Tapi
aku tetap merasakannya, lamat-lamat, berdetak di antara lubang pori dan aliran
darahku.
Meski
aku bersumpah aku tidak akan berusaha mengingatnya. Kukatakan berulang kali
dalam hati, tak apa. Ini bukan masalah besar. Bila ayah sibuk, toh itu
kewajiban. Ia bekerja untukku. Bekerja untuk ibuku. Bekerja untuk kakak dan
kedua adikku. Bekerja untuk kami. Kalau tidak dengan cara jungkir balik begini
sampai kaki menjadi kepala dan kepala menjadi kaki, mana mungkin kami cukup
makan setiap hari?
Ya,
mana mungkin?
Pelan-pelan
kuhapus air mata yang sedikit tumpah
ketika bersujud. Sembari menahan sedu sedan yang bergejolak dan hampir luruh.
Kutepis rindu, kubungkus ngilu. Ayahku akan pulang. Tak perlu risau bila ia
tidak sempat bertanya apa kabarku. Dia pasti tahu kabarku baik-baik saja. Aku
satu-satunya anak perempuannya, anak yang sangat ia banggakan. Ia yakin aku tak
pernah membuat kecewa apalagi onar. Ia hanya ingin berkonsentrasi pada
pekerjaannya. Kalau ia tak menghubungiku selama ini, ia telah menghubungi ibu untuk
menanyakan kabarku, kakakku, dan adik-adikku. Tah salah bukan? Pikirnya telah
masak, ia hafal aku dan kakak tengah menempus ujian tengah semester.
Menghubungi kami bisa jadi mengganggu waktu belajar kami.
Terus
dan terus kutanamkan hal-hal positif agar perasaanku makin tak nelangsa.
Kutekuri buku yang menjadi bahan ujianku esok. Kakak telentang di kasur lipat
tipis yang kami pakai berdua tiap malam. Matanya lurus ke langit-langit. Lama
ia diam pada posisi itu. Sepertinya banyak yang mengusik pikirannya. "Ada
apa kak?" kuputar tubuh menghadap kakak. Ia tidak menoleh, tidak juga
bersikap merespon sedikitpun. Kedua tangannya berkait. Kulihat di situ, sebuah
gelang tali bikinan ayah. Dia rindu ayah, seperti aku. Tiba-tiba semacam gada
seakan menghempas salah satu bagian dalam dadaku. Nyeri. Tanpa sadar, tanganku
telah merenggut kerah baju.
"Tidak
apa," lama setelahnya kakak baru menoleh dan menjawab tanyaku. "Tadi
kakak tidak sengaja mendengar percakapan ibu dengan ayah di telpon. Akhir tahun
ini, cuti ayah tertangguhkan. Ayah tidak jadi pulang." Nyes! Dadaku serasa
diobrak-abrik. Ibarat sekat-sekat kecil yang kuciptakan untuk membendung air
yang mengaliri pelupuk mataku dijebol. Kepalaku makin menunduk. "Handra
disunat bulan depan," kakak menyebut nama adik bungsu kami. Aku menelan
ludah. "Satria sedang sakit," tambah kakak, menyebut adik pertamaku.
Sekarang ludah dalam mulutku sudah kering. "Lama kita tidak melihat
ayah," kakak menatapku lekat. Kedua tanganku yang tergeletak di pangkuan
gemetar.
Sewindu
ayah tak pulang. Dilalui dengan hening. Dijalani dengan senyap. Tanpa ayah, aku
berusaha tak bermanja-manja ketika sakitku kambuh. Aku tak pernah lagi
berceloteh di rumah tentang kegiatanku di sekolah. Ibu sudah lelah mengurus
rumah dan adik-adik, tak perlu kutambah lagi dengan keluh kesahku. Bertahun
bermanja pada ayah sangat-sangat cukup bagiku. Hanya prestasi di sekolah yang
harus kupersembahkan untuk kepulangan ayah nanti. Sementara kakak bergulat
bekerja sambil kuliah. Kusibukkan diri mengikuti beragam lomba dan organisasi,
berharap rindu ini tak terlalu menyesakkan. Kini, rindu ini hampir tak tertahankan.
Rindu yang tak kunjung gersang, justru semakin menyita letak. Aku ingin melihat ayahku.
Aku
mendongak, menatap tulisan ayat kursi berbingkai kayu hadiah dari ayah untuk
menghiasi kamarku dan kakak. "Bacalah Quran setiap kau ingat ayah.
Berdoalah untuk kita semua setelah kau shalat untuk baktimu pada ayah. Kau
boleh sebut nama ayah sebelum tidur. Yakinlah, ayah juga menyebut namamu, nama
ibu, nama kakak, dan nama adik-adik." Lamunanku terputus. Tiba-tiba suara
ibu histeris. Kakak memandangiku sesaat lalu berlari keluar kamar. Aku
mengikuti. Kami sama-sama menghadap layar televisi. Kami melihat ayah, diapit
beberapa petugas di tengah kerusuhan di suatu daerah yang sangat jauh. Kerusuhan
akibat gaji yang tak kunjung dibayar.
Akhirnya
aku melihat ayah.
Wah Sad Ending :( :( semoga ada kelanjutan yg happy ending ya lin :D
BalasHapushehehhehe iya mbaaak susah bikin akhiran yang hepiii.mbak maaf lama ga nengok ke blognya
BalasHapus