Olivia [Bagian 6]


            "Mein Name ist Miriam," Frau Artha mengucapkannya dengan lantang sembari menunjuk tulisan di papan tulis. "Mein Name ist Miriam," anak-anak di kelas 7-4 mengikuti ucapan Frau Artha. Namun seseorang tidak ikut memperhatikan. Ia terlihat menguap. Untuk mengusir kantuk, ia membuang pandang ke luar jendela. Dilihatnya lapangan sekolah. Anak-anak kelas tiga sedang berolahraga di sana. Di antara kumpulan anak-anak kelas tiga, ia bisa melihat sosok pacarnya, tengah merebut bola.
            "Olivia!" Olivia tersentak dari lamunannya. Dilihatnya, Frau Artha berjalan mendekat. "Kamu tidak memperhatikan saya?"
"Tidak, Frau. Saya memperhatikan, kok."
"Tapi kamu tidak mengikuti apa yang saya lakukan."
"Eh…"
"Silakan keluar. Kamu bisa ikut pelajaran saya minggu depan."
Olivia menelan ludah. Nana menatapnya dengan kasihan. Namun sebagian besar anak menatap dengan cara melecehkan. Sisanya, terlihat sinis atau malah tak peduli. Mulutnya segera terasa masam. Tanpa tahu cara membela diri, ia mengangguk dan mengikuti perintah Frau Artha. Guru bahasa Jermannya itu sangat pantas untuk marah. Olivia yang salah.

            Tepat ketika Olivia menutup pintu ruang kelas dari luar, Mas Wahyu menghampirinya. "Kamu mau kemana? Tidak ikut pelajaran bahasa Jerman?" Gawat. "Tidak, mas. Aku izin pulang duluan. Kepalaku pusing." Mas Wahyu terlihat khawatir. Ia menempelkan tangannya pada kening Olivia. "Kamu sakit? Kenapa tidak bilang tadi pagi? Biar aku buatkan surat sakit. Kamu tidak usah masuk." Olivia memaksakan senyum terbaiknya, "Aku kan mau ketemu mas. Tenang mas, aku baik-baik saja. Aku pulang sendiri, ya?" Dengan enggan, Mas Wahyu membiarkan Olivia pulang.
            Olivia masygul. Pulang bukan pilihan. Bisa-bisa eyang curiga kalau alasannya mengada-ada. Kalau tidak pulang, Mas Wahyu yang curiga. Tanpa pikir panjang, Olivia memutuskan bersembunyi di ruang ganti perempuan. Setidaknya, walau ia tidak pulang, Mas Wahyu tidak bisa menemukannya.
            "Ada yang berkeliaran di jam pelajaran rupanya. Mau jadi anak nakal ya?" seseorang berkata pedas, mengejutkan Olivia dari belakang. Olivia berbalik. Di depannya berdiri seorang lelaki. Ah, ia ingat! Lelaki itu, lelaki yang pernah menceramahinya tentang kerendahan hati. Lelaki yang mempertanyakan kenapa Mas Wahyu mau jadi pacarnya. Olivia berusaha keras tidak mencakar muka lelaki itu. Ya ampun, betapa buruknya hari ini! Dimarahi Frau Artha, terpaksa menghindari Mas Wahyu, dan sekarang lelaki ini. Kurang buruk di mana lagi?
            "Tidak bosan ya ikut campur urusan orang?" sahut Olivia dengan kasar. Ia mencoba tidak peduli, membiarkan lelaki itu tetap berdiri di tempat sementara ia berjalan menuju ruang ganti. "Oh, sudah sok jagoan ya, si anak baru? Anak kelas satu yang merasa hebat? Tidak punya teman tapi merasa bangga?" Bukan urusannya. Ayo Olivia, lupakan, pura-pura tidak mendengar. Namun suara dari hati kecilnya yang berteriak agar ia tak terpancing ternyata gagal. Olivia berbalik dengan marah. Tangannya menuding. "Mau apa sih? Kamu siapa? Tidak suka denganku? Aku-tidak-peduli! Aku tidak harus memaksa semua orang menyukaiku! Aku tidak mengenalmu, tiba-tiba kamu menjadi penceramah ulung dan mengomentariku. Tahu apa kamu?"
            "Turunkan tanganmu. Sangat tidak sopan," balas lelaki itu dingin. Tiba-tiba Olivia merasa malu. Mama tidak pernah mengajarinya untuk marah di depan umum. Mama justru menyuruhnya menjadi orang yang sabar dan terkendali. Kali ini aku sangat gagal dalam mengendalikan diri. Gara-gara orang ini. Olivia mengangkat dagunya, menajamkan mata. Ia mencoba menantang. Biar saja, biar ia semakin marah dan benci padaku. Apa ia berani memukulku? Aku akan memancingnya. "Sudah kubilang waktu pertama kali kita bertemu. Kamu kekanakan. Kamu seperti sinetron." Sebelum Olivia sempat berucap, lelaki itu pergi.
            Cepat-cepat Olivia berlari masuk ke ruang ganti. Nafasnya tidak beraturan. Marah, sakit , kecewa, terhina, kesepian, semua bercampur aduk menjadi satu. Marah karena Frau Artha mengusirnya dari kelas. Walaupun secara halus, ia masih ingat bagaimana tatapan menghina teman-temannya. Ia kecewa karena tidak ada yang membantunya tetap bertahan di kelas. Bahkan Nana cuma melihatku dengan tatapan iba tanpa berbuat apa-apa.Kesepian tanpa dukungan Mas Wahyu. Ia takut Mas Wahyu akan marah karena ketahuan ia melamun di jam pelajaran. Salahnya. Ini semua salahnya yang kurang berkonsentrasi.
            Semalam…
            "Pitung puluh," ucap Yu Sri. "Wah, itu berapa eyang?" Olivia menatap eyang. Eyang tersenyum. "Tujuh puluh ribu."
"Banyak sekali. Ada apa sih eyang, kok nitip bahan-bahan kue sebanyak itu ke Yu Sri?"
"Mau bikin kue, nduk. Buat mamamu. Dia mau ke sini."
Yu Sri pamit pulang setelah eyang menyodorkan uang. Ia tersenyum ramah pada Olivia. Tak lupa ia memberi Olivia seikat rambutan. "Panen," ujarnya sambil terkekeh. Dengan malu-malu, Olivia menerimanya. "Kapan mama ke sini, eyang?"
"Secepatnya."
"Sama papa?"
            Eyang tidak menjawab. Wajahnya sulit terbaca. Menghindari kecanggungan, Olivia mengangkut barang-barang belanjaan dan membawanya ke dapur. Rasanya Olivia ingin menangis dan marah-marah saja. Menelpon mama lau bertanya, apa benar yang dikatakan eyang kalau orang tuanya akan bercerai. Lalu kenapa ia tidak diberi tahu apa-apa. Kenapa ia dibiarkan menjadi pihak yang buta. Sekali pun ia tidak dekat dengan mama karena lebih dekat dengan Mbak Murni yang dulu mengasuhnya sejak kecil, ia tetap berhati tahu. Apa adil kalau aku tinggal di Jawa bersama eyang? Supaya mama dan papa tidak berebut mengajakku tinggal bersama salah satu dari mereka?Tapi aku dipilihkan, bukan aku yang memilih akan tinggal dengan siapa dan di mana. Apa ini adil?
            Mempertanyakan keadilan tidak akan ada habisnya. Adil bagi sebuah pihak belum tentu adil bagi pihak lain. Kini Olivia merasakannya. Ia bimbang. Mana yang lebih adil, tinggal salah satu orang tuanya atau tidak sama sekali? Bukankah tinggal di Jawa terlalu jauh untuk bertemu dengan orang tuanya? Ia sudah berpikir, papa tidak mungkin bisa sering-sering mengunjunginya. Papa sibuk. Mama lebih enak. Menitipkan anak pada ibunya tentu memberi rasa aman dan nyaman. Tidak canggung kalau menjenguk. Toh yang dijenguk anak dan ibunya, bukan mertua dari mantan pasangan hidupnya.
            "Kamu ada masalah?" suara Nana mengejutkan Olivia. Untuk kesekian kali, hari ini ia dikejutkan dari belakang. Entah kenapa orang-orang suka sekali mengganggu pikirannya yang tengah bermain. "Oh, Nana. Kamu di sini?"
"Hari ini pelajaran olahraga. Kukira kamu sudah ganti baju."
"Iya, aku ingat. Aku baru mau ganti baju."
"Tadi aku ketemu pacar kamu."
"Mas Wahyu?"
"Siapa lagi?"
"Kukira kamu tidak tahu."
"Sekarang aku sudah tahu."
"Kenapa dengan Mas Wahyu?"
"Dia pikir kamu sakit. Aku bilang tidak tahu. Aku takut salah ngomong. Nanti disangka tukang bohong."
            Mas Wahyu pasti khawatir. Sementara Olivia memilih sembunyi di ruang ganti dan pura-pura ingat hari ini ada jadwal pelajaran olahraga. Ia tidak bawa baju ganti. "Nana, tadi apa reaksi teman-teman waktu aku dikeluarkan?" Nana beringsut. Ia duduk di dekat Olivia. Kepalanya tertunduk. "Mereka kurang peduli."
"Mereka tidak peduli."
"Jangan bilang begitu."
"Memang benar kok. Mereka mengatai aku aneh. Aku dengan beberapa hari yang lalu di warung bakso."
"Kamu yakin kamu yang mereka bicarakan?"
"Ada berapa banyak sih nama Olivia di sekolah kita?"
"Kamu merasa tersinggung?"
"Aku merasa luar biasa."
Nana tertawa hambar. "Kamu lucu, Olivia." Olivia mendelik, "Apa yang lucu?"
"Cara kamu barusan. Kamu membela diri. Seakan kamu disalahkan karena teman-teman menganggapmu aneh. Padahal mereka tidak salah." Olivia merasa ditinju dan dibanting. Kalau di depannya ada cermin, pasti ia bisa melihat wajahnya yang merah padam. Satu-satunya teman yang nampak benar-benar mau bicara dengannya berpendapat sama dengan yang orang-orang pikirkan. Hari ini ternyata lebih buruk. Hari ini neraka.
            "Kamu bilang apa tadi?" Nana bangkit. Ia bicara tanpa menghadapkan wajah pada Olivia. "Tidak ada siaran ulang." Seharusnya hari ini aku bolos saja. "Nana, aku pikir kamu mau jadi temanku."
"Memang mau dan memang sudah kulakukan. Lihat kan? Aku bicara begini karena aku temanmu."
"Tapi katamu, mereka tidak salah. Aku aneh."
            "Selama ini, aku pikir teman-teman sekelas yang jahat. Hanya karena kamu pemalu dan tidak bisa bahasa Jawa, kamu dikucilkan. Tapi, setelah kamu diusir Frau Artha, aku baru sadar. Kamu yang jahat pada dirimu sendiri. Kamu sadar tidak sih, kami sudah mencoba dengan tangan terbuka, menyambutmu sebagai teman. Tapi kamu? Selalu pakai alasan. Merasa tidak cocok dengan siapa-siapa. Padahal kamu juga sering pakai bahasa Indonesia. Kami tidak selalu pakai bahasa Jawa. Terus kamu bikin alasan baru, logat kami beda. Kenapa kamu tidak menyesuaikan diri?"
            "Adaptasi juga butuh waktu, Na," suara Olivia memelas. Ia tidak tahan penghakiman. "Kami juga butuh waktu terbiasa dengan kamu. Kami berusaha ramah. Dan kamu? Kamu menutup diri. Kamu tahu apa yang paling bikin aku marah?" Olivia menggeleng. Pasti mukanya menjadi biru sekarang. "Kamu bergantung padaku." Jangan biarkan air mataku jatuh di depan Nana. Jangan. Jangan. Aduh. Olivia masih memperhatikan Nana yang terus menumpahkan perasaannya. "Kamu jarang mengerjakan tugas. Alasan lagi, alasan lagi! Kamu bilang lupa lah, susah lah, tidak mengerti lah. Kamu cuma tidak berusaha mengerjakan kewajibanmu. Ulangan saja kamu menyontek. Nah, giliran menyontek, baru kamu sadar bahwa kamu punya teman sekelas. Kurang aneh apa coba kamu di mata orang? Baju olahraga saja jarang kamu bawa. Aku hafal, tiap bawa training, kamu pakai ransel. Karena tasmu yang ini tidak muat dipakai bawa baju ganti. Iya kan?"
            Olivia merasa tubuhnya menciut dan meleleh. Ia sangat berharap sekarang semuanya berakhir. Tubuhnya yang telah berubah wujud menjadi cairan diserap oleh pori-pori lantai ruang ganti. Lalu menyusup ke bawah tanah. Tidak pernah naik lagi ke permukaan. "Kamu jauh-jauh ke sini buat sekolah, bukan cuma pacaran. Kasihan pacarmu itu. Dia tidak akan suka melihat kamu seperti ini, Olivia." Olivia berlari keluar. Tanpa peduli tatapan heran yang menyelimuti wajah teman-teman sekelasnya. Tanpa peduli kalau guru olahraganya hafal siapa dia. Mas Wahyu! Maaf! Olivia memekik dalam hati.




Sebelumnya :

3 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama