kakekku, membuka tanah ini untuk tempat tinggal kaum kami. Kakekku menghabiskan seluruh hidupnya dengan beribadah. Mempelajari kitab-kitab dan perkamen-perkamen tua. Melantunkan doa-doa, memuji Sang Pencipta. Memanjatkan mantra dan memohon pada dewa-dewa demi kemakmuran kaum kami. Menjadi tempat berkeluh kesah penduduk tanah timur.
            Kakek sering berdiam di hutan sana, dekat Gunung Suci. Tiap satu purnama, ia melakukan ibadah berkeliling Gunung Suci. Lalu mengajak kaum tanah timur membagikan berkat berupa hasil bumi kepada dewa-dewa dengan meletakkannya dalam gua di puncak Gunung Suci. Setiap matahari terbenam, kakek bertugas meniup terompet kulit lembu pusaka tanah timur. Ini menjelaskan kenapa malam menjadi sepi dan hening. Sebab, seluruh aktivitas akan terhenti. Orang-orang berduyun-duyun ke lapangan di tengah desa. Mereka sembahyang dipimpin kakekku. Menekuk lutut, menangkupkan tangan di depan dada lalu mengucapkan apa-apa yang dipinta. Kesehatan, kesejahteraan, keberhasilan panen, kerekatan hubungan dalam keluarga, kecukupan, dan lainnya. Lalu kaum tanah timur akan berterima kasih atas apa-apa yang menjadi berkah sepanjang hari. Nafas, air, tanah, cahaya matahari. Semua adalah karunia kehidupan yang patut disyukuri.
            Kami tak punya alasan menghardik para dewa. Dewa-dewa telah menganugerahkan kami tanah yang memberikan segala yang kami perlukan. Kami jarang ditimpa kemalangan nasib. Entah itu wabah penyakit atau kematian, kami sadari sebagai bagian dari kehidupan yang normal. Hanya satu perintah nenek moyang. Pemimpin kami tidak diperkenankan alpa sembahyang. Itu sebabnya kehidupan seorang pemimpin di tanah timur melelahkan sekaligus membosankan di mataku. Aku berhak merasakan lebih lama lagi kebebasan sebelum siap menggantikan kakek.

            Sayangnya, hanya keturunan lelaki yang bisa memimpin. Meski kakek punya lima anak perempuan, bibi-bibiku, dan bibi-bibiku punya anak lelaki akan sia-sia. Anak lelaki kakek, ayahku, telah tiada. Keturunan ayahku cuma aku. Jadi akulah pewaris tampuk kepemimpinan nanti. Namun kakek belum pernah mempersiapkanku. Ia tidak melibatkanku dalam urusan desa. Ia tidak mengizinkanku berada di dekatnya ketika ia menerima keluhan penduduk. Semua kakek selesaikan sendiri. Ketika usiaku sepuluh tahun, desa kami diterjang banjir bandang. Kakek justru mengungsikanku ke tempat yang jauh, desa lain berjarak puluhan mil. Kakek membereskannya, entah dengan cara apa. Menurutku itu lucu. Harusnya ia berbagi cerita padaku bagaimana memecahkan masalah-masalah sulit seperti itu. Mana bisa aku putuskan bila kelak aku menjadi pemimpin dan tak tahu berbuat apa? Seandainya kakek menjelaskan padaku cara menuntaskan banjir, wabah penyakit, kekeringan, gagal panen, serangan hama atau perselisihan dua keluarga mungkin aku akan siap.
            Kakek memanjakanku. Aku tak tahu banyak cara bertani, berladang atau beternak. Kerjaku memerah susu dan membuat mentega. Tak lebih. Lain-lain tentang hasil bumi diurus bibi-bibiku dan keluarganya. Aku leboh banyak menghabiskan waktu mengasah kemampuanku berburu. Gunung Sansai seakan rumah kedua bagiku. Aku hafal betul bentang alamnya. Dimana banyak berkumpul rusa, beruang, kucing hutan, kambing liar, ayam, dan berbagai unggas lain. Aku menggunakan perangkap dan busur panahku. Menjelang musim dingin datang, hasil buruanku akan mengamankan persediaan makanan keluarga kami di ruang bawah tanah. Kami tak akan kekurangan protein.
            Aku sering berpikir, apa kakek tidak lelah dengan pekerjaannya. Ia tak digaji. Ia menghidupi dirinya dari beberapa petak tanah berupa kebun yang dibagi-bagi dengan penduduk lain. Bukit itu, bukit di belakang rumah kakek, memang bukan tanah milik kakek seorang. Rou juga punya tanah di sana, ditanamani wortel, lobak, kubis, tomat, dan kacang-kacangan. Rou akhir-akhir ini membantu banyak. Ia menjelaskan berbagai petunjuk alam, membaca bintang, mengetahui kapan musim yang tepat menanam ini itu, jenis-jenis penyakit tanaman, hingga bagaimana menghadapi hama tertentu. Rou bilang, kakekku tahu lebih banyak. Lalu diam-diam aku mencuri waktu membaca di perpustakaan rahasianya saat kakek ke bukit atau ke Gunung Suci.
            Aku sering mendengar bagaimana kakek dikenal bijaksana dan lembut. Ia tidak marah bila ada pertikaian di antara kaum kami. Kakek akan menyelesaikan, sebisa mungkin yang menguntungkan kedua belah pihak. Pertengkaran suami istri, orangtua dengan anaknya, antarsaudara, antartetangga, kakeklah tempat yang dituju. Kaum kami begitu mempercayakan nasihat terbaik berada di tangan pemimpinnya. Kata kakek, begitulah tradisinya turun temurun. Betapa menjadi pemimpin berarati membaktikan hidupmu pada kaummu tanpa berpikir seperti apa sulitnya hidup yang kau jalani. Sepeninggal nenek, kakek memilih hidup sendiri. Padahal bisa saja kakek mencari pendamping hidup lagi. Namun, atas pertimbangan demi kaum kami, kakek lebih memilih mengurus penduduk tanah timur.
            Aku sering ragu. Apa gunanya kakek menyuruh kami memberikan sebagian hasil bumi kami pada dewa-dewa. Apa gunanya kami mengucap mantra. Apa gunanya kami mengelilingi Gunung Suci. Aku tak percaya dewa. Aku tak percaya kitab-kitab yang kakek amalkan. Jika ada argument yang mengatakan pastilah ada pencipta dari semuanya, aku tentu ingin menemuinya. Bukan sesuatu yang kasat mata dan tidak jelas suaranya ketika menjawab permohonan kami. Sementara apa yang disebut pertolongan para dewa pun kupikir adalah kemujuran nasib. Kalau ada yang beranggapan para dewalah yang melindungi kami dari musibah badai yang menghancurkan desa-desa di sekitar desa kami, kukira itu adalah keputusan alam. Alamlah yang bertindak, bukan dewa yang tak terlihat. Aku tak pernah mengatakan ini pada kakek karena aku menghormati keyakinannya yang begitu dalam pada kepercayaan warisan nenek moyang ini.
            Tentang takhayul-takhayul bodoh yang berkembang pun aku tolak mentah-mentah. Kata orang, tidak baik menyentuh Gunung Suci jika imanmu belum setara dengan pemimpinmu. Rahib-rahib yang lewat tanah timur diperbolehkan menyentuh. Dulu, aku percaya saja. Suatu saat, aku menyentuhnya. Tidak terjadi apa-apa. Aku tidak terserang suatu penyakit atau mendapat malapetaka dari roh nenek moyang. Aku mulai membuktikan takhayul lain. Seperti jangan makan daging merah selama keluargamu ada yang sakit karena ia akan makin sakit. Ketika salah satu bibiku sakit, aku memakan daging buruanku. Tak masalah, esoknya bibiku sembuh setelah diobati tabib. Lalu bagian mana kepercayaan kaum tanah timur ini yang bisa dipercaya? Aku makin urung kembali.
           
Jem
            Ketakutan terbesarku hanya satu. Aku takut Chang merasa takut. Sederhana, bukan? Chang adalah impianku, mimpi-mimpi tak terpenuhi di masa mudaku. Ia kusayang bagai anak sendiri. Ia harapan terbesarku, keinginan yang tak sampai.
            Aku telah menjadi pemimpin kaum tanah timur sejak usia lima belas tahun. Ayahku meninggal akibat wabah penyakit misterius. Ayah terkena penyakit itu saat ia keluar desa, pergi bersama orang-orang dalam karavan kuda. Karavan itu berisi hasil bumi yang akan dijual di belahan bumi barat. Kami tinggal di benua mata angin, terbagi dalam empat bagian yaitu belahan bumi utara, timur, barat, dan selatan. Kami berada di belahan bumi timur, dipimpin Raja Gendriz. Di luar benua kami ada benua-benua lain yang lebih kecil wilayahnya. Ketika menyeberangi padang pasir, ayahku mulai mengeluhkan sakitnya. Tak lama, ia menemui ajal. Sejak kecil, ayah telah melatihku sebagai penggantinya. Ia mengajari beragam bahasa, mempelajari ilmu perbintangan, pengobatan, pemerintahan, dan strategi perang. Desa kami termasuk lapisan terluar berbatasan dengan padang pasir yang memisahkan kami dengan belahan bumi barat. Belahan bumi selatan terdekat dengan kami, dibatasi sebuah sungai kecil yang meliuk dari lembah menuju laut sepanjang 90 mil.
Ayah juga sering mengikusertakanku jika ia tengah merundingkan sesuatu dengan penduduk tanah timur. Meski membosankan, lama-lama aku terbiasa dan menikmatinya. Ayah tak luput membawaku menghadap Raja Gendriz. Sehingga sedikit banyak aku tahu keadaan ibukota. Namun aku belum pernah bersua dengan Sang Raja sebelum menjadi pemimpin tanah timur. Ayah mewariskan begitu banyak ilmu yang aku cecap semampuku. Ia meninggalkanku sebuah perpustakaan yang tidak kuizinkan orang lain memasukinya. Semua harta berharga, dokumen-dokumen, kitab-kitab, buku-buku, perkamen-perkamen kusimpan di dalamnya.
            Aku membebaskan Chang dari pelajaran-pelajaran yang harusnya kuberikan padanya karena aku tak ingin merebut masa mudanya. Aku keliru. Ternyata ayahnya tak berumur panjang. Mau tak mau ialah penerusku nantinya. Tapi aku tak tega menjejalinya begitu saja. Aku ingin ia merasakan masa mudanya dulu. Aku menjauhkan dari segala hal yang berkaitan dengan kepemimpinanku. Tapi sekali lagi aku disadarkan, usiaku sudah sangat tua. Tak lama lagi aku akan pergi. Ia belum siap. Ini menjadi masalah sekarang.
Sekarang, aku sadar, Chang akan diangkat menjadi pemimpin sekaligus pemuka agama tanpa bekal apa-apa. Hatiku tersiksa. Aku tak paham penyakit apa yang bersarang di tubuhku. Tabib desa menyerah. Aku juga menyerah. Aku membiarkan takdir berjalan. Aku ingat percakapanku dengan Chang suatu hari. "Chang, apa pendapatmu tentang menjadi pemimpin di tanah timur?"
"Membosankan, kakek jarang bermain denganku. Kakek lebih banyak beribadah atau berkebun. Kakek tidak mengajakku ikut."
"Bukankah menjadi pemimpin itu bagus? Kau menolong orang. Kau menyelesaikan perselisihan para tetangga dan berdoa untuk desa."
"Tapi tidak dibayar."
"Ini kan pelayanan kepada kaum, jadi tidak ada uangnya, hehe. Kakek yakin kamu bisa menjadi pemimpin hebat."
"Kakek akan mengajariku?"
"Kalau kakek sembuh, kakek janji tidak akan menyembunyikan setiap pertanyaan yang datang darimu. Kakek akan mengajarimu banyak hal." Janjiku belum tentu dapat kupenuhi mengingat keadaanku semakin mengkhawatirkan. Aku menutup kamar, mencoba berbaring meredakan sesak.

 Tabib Bertha
            Sejak melihat kakakku sakit keras, aku tertarik memepelajari ilmu pengobatan. Aku berguru kesana kemari, membaca berbagai literatur, dan berkawan dengan petani tanaman obat. Dari mereka, aku mendapat suplai untuk obat-obatan racikanku sendiri. Kota letaknya jauh, tanah timur merupakan tanah terisolir. Dengan memiliki tabib hebat dan gudang obat-obatannya sendiri, penduduk akan tenang. Sebulan sekali aku mengecek daftar tanaman obatku dan membeli sendiri. Berkeliling ke gunung-gunung, dataran rendah maupun dataran tinggi. Demi menghemat waktu, sebagian petani mendatangi dan membawa banyak pilihan tanaman obat untuk kupilih.
Baru kali ini aku merasa seputus asa pasienku. Entah kemalangan jenis apa yang menguasai Jem, pemimpin tanah timur. Ia sakit dan aku tidak dapat mendefinisikan penyakitnya. Selain demam yang tak kunjung turun dan persedian yang kaku, ia sering muntah darah. Ia mengeluhkan nafasnya sesak dan perutnya sakit. Sudah beragam obat kuberikan, aku berkorespondensi dengan tabib-tabib lain tapi tetap tak ada jawaban yang pasti. Aku tidak mau menambah deritanya. Aku berhenti member obat-obatan dan menyuruhnya beristirahat saja. Kini hari-harinya dihabiskan di tempat tidur. Menyedihkan memang.
            "Adakah sesuatu yang mengganjal batinmu hingga kau menjadi semakin sakit, Jem? Aku yakin sebagai pemimpin tentu langkah kepemimpinanmu tak mulus. Pasti melelahkan menjadi tempat orang bertanya dan mengadu. Namun kemana lagi mereka bicara selain padamu?"
"Bukan, aku tak pernah mengeluhkan pelayananku pada kaumku. Aku bersyukur pada dewa karena diberi umur panjang sehingga bisa menjaga kaumku dalam rentang waktu sangat lama. Aku sedih melihat Chang. Ia tetap tidak mengubah pendiriannya, ia bahkan memohon agar tidak meneruskan kepemimpinanku. Padahal dialah harapanku. Aku memang salah tidak membuatnya terbiasa dengan tanggung jawab. Aku melenakannya dalam masa mudanya. Aku takut ia merasa takut akan masa depannya. Jika ia setakut itu, ia tak kan berhasil melewati tahun-tahun pertamanya."

1 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama