Perempuan Nomor Dua



            Dia muntah-muntah lagi. Bergegas aku menyambar baskom yang selalu kusimpan di bawah ranjang tuanya. "Hoek! Hoek!" Di sela-sela muntah, ia mengerang. Mungkin tenggorokannya sakit. Ia pernah bilang, setiap kali muntah, ia merasa tenggorokannya terbakar. Kuelus-elus punggungnya demi memberi dukungan. Ia menepis tangaku. Masih saja perempuan ini bersikap angkuh seakan tak membutuhkanku. "Hoek!" Kali ini muntahannya bercampur darah. Aku menatapnya dengan khawatir. Namun ia menarik dengan kasar lap yang kubawa. Setelah membersihkan mulutnya, ia kembali membujurkan badan dengan kaku. Bahasa tubuhnya menunjukkan ia menolak berinteraksi lebih jauh denganku. Tidak dengan tatapan, pembicaraan, atau sentuhan.

            Setelah mengepel lantai dan mengelap kaki ranjang yang terkena cipratan muntah, aku meninggalkannya di kamar. Beginilah rutinitasku lima tahun terakhir. Menjaga dan merawatnya serupa ibuku sendiri. Meski ia bukan ibuku. Meski orang-orang berkata ia tak pantas disebut ibu. Ibu kandungku telah meninggal dua belas tahun yang lalu. Kepergiannya menimbulkan penyeselan mendalam bagiku. Bukan karena aku tidak berbakti. Juga bukan aku menyia-nyiakan hidupnya. Justru aku sangat dekat dengannya. Tapi aku merasa seluruh pengabdianku pada ibu belum tuntas.
            Sekarang aku membayarnya, pada perempuan ini, yang bukan pula ibuku.
            Aku sudah berkeluarga. Suamiku berwiraswasta. Ia membuka lahan perkebunan buah-buahan. Beruntung aku memiliki suami yang besar hatinya. Ia memperbolehkanku merawat perempuan ini. Walaupun kami tak punya hubungan darah dengannya. Suamiku selalu percaya apa yang kulakukan akan menimbulkan kebaikan. Kadang aku merasa tak enak pada anak-anak kami. Si kembar, Rana dan Rini, tumbuh menjadi gadis yang lemah lembut dan anggun. Bila mereka membantuku merawat perempuan ini, sering hatiku pedih. Perempuan ini tidak mau melembutkan sikapnya pada anak-anakku.
            Pernah kukatakan padanya, jangan begitu pada anak-anakku. "Ibu boleh kasar, tapi tolong tidak untuk anak-anakku. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka ikhlas membantuku merawat ibu. Kalau ibu tidak sudi, biar aku sendiri yang merawat ibu. Ibu tidak suka anak-anakku?" Ia melengos. Memunggungiku dan tak mau bicara padaku hingga seminggu. Kadang aku malu pada anak-anak dan suamiku. Kami yang menanunggung hidup perempuan ini, tapi sikapnya tak pernah memperlihatkan rasa terima kasih. Demi menjaga hati suamiku, aku bungkam seribu kata. Aku tak menceritakan hari-hariku merawatnya pada suamiku. Aku hanya bercerita hal-hal baik tentang anak-anak.
            Selain si kembar, kami punya seorang putra. Namanya Langit Biru. Nama itu kuambil dari tokoh sebuah film kesukaanku dan suami ketika kami pacaran dulu. Tidak seperti Rana dan Rini, Langit memiliki kepekaan yang tajam. Ia sering memprotes kenapa aku masih merawat perempuan ini. "Serahkan dia ke panti jompo, bu. Kita bukan keluarganya. Kita tidak berkewajiban menanggungnya. Siapa dia, menghina ibu segala. Dia tidak mau menghargai kebaikan ibu." Kalau sudah begini, aku hanya mengelus dada. Mencoba mengalihkan emosi Langit yang menggelegak. "Tolong nak, jangan cerita pada ayah. Ibu ingin menjaga perasaan ayah. Ibu tidak bisa menyerahkannya ke panti jompo. Ibu anggap dia seperti nenek kalian. Nenek mungkin sudah meninggal tapi kalian masih punya dia."
            Ketika aku menengo perempuan ini di kamar, ia tengah merengut kerah dasternya. Dadanya naik turun dengan lemah. "Kenapa bu? Apa yang sakit?" tanyaku. Ekor matanya terlihat sinis. Bergegas kusodorkan segelas air dan kucarikan obatnya. "Tidak perlu. Aku bisa ambil sendiri," kata perempuan ini. "Ibu tiduran saja. Ibu mau makan apa nanti malam?" tanyaku lembut. "Kau tidak ada bosannya," suaranya bergetar, "kau pikir aku akan luluh dengan basa-basimu? Kapan kau bawa aku ke panti jompo? Tak perlu merasa tak enak hati. Aku tahu kau membenciku sejak dulu, sejak ayahmu meninggalkan ibumu demi aku."
"Aku tidak pernah membencimu, bu."
"Kau panggil aku ibu? Di mana otakmu? Aku ini selingkuhan ayahmu, perempuan nomor dua yang bertahta di hatinya, orang yang memaksanya menceraikan ibumu sendiri."
"Kau tetap ibuku."
"Apa? Keras kepala sekali kau ini."
"Aku tidak bisa membenci ayahku meski perbuatannya menghancurkan hatiku dan hati ibuku. Begitu pula aku tidak membencimu. Karena kau mencintai dan merawat ayahku ketika dia sakit. Walaupun dia bisa saja kembali padaku dan ibu, kami selalu bersedia merawatnya. Tapi dia memilihmu. Untuk itu aku merawatmu. Sebagai ucapan terima kasihku. Sebagai tanda baktiku. Karena ibuku telah tiada."
"Diam kau. Kau pikir, kau bisa membuatku trenyuh, merasa bersalah, lantas minta maaf padamu? Tidak!"
            Perempuan ini baru saja mengakhiri kalimatnya sembari menyemburkan ludah bercampur darah. "Aku akan membawa ibu ke dokter. Tunggu, aku cari suamiku dulu." Dia menarik tanganku. Tarikannya lemah. "Biarkan aku mati, tanpa kau bantu. Biarkan aku mati. Aku sudah tua, aku rindu ayahmu. Dan kalau aku beruntung, aku ingin menjumpai ibumu di surga. Menyebutkan daftar kesalahanku yang membuatnya sengsara di dunia. Aku tidak akan lari. Tapi aku menolak menyesali perbuatanku."
            Mendadak aku semakin mengkhawatirkannya. Kucari-cari suamiku tapi dia tak ada di rumah. Langit juga belum pulang kuliah. Rana dan Rini belum bisa menyetir. Aku butuh bantuan. Aku harus segera membawanya ke rumah sakit. "Ibu, tunggu," aku tergopoh-gopoh menghampirinya, "aku mau cari taksi…." Tapi ia telah pergi. Ia menyusul ayahku.



*Dulu saya pernah menulis versi pendeknya di blog lama dengan judul "Keluar! Keluar!". Tulisan ini bentuk tuntasnya ^_^

2 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama