Memang Kenapa Kalau Self Publishing?


blogupnorth.wordpress.com

            "Seharusnya pasar hanya untuk para profesional," begitu kira-kira kalimat yang saya dengar sekilas dalam sebuah sinetron pendek yang menjamur di bulan Ramadhan. Tokoh dalam sinteron tersebut tengah membandingkan antara penerbit major dengan self publishing. Saya bukan penyuka sinetron. Acara-acara khas bulan Ramadhan pun hampir-hampir tidak saya tonton. Selain saya kurang paham lawakan yang berseliweran―kebanyakan selama bulan Ramadhan, program televisi didominasi lawak―kalaupun paham saya juga jarang tertawa. Rasanya kurang lucu. Tapi, saat sahur tadi, saya tersentak mendengar potongan percakapan di sebuah sinetron. Lho, kok bawa-bawa penerbitan?
            Menurut percakapan tiga orang tokoh dalam sinetron tersebut, pasar hanya untuk penulis yang profesional. Sementara, penulis pemula yang belum mumpuni kemampuannya, sebaiknya melatih diri dulu di rumah. Kira-kira itu yang saya tangkap. Kebetulan, percakapan itu terjadi antara seorang perempuan yang tengah diwawancara dua orang pemilik penerbitan. Mereka juga membahas dewasa ini tumbuh self publishing yang memudahkan penulis menerbitkan karya-karyanya. Tanpa perlu menunggu penerbit besar menerima karya mereka. Apa self publishing dianggap sebagai tempat belajar penulis pemula? Apa self publishing perlu dipertanyakan kualitasnya? Dan terakhir, apa self publishing memang bukan menjadi pelabuhan karya-karya seorang profesional? Sebab salah satu tokoh dalam sinetron itu juga mengatakan penerbitan memiliki kriteria kualitas sebuah karya. Mungkin ada betulnya juga, sebab dalam self publishing, kita bisa menerbitkan buku suka-suka. Tanpa perlu mendapat penilaian dari pihak yang akan menerbitkan karya kita. Karena kita menerbitkannya sendiri.

images.businessweek.com
            Saya merasa ditampar melihat sinetron yang tayang tiap waktu sahur dan buka itu. Bukan cuma karena saya beberapa kali menikmati buku dari self publishing. Bahkan salah satu novel yang saya beli secara online dan diterbitkan melalui self publishing itu saya kenal penulisnya. Tidak kenal secara personal memang tapi saya tahu orangnya. Namun, saya berani jamin bukunya jelas bukan karya pemula. Kisahnya juga tidak cengeng, norak, atau seperti kisah dalam kebanyakan sinetron. Jadi, jelas saya tidak setuju dengan pertanyaan pertama. Self publishing tidak hanya tempat belajar penulis pemula! Memang, apa definisi penulis pemula? Penulis yang tulisannya masih terbata-bata? Justru bukunya yang berkisah tentang kisah cinta pasangan paruh baya itu terasa menggetarkan dan memikat. Saya yakin, kalau diterbitkan penerbit besar dan masuk ke jaringan toko buku di Indonesia, buku itu akan laku.
            Saya tidak memungkiri, tidak semua penulis yang memutuskan menerbitkan buku mereka secara self publishing benar-benar yakin dengan kemampuan dari karya mereka. Saya juga pernah kok, membeli sebuah buku yang menurut saya isinya mengecewakan. Novel yang saya beli itu terasa datar dan tidak gereget dari awal hingga akhir. Toh saya tidak menyalahkan penulisnya ketika menerbitkan karya tersebut. Siapa sangka, itulah salah satu caranya meningkatkan kemampuan. Siapa yang tahu? Misal, ada pembaca yang mengkritiknya. Lantas si penulis yang novelnya menurut saya tidak seru itu bisa belajar, meningkatkan kualitas, lalu muncul degan karya baru yang lebih bersinar. Bisa jadi, novel perdananya itu sebagai langkah tes pasar. Atau merespon pembaca. Bisa jadi juga, ia tengah memompa semangat dan kepercayaan dirinya dalam menampilkan karya pada khalayak.
            Kalau mempertanyakan kualitas self publishing, kita juga bisa mempertanyakan kualitas buku-buku yang terbit oleh penerbit besar. Ada juga kok, novel yang saya dapatkan dari toko buku besar tapi tidak cukup bagus di mata saya. Meski saya bukan editor dan tentu penilaian saya bisa saja dipengaruhi oleh selera pribadi. Apalagi dengan sempitnya referensi yang saya punya karena jumlah buku yang pernah saya lahap masih sedikit. Tentu cara saya menilai sebuah buku belum luas. Namun kita tak bisa pukul rata meragukan kualitas buku, novel, komik, apa pun itu yang terbit melalui self publishing. Self publishing tak sekedar soal memiliki karya atau modal dalam jumlah terbatas untuk menerbitkannya. 
            Karena menulis telah menjadi gaya hidup, kini bermunculan kelompok-kelompok menulis di dunia maya. Kehadiran kelompok-kelompok menulis itu bisa menjadi sasaran bagi seseorang untuk meminta penilaian atas karyanya. Misal, saya ingin menerbitkan buku melalui self publishing. Tentu saya akan memanfaatkan pertemanan saya. Saya kenal orang-orang yang telah menerbitkan bukunya secara self publishing. Dan untuk karyanya yang sudah saya baca, bisa saya acungi empat jempol. Nah, boleh jadi kepada merekalah saya mengetes kualitas karya. Saya akan meminta mereka memberikan kritik. Kritik itu, bagusnya, datang dari berbagai pihak. Dari yang terbiasa dengan karya-karya saya sampai yang tidak pernah membaca tulisan saya sebelumnya. Lantas saya kumpulkan masukan-masukan dari mereka. Masukan itu menjadi alat saya untuk memperbaiki, menambah, mengurangi, dan mungkin merombak total karya saya sebelum benar-benar diterbitkan secara self publishing. Kalau berani keluar modal lebih besar, saya bisa membayar editor untuk membantu karya saya. Beres kan?
            Menurut kamus kateglo, profesional artinya adj 1 bersangkutan dengan profesi; 2 memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; 3 mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir). Sementara amatir yaitu n kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh nafkah, misal orang yang bermain musik, melukis, menari, bermain tinju, sepak bola sebagai kesenangan. Jika seseorang menerbitkan karyanya dan berorientasi pada uang, jelas ia dikategorikan profesional. Sebab profesional berkaitan dengan uang. Seseorang dianggap profesional bila dibayar untuk melakukan sesuatu. Bukankah dengan dibeli bukunya, ia mendapat uang? Jadi seseorang yang menerbitkan karya secara self publishing bisa disebut profesional juga, dong?
            Ada benarnya juga kalau kita menganggap penerbitan major adalah ukuran kualitas sebuah buku. Ya, karena ada editor. Naskah-naskah yang masuk harus diseleksi. Tapi, bukankah tiap penerbitan juga punya kriteria tersendiri? Iya kalau sebuah karya itu bagus dan diterima karena memenuhi selera yang dicari penerbit. Kalau tidak? Baru-baru ini saya membaca blog seseorang yang menulis fiksi fantasi. Tulisannya rapi, terlihat cukup mumpuni. Tulisannya sangat berciri khas dan lelucon segar yang dilontarkan penulis sukses membuat saya senyum-senyum sendiri. Bahkan saya lebih suka tulisannya―terutama lelucon segarnya―dibanding, semisal, lelucon ala Percy Jackson yang kadang terdengar garing. Oke, mungkin ini masalah selera. Toh ketika saya tanya kenapa ia tidak menerbitkan saja tulisannya, ia bilanhg ditolak setengah matang oleh penerbit.
            Bagi saya pribadi, penilaian kualitas karya tak selalu dipegang kendalinya oleh penerbit besar. Pembaca juga punya andil, kok. Dan bukan berarti untuk menyandang karyanya dihasilkan seorang profesional, seseorang harus melalui jalur penerbit besar dan dipasarkan melalui jaringan toko buku besar di seluruh Indonesia. Diterbitkan oleh penerbit besar pun perlu sesuai dengan kriteria si penerbit. Bisa saja, seseorang menerbitkan melalui self publishing karena ia tak mau repot-repot menunggu penilaian pihak penerbit. Atau ia punya idealisme sendiri dan tulisannya bukan mainstream. Semisal contoh kasus tadi, fiksi fantasi. Berapa banyak sih, novel fiksi fantasi karya penulis Indonesia yang ngetop di pasaran? Kebanyakan masih berkutat soal novel percintaan.
            Demikian kicauan saya pagi ini ^_^ Saya tidak bekerja di dunia penerbitan dan saya belum pernah menerbitkan buku atas nama saya sendiri. Tulisan ini hanya tumpahan uneg-uneg di pagi hari yang rasanya sayang jika tidak dibagi. Bagaimana pendapat anda? Anda bisa membagi pendapat anda dengan saya :D Jangan ragu kalau anda mau menerbitkan karya melalui self publishing! Mana pun, penerbit major atau self publishing, bisa anda pilih sesuka hati.

3 Komentar

  1. terbitnya sih gampang sayyyy, tapi larisnya??? hehehe... yuk self publishing drpd tuh karya disimpan sj... blog jg termasuk self publishing sih, cuman yang ngakses blog blm banyak, dna rata" cuman blogger...

    BalasHapus
  2. hehehehe soal laris ga laris juga tergantung cara promosi dan genre bukunya mbak kao menurut linda kan ada buku yg bukan selera orang kebanyakan :D

    BalasHapus
  3. Sip, terus menulis dan berkarya
    http://www.rasibook.com/
    self publishing

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama