Pergi untuk Kembali

shutterstock.com

            “Saya mungkin belum bisa meluluhkan hati ibumu. Tapi saya yakin kamu juga tidak akan berhenti berjuang atas turunnya sebuah restu.”
            Di bawah langit malam-hitam-pekat kota yang basah diguyur hujan seharian, saya menelan tiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Saya hanya bisa diam dengan ekspresi kosong dan sekuat tenaga menunjukkan wajah yang ditegar-tegarkan. Betapa tubuh dan kepala saya sudah sangat berat, hampir limbung dibuatnya. Hati saya seperti baru dirontokkan. Kalau bukan karena angin dingin yang bertiup dan menimbulkan gigil ini, dia pasti sudah curiga mengapa tubuh saya gemetar hebat. Sekarang saya bisa berpura-pura menggigil karena kedinginan. Mungkin kalau sudah pulang, bisa banjir air mata saya.
            “Saya pikir ini rencana terbaik bagi kita berdua. Tidak hanya baik untuk saya, tapi juga buat kamu.”
            Sedikit jalinan kata sudah saya susun rapi, siap saya muntahkan. Saya mau membela diri. Keputusannya tidak dapat mengubah keadaan. Saya tidak setuju. Namun rasanya susah setengah mati hanya untuk mengatakannya. Saya ingin bilang, perpisahan bukan jalan keluar dari persoalan. Perpisahan hanya cara untuk melarikan diri dari bayangan kehancuran. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa hubungan ini layak dipertahankan.

            “Bisa saja ibumu terpesona waktu saya kembali nanti.”        
            “Itu juga kalau saya belum dilamar orang lain.”
            “Tolak saja mereka.”
            “Bukankah dengan melepaskan saya, kamu menawarkan kebebasan?”
            “Ya sudah, terima saja.”
            “Katamu tadi, perpisahan ini hanya cara lain untuk merekatkan kita. Agar kita sama-sama tahu rasanya saling membutuhkan. Agar ibu saya menyadari betapa kita ditakdirkan bersama. Lantas, kalau kamu melepas, apa yang harus saya lakukan? Menunggu kamu sampai tua? Iya, kalau kamu juga tidak keburu menikahi perempuan lain.”
            “Kalau kita ditakdirkan..”
            “Mana kita tahu takdirnya kalau tidak kita coba wujudkan?”
            “Apa kamu takut dengan kemungkinan yang ada?”
            “Apa kamu lebih suka bila kenyataannya berbeda? Jodoh memang di tangan Tuhan tapi manusia berhak mengupayakan. Bila kamu menyerah sekarang, sama saja kamu memperlihatkan bahwa kita tidak cocok.”
            Dia sudah terlalu lelah menjalani tahun-tahun penuh ketidakpastian. Dimulai dari kami yang masih remaja dan belum tahu arti cinta. Hingga kini kami dewasa dan matang tak hanya sebatas usia. Hidup terasa paripurna. Saya tidak pernah menoleh sekalipun pada lelaki lain, begitu pula ia tak pernah berpikir untuk bersanding di sisi perempuan lain. Sebetulnya di awal mula hubungan ini, saya sempat ragu. Kami terlalu lama menganyam rasa. Bukan hal aneh bila di tahun-tahun mendatang kami akan diserang bosan.
            “Bagaimana kalau saya jenuh dan meninggalkan kamu?”
            “Mengapa kamu berpikir seperti itu?”
            “Kita memulai kisah sejak belia. Lama kelamaan kisah itu akan beranjak tua.”
            “Justru saya bersyukur bertemu kamu sejak masih belum mengerti hitam putihnya dunia.”
            “Kenapa?”
            “Karena saya punya lebih banyak waktu dan kesempatan dalam hidup untuk bersamamu dan membahagiakanmu. Suatu saat nanti justru saya yakin akan mengalami masa di mana saya menyesali waktu-waktu yang terbuang, seakan waktu yang terlewati bersamamu selalu masih kurang.”
            “Itu kalimat termanis yang pernah kamu katakan pada saya.”
            Dan sekarang.
            Dia memantapkan diri bekerja ke luar negeri. Janjinya, setelah lebih sukses dan makmur hidupnya, ia akan kembali untuk melamar saya lagi. Saat itu ia bisa menunjukkan lebih banyak kualitas dalam dirinya. Menurutnya, ibu akan sungkan untuk menolak melihat keberhasilan yang nantinya ia sandang.
            Sementara menunggu waktu itu datang, saya harus terus belajar dan mempersiapkan diri menjadi calon istri terbaik untuknya. Saya akan melanjutkan sekolah, mencari kerja, dan menabung. Semua rencana yang ia tawarkan terasa menggoda. Tapi sakitnya bila tidak bisa bertemu dengannya karena terpisah jarak membuat saya terlihat seperti hewan yang terluka. Sesak. Rumit. Sakit. Terlalu berisiko. Sebab saya tidak tahu hasilnya akan sepadan atau tidak. Meski saya juga percaya, tidak ada kebanggan yang lebih baik dibanding dengan perjuangan yang berat.
            “Bisakah kamu ikhlaskan kepergian saya?”
            Saya ingin sekali mengatakan tidak. Tapi saya juga tidak sanggup menahannya di sini, membuatnya mencecap perih karena tertahannya restu dari ibu. Menungguku di sini hanya membuatnya menghabiskan waktu. Tanpa kepastian. Belum ada jawaban. Entah sampai kapan. Namun melepaskannya adalah kejatuhan yang luar biasa. Seakan melepaskan usaha sepanjang usia dengan sia-sia.
            “Benarkah kamu akan kembali dan melamar saya?”
            Dia tersenyum. Saya memaksakan seulas senyum. 

6 Komentar

  1. bagus, ini dapet bgt emosinya. nulisnya pake hati sih ya? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nulis? Hare geneeee pake tangan hahahahha. Ini namanya ngetik di blog :P Siapa bilang pake hati? Pake lepi kaleeeeeee

      Hapus
  2. ibu hanya ingin yang terbaik buat anaknya :D

    BalasHapus
  3. kyknya jago bikin cerita ya...
    ikutan acara giveaway ku yuk...
    :D
    siapa tau menang

    itu fiksi atau nyata sob?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe makasih undangannya, siap meluncur ke blog anda :D Ya paling kalo ga menang kan kalah hahahahha! Fiksi lah T.T Ribet banget di dunia nyata ngobrol sama pacar aja pake saya. Untung jomblo *eh

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama