Judul : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Keutujuh, November 2011
Tebal : 408 halaman
Berkat
keelokannya, novel trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk telah menginspirasi lahirnya sebuah film, Sang Penari. Buku ini sendiri merupakan gabungan dari ketiga bagian
trilogi yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan Jentera Bianglala. Saya pernah
membacanya, meski tidak sampai habis, ketika masih duduk di bangku kelas 3 SMA.
Sekarang saya membelinya sendiri dan sangat menyukainya.
Pada
bagian pertama, Ronggeng Dukuh Paruk,
sudut pandang tokoh Rasus menonjol. Tokoh utama dalam novel ini adalah Srintil,
seorang penari ronggeng yatim piatu dan menjalani kerasnya kehidupan di Dukuh
Paruk beserta teman sejak masa kecilnya, Rasus. Hal pertama yang saya tangkap
adalah cara Ahmad Tohari mendongeng. Latar dalam novel dituliskan mendetail
termasuk hewan-hewan maupun tanaman yang bertumbuh di Dukuh Paruk. Di sini,
cerita makin terasa hidup oleh tembang-tembang bahasa Jawa lantunan Srintil
maupun celoteh cabul khas Dukuh Paruk. Bertolak belakang dengan kebiasaan
orang-orang di tempatnya tinggal, dalam hatinya Rasus justru berontak. Ia tak
suka sikap cabul yang ditunjukkan orang-orang pada si penari ronggeng Srintil
apalagi malam bukak-klambu yaitu
penyerahan keperawanan Srintil pada lelaki yang mampu membayar paling tinggi.
Bagian
kedua, Lintang Kemukus Dinihari,
kematangan Srintil mulai tampil. Dimulai ketika panggilan nuraninya ingin
menjadi seorang ibu hingga keberaniannya menolak lelaki yang ingin menidurinya.
Pemberontakan Srintil menggambarkan kediriannya, usaha mengambil alih atas
keakuannya. Sebab sepanjang menjadi ronggeng, Srintil patuh di bawah kuasa
dukun ronggengnya pasangan suami istri Kartareja. Uang hasil meronggeng maupun
melayani lelaki, sebagian memang mengisi pundi-pundi suami istri Kartareja.
Salah satu yang menjadi kekhawatiran mereka bila Srintil kemudian menikah dan
berhenti menjadi ronggeng, mereka akan kehilangan aset berharga. Hingga kisah
berhenti pada penangkapan Srintil, Sakarya sang kakek, dan dukun ronggeng
Kartareja. Dukuh Paruk hancur akibat pergumulan politik dan ketidaktahuan yang
berujung petaka. Dukuh Paruk menjadi aib sekaligus noda.
Buku
ketiga, Jentera Bianglala, menjadi
titik balik baik bagi Rasus maupun Srintil beserta Dukuh Paruk dan para
penghuninya. Srintil telah melepaskan identitasnya sebagai seorang ronggeng. Ia
yang dulu menatap dunia dengan bangga, menantang tiap lelaki untuk menjamahnya,
menggoda dengan gerakan leher maupun bahunya, kini takluk pada tatapan mata
masyarakat yang menganggapnya orang terbuang. Srintil yang dulu dipuja-puja,
sekarang tak berani mengangkat muka. Ia bertekad menjadi perempuan somahan, membesarkan putra angkatnya.
Rasus sendiri telah menjadi seorang tentara. Ketika kembali ke Dukuh Paruk,
segalanya jauh berbeda. Apalagi ia kehilangan sang nenek.
Kedua
tokoh dalam buku ini beserta tokoh-tokoh lainnya bergelut antara nasib dan
takdir, antara masa kini dan masa lalu. Terjadi konflik batin maupun konflik
dengan tokoh lain yang kuat sekaligus terjalin halus dan rapi. Setiap
benturan-benturan diurai perlahan, saling terkait dan memicu rasa penasaran
pembaca. Tak hanya kekuatan cerita maupun kekuatan detail, buku ini sungguh lengkap
dengan gabungan kekuatan karakter tiap tokohnya maupun kekuatan sejarah dan
kekuatan seni yang bercampur menjadi satu kesatuan tak terpisah.
Tak
heran buku ini mengundang banyak decak kagum. Ini menjadi salah satu buku
dimana saya tak punya alasan untuk mengkritik. Sangat sulit―apalagi bagi pemula
seperti saya―membuat sebuah novel yang kaya warna. Ahmad Tohari tidak
membiarkan Dukuh Paruk maupun profesi seorang ronggeng menjadi tempelan.
Justru, Dukuh Paruk dan profesi menjadi seorang ronggeng terasa seperti tokoh
utama pula. Buku ini tak hanya menjadi sebuah penyatuan dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Bagi saya, buku
ini bertindak menjadi sebuah khazanah, sebuah ensiklopedi, mengenai seni budaya
tanah Jawa beserta kondisi geografisnya. Sesuatu yang jarang saya temukan.
Novel
trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menjadi
salah satu novel yang paling berkesan. Selain tetralogi Laskar Pelangi, trilogi Warisan,
Para Priyayi, dan Gadis Pantai meskipun tidak bisa
dibandingkan begitu saja sebab kelima karya ini jauh berbeda tapi sama-sama
luar biasa.