Dunia Segi Empat

shutterstock.com


            “Han, makan dulu mienya. Nanti keburu dingin.”
            “Ah, bentar lagi.”
            “Han, sepuluh menit lagi kelas Pak Kus dimulai, lho.”
            “Cuma Pak Kus ini. Santai lah.”
            Monic mencibir. Aku bisa menebak seperti apa air mukanya setiap kumasukkan mentah-mentah omongannya ke dalam telinga kanan dan kumuntahkan lewat telinga kiri. Kadang aku heran sendiri, bagaimana aku bisa jatuh cinta pada perempuan yang suka mengatur dan berisik seperti Monic. Beberapa kali aku mencoba memutuskan hubungan dengannya tapi aku tidak tega tiap melihat air mata mulai mengalir di pipinya. Trik wanita.
            “Han, kamu sadar ga sih, kamu sekarang jarang punya waktu buat aku?”
            “Hmm...”
            “Kamu sibuuuk melulu. Apalagi sejak punya mainan baru.”
            “...............”
            “Han! Kamu dengerin aku ga?”
            Monic menggebrak meja dengan keras. Saking kagetnya aku, Blackberry di tangan kananku melayang.

            “Heh, jadi cewek itu yang halus dikit kelakuannya! Kamu liat ga, BB aku jatoh? Emang kalo rusak, kamu mau ganti? Aku udah keluar banyak uang buat kamu. Mikir dong. Sekarang aku harus keluar uang lagi buat BB yang kamu rusakin? Otak kamu di mana? Kamu minta dihargain, didengerin, diperhatiin. Tapi coba liat, perhatian kayak apa yang kamu kasih ke aku? Kemarin motor kamu diserempet orang, aku yang bawa ke bengkel. Kemarinnya lagi kamu ga punya sepatu olahraga, aku yang beliin. Kok ga tau diri, sih?”
Kepala Monic tersentak melihat jariku yang menuding ke arahnya. Ia terlihat hampir menangis. Dadanya naik turun. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Monic pergi.
Kupungut Blackberry kesayanganku. Beberapa orang menatap dengan heran. Sebagian menggelengkan kepala dan saling bisik. Dasar orang kampung. Ikut campur saja urusan orang. Cepat-cepat aku meninggalkan tempat. Aku muak.
            Aku heran dengan cara berpikir Monic. Ia bilang aku tidak punya waktu untuknya. Padahal aku mengantarnya kemana-mana. Kalau jadwal kuliah kami berbeda, kutunggu ia sampai selesai. Kuantar pulang supaya tenang hati ibunya. Sering kubelikan ia hadiah, tak terkecuali keluarganya. Kalau ia main dengan teman-temannya yang centil dan kebanyakan mengikik itu, aku tak keberatan mengikuti. Ke salon pun aku sanggupi. Belanja? Sudah barang tentu kutemani. Laki-laki mana yang tidak muak diperlakukan bagai sopir pribadi? Bodoh benar Monic kalau tidak menyadari apa saja yang sudah kulakukan untuknya.
            Ah, ya, soal mainan baru. Monic mencemburui sebuah Blackberry. Konyol. Ia bilang tanganku selalu sibuk bermain BB. Padahal tentu ada alasannya. Aku butuh hiburan. Bayangkan kalau dua puluh empat jam hanya kuhabiskan untuk mengurus seorang perempuan. Apa salahnya kalau aku bersosialisasi menggunakan perangkat teknologi? Dia kira ocehannya mengandung manfaat. Jelas BB lebih bisa kuandalkan setiap saat. Aku bisa menggunakannya untuk mengakses internet.
            Kelas Pak Kus selalu menyenangkan. Apalagi sejak aku putus dari Monic, kelas ini terasa lebih mencerahkan. Tentu karena cara mengajar Pak Kus yang santai dan tak mau tahu. Ia membiarkanku membuka laptop di tengah-tengah jam kuliah. Caranya mengajar, sejujurnya, sangat membosankan. Hanya duduk di bangku dan membacakan slide-slide dari power point dengan warna yang bikin rusak mata dan membuatku memilih buta warna. Semisal, perpaduan merah tua dengan huruf biru dan hijau.
            Selama 100 menit kuliahnya, kuhabiskan dengan berselancar di internet. Membuka berbagai situs, mencari topik-topik panas, mengunduh sebanyak-banyaknya film dan lagu, bermain games-games terbaru. Sepanjang itulah mata dan tanganku bersinergi fokus pada layar yang tepaku.
Bukankah hidup itu singkat dan masa muda tidak bisa diulang? Sedikit bersenang-senang bukan persoalan. Semua ini agar hidupku tidak terlalu membosankan. Bukankah lebih baik nakal di usia muda dan tobat di usia senja? Biarlah nanti aku siap sepenuhnya ketika menyandang gelar dewasa madya. Aku tidak lagi merasa kehilangan kesempatan merasakan nikmatnya kehidupan.
“Kehidupan generasi kalian hanya seluas layar ponsel yang kalian genggam. Pengetahuan yang kalian miliki hanya di permukaan sementara kalian tidak mau mencari tahu secara mendalam. Kalian menyukai hal yang instan dan praktis. Kecanggihan teknologi justru membuat kreativitas mati. Kalian menggampangkan segalanya padahal tidak menguasai apa-apa. Apa yang kalian jalani hanya demi kesenangan sehari. Apa kalian tidak memikirkan masa depan? Apa kalian tidak takut dengan hari yang akan datang?”
Giliran aku yang sekarang mencibir. Kata-kata Pak Kus terasa menyindir. Sebetulnya aku tahu kenapa ia berpikiran begitu. Tentu karena ia gagap teknologi. Ponselnya saja sudah tidak dipasarkan lagi. Ia hanya mencoba membela diri karena ketertinggalan yang ia alami. Seperti biasa, orang yang tersudut senang mencari pembenaran atas kesalahan. Aku mempertanyakan kenapa orang setua dirinya masih bisa mengajar.
Selepas kuliah yang menyebalkan, aku ingin melepas kepenatan. Dengan segera aku menuju parkiran untuk mengendari motor kesayanganku. Setidaknya hari ini aku memiliki sedikit penghiburan. Aku tak perlu mengantar Monic pulang. Boncengan di motorku terasa lebih ringan. Sambil bersiul-siul, kukendarai motor ini dengan kecepatan hampir seratus kilometer per jam. Tiba-tiba di tengah jalan, ponselku berbunyi nyaring. Dengan tangan kiri kuangkat telpon.
“Halo?”
“Han, kamu di mana?”
“Ngapain kamu telpon-telpon?”
“Aku mau minta maaf soal yang tadi.”
“Ga usah. Aku bosen dengerin kamu  ngoceh terus. Kita putus.”
“Han!”
Tin! Tiiin!
Sebuah pick-up menyalipku dari sebelah kiri. Karena gugup, motorku sempat oleng ke kanan. Tanganku sibuk mempertahankan ponsel agar tetap kugenggam. Mataku melihat nama Monic di layar. Ia masih berusaha bicara denganku di telpon. Ingin kureject telponnya.
Sekilas kulihat melalui kaca spion, sebuah truk menyenggol bagian belakang motorku. Kemudian yang terakhir kali kuingat hanya ponselku. Layarnya yang berbentuk segi empat seperti menyedot kesadaranku. Ketika pandanganku menjadi gelap, samar-samar kudengar dering ponsel. Tidak ada yang kurasakan kecuali kehampaan. Gelap. Semua menjadi gelap. Jeda hening yang panjang.
Lalu aku membuka mata.
Aku melihat bentuk kotak-kotak. Sekelilingku segi empat. Bisa kulihat diriku dalam bentuk pixel. Dan suara yang keluar dari mulutku seperti bunyi telpon.

7 Komentar

  1. nice story :)

    sweet and sugars,
    Dias

    BalasHapus
  2. gadget ohhh gadegt ..
    Linda, Semoga berminat ikutan yaa .. http://silvianapple.blogspot.com/2013/02/sunshine-award.html

    BalasHapus
  3. Maafkan Indonesia saya, saya hanya menggunakan Google Translate sehingga saya dapat meninggalkan komentar di blog Anda yang indah!

    Aku benar-benar mencintai blog Anda! Khusus foto-foto karena mereka begitu rinci dan jelas, saya benar-benar bisa mengerti tentang posting Anda. Aku mengikuti Anda di GFC! Berharap Anda bisa datang dengan saya juga :) Terima kasih untuk posting ini! Saya tidak sabar untuk membaca lebih lanjut posting Anda. Lebih banyak kekuatan untuk Anda!

    XOXO
    Anda baru pengikut,
    www.MusingsofaMakeupMaven.com

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama