Tuhan Tahu yang Terbaik Untukmu


Waktu itu saya kelas 3 SMA. Kurang lebih dua tahun yang lalu. Saya akan segera mengikuti Ujian Nasional. Saya hampir tidak punya semangat untuk belajar. Karena saya yang ingin masuk jurusan IPS ternyata terdampar di jurusan IPA. Membaca materi saja malas apalagi berlatih mengerjakan soal.


Sementara saya tahu risikonya kalau tidak belajar. Ujian Nasional itu tidak gampang. Buktinya, tahun-tahun sebelumnya, koran dan teve ramai membicarakan anak-anak yang tidak lulus. Jujur, saya takut. Saya pesimis. Belum lagi memikirkan jurusan kuliah. Apalagi orang tua yang melihat anaknya tidak mau belajar jadi ikut pesimis juga. Sampai-sampai orang tua berpikir saya mungkin tidak akan diterima di perguruan tinggi negeri. Saya disuruh mencari info perguruan tinggi swasta yang biaya kuliahnya masih bisa dijangkau keuangan keluarga. Sayangnya pilihan perguruan tinggi swasta yang dekat dengan domisili saya itu kurang bagus. Kalau ada yang bagus juga mahal.

Orang tua bilang, saya tidak perlu kuliah jauh-jauh. Padahal cita-cita saya ingin masuk PTN di timur Pulau Jawa. Saya kesal luar biasa waktu saya disuruh masuk PTN di kota tempat tinggal. Saya pikir, masak saya terus tinggal di sini?? Saya kan mau cari pengalaman baru? Lagi pula PTN itu bukan keinginan saya. Seluruh jurusannya pasti IPA. Saya tidak mau lagi bertemu dengan pelajaran hitung-hitungan. Saya capek, marah, muak!

Tapi saya juga sadar diri, bisa apa? Kuliah masih dibiayai. Makan masih diberi. Belum lagi kemampuan otak yang biasa-biasa saja. Ujian Nasional saja masih diragukan bagaimana mengerjakannya apalagi ikut tes masuk perguruan tinggi. Orang tua saya sangat kalut. Mereka terus berdoa. Minta doa pada keluarga besar pula. Mereka tidak tenang karena takut saya tidak mencapai sesuatu yang baik. Seburuk itu keadaan saya dulu.

Lalu semangat saya mulai bangkit waktu saya ikut bimbingan belajar. Tempat bimbel itu nyaman sekali, tenaga pengajarnya baik-baik. Meski saya tidak bisa berubah 180 derajat langsung jadi jenius, tapi perlahan kesadaran saya untuk berlatih mengerjakan soal pun tumbuh. Saya membeli paket belajar sampai lulus Ujian Nasional. Artinya, saya akan tetap belajar untuk ikut tes masuk perguruan tinggi.

Saat itu, ada pengumuman di sekolah. Ada seleksi masuk perguruan tinggi melalui rapot. Yang pertama buatan pemerintah, serentak di seluruh Indonesia untuk jenjang S1. Yang kedua bikinan D3 IPB. sekolah saya diundang bepartisipasi mengirimkan murid-murid pilihan. Saya yang belajar malas-malasan dan nilai sebatas cukup, nekat ikut karena dorongan orang tua. Saya cuma iya-iya saja. Meski saya sempat putus saya, mau kuliah jurusan apa? IPB kan pertanian. Mana ada jurusan sastra atau HI?

Mama bilang, “Kamu coba saja masuk Komunikasi.” Saya baru dengar jurusan Komunikasi. Bukankah setiap manusia berkomunikasi seumur hidupnya? Rutinitas semacam ini saja masih ada ilmunya? Dengan embel-embel bahwa jurusan ini tidak mempelajari Fisika atau Matematika, saya menjadikan jurusan Komunikasi pilihan pertama di formulir pendaftaran sebagai mahasiswa seleksi rapot. Saya juga harus menulis surat lamaran. Saya katakan bahwa saya suka menulis, saya ingin komunikasi melalui tulisan saya semakin baik.

Mama lalu meminta untuk selesi rapot jenjang S1 saya juga memasukkan pendaftaran ke IPB. Saya tidak tertarik. Kekeraskepalaan saya muncul lagi. D3 sudah daftar IPB, S1 juga? Saya pun berbohong. Saya justru mendaftar ke PTN lain yang letaknya jauh dari kota saya.

Kebohongan ini terbongkar.

Mama punya kenalan. Dia ingin tahu apakah nama saya ada dalam daftar mahasiswa yang diterima S1. Mama lalu minta kenalannya untuk mengecek berkas saya. Ketahuanlah kalau saya tidak pernah memasukkan berkas apapun. Saya akhirnya mengakui kalau saya mengirimkan berkas ke tempat lain. Orang tua marah sekali. Saya dimarahi di depan tamu, kenalan mama itu. Saya cuma diam.

Orang tua mencari informasi perguruan tinggi swasta mana yang bisa saya masuki. Sementara saya tidak memikirkannya lagi. Tiba-tiba, di sekolah diumumkan saya masuk jurusan Komunikasi! Saya satu di antara tiga anak. Katanya jurusan ini populer dan agak sulit dimasuki, selain jurusan Gizi. Saya senang. Orang tua apalagi. Bangga luar biasa pada saya. Waktu teman-teman tahu, ada yang mencibir. Seperti, “Ah, buat apa kuliah D3. Ga asik! Tanggung! Mau daftar ke tempat lain aja deh!”

Mama membesarkan hati saya. Mama bilang, jangan didengar. Rezeki orang ada yang atur. D3 itu rezeki saya. Kalau saya sombong dengan menolak rezeki Allah (yang sudah pasti) lalu mencoba tes dengan masuk perguruan tinggi negeri lain (yang belum pasti diterima) berarti saya tidak bersyukur. Saya setuju. Kali ini saya menurut. Maka saya membulatkan tekad jadi mahasiswi Komunikasi.

Ternyata saya suka.

Saya bersyukur atas dua tahun yang saya jalani sebagai mahasiswi Komunikasi. Ini ilmu yang saya sukai. Ini rezeki. Kini saya tahu, apa yang saya sukai belum tentu baik buat saya. Apa yang saya tidak sukai belum tentu tidak baik buat saya. Sang Maha lebih tahu dibanding hamba-Nya.

giveaway


8 Komentar

  1. Jurusan Komunikasi...pilihan yang baik lho mbak, saya dulu mengajar dijurusan ini lho :) . Seru dan mengasyikkan. Allah memang tahu yg terbaik buat smua hamba Nya. Kuliah yg rajin ya ;)
    Makasih sudah berpartisipasi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama mbak :) hehe iya dulu saya belum tahu jurusan ini kayak apa, pas udah belajar ya bersyukur banget bisa masuk komunikasi

      Hapus
  2. anjing menggonggong kafilah berlalu. yang jalani kan linda, yg lain bisanya cuma dua hal. mendukung atau mencibir :)
    kee spirit, say..

    BalasHapus
  3. Mantap nih cerita pengalamannya.. ^_^

    Masih beruntung deh mbak orangtua masih gampang tuk biayai kuliah..
    Karna masih banyak orang2 yg pengen kuliah tapi gak kesampean..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya alhamdulillah saya juga sangat bersyukur hehe

      Hapus
  4. dilema milih jurusan yak...yang penting ikhlas menjalaninya :)

    BalasHapus
  5. bagus jurusan komunikasi, eh pada dasarnya semua jurusan jg bagus dgn kemampuan masing2. ttg d3, Kenapa sih msh aja ada yg ngebully satu hal yg dianggap remeh, msh jaman gt?

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama