Cara Ibu Mencintai

“Anakmu?”

Aku tersenyum sembari merangkul Keke. Tenang, Mina. Tenang. Bukankah kau sudah biasa menghadapi pertanyaan orang? Toh Keke memang anakmu. Memangnya mengapa kalau Keke terlihat berbeda? Bukan cuma kamu satu-satunya ibu di dunia ini yang pernah menghadapi perkara yang sama. Coba kamu ingat Forrest Gump yang dipanggil idiot oleh orang-orang. Bayangkan perasaan ibunya. Meski kasusnya beda, rasanya hampir sama, kan?


“Iya, anakku. Anak kesayanganku. Namanya Keke.”

“Kurang mirip sama kamu ya.”

“Keke mirip bapaknya.”

“Bapaknya mana? Ga ikut mudik?”

Senyumku sangat tipis. Aku berusaha tersenyum lebar tapi senyum pura-pura itu tidak mudah. Keke menengadahkan kepalanya, memperhatikan wajahku. Dia tidak punya cara untuk menguatkanku tapi ia selalu merasa harus melihat wajahku. Menatap mataku. Meyakinkan dirinya sendiri apa yang dirasakan ibunya, kurasa. Kami sama-sama dalam posisi yang tidak mudah. Aku ibunya, aku melindunginya dari perkataan orang yang menyakitkan. Ia anakku dan ia tak tega melihatku terluka. Tapi kalau menurutnya sebab dari luka itu adalah dirinya, bagaimana ia sanggup bertahan menjalani masa kanak-kanak tanpa pikiran menyesatkan?

“Bu, yang tadi siapa?”

“Temen sekolah ibu dulu.”

“Ibu sih, kenapa kita harus ke sini? Mereka itu ga suka sama aku. Soalnya aku ga punya bapak!”

“Siapa bilang kamu ga punya? Kamu pikir siapa yang bikin ibu bisa melahirkan kamu? Hantu?”

“Tapi sekarang kan bapak ga ada bersama kita, bu.”

“Bukan berarti kamu ga punya bapak kan?”

“Iya. Dia ada. Tapi dia memilih ga bersama kita. Menurut ibu dia ke mana? Nikah lagi?”

“Hus! Jangan ngomong sembarangan. Hormati dia. Bagaimana pun juga, tanpa dia, kamu ga pernah ada. Dan ibu ga tahu rasanya punya anak perempuan yang cantik.”

Anakku memang cantik. Orang saja yang tak paham seberapa cantiknya dia. Kulitnya memang hitam, seperti bapaknya. Tapi itulah kecantikan orang timur sana. Dia memang pendek, entah keturunan siapa. Padahal baik gen dariku maupun dari bapaknya semua bertubuh tinggi. Ya, mungkin dari kakek buyutnya, garis keturunan bapaknya, satu-satunya yang mungkin bertanggung jawab atas hal ini.

Anakku mungkin tidak pintar dari segi akademik. Tapi larinya cepat. Otot-otot kakinya kuat. Entah berkorelasi atau tidak, semakin ia menceburkan diri dalam dunia lari, semakin ia mirip anak lelaki. Betisnya kata orang berkonde, tapi ia tetap santai dengan celana selutut. Meski ia terlihat tangguh, ia kerap menangis dalam pelukanku saat bersedih. Walau sikapnya sepintas lalu kasar dan bicaranya jauh dari lembut, ia jago memasak dan mengejarkan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Bapaknya tidak ada, tapi aku sudah bahagia berdua dengannya. Titik.

“Kamu itu gimana sih didik anakmu kok dia kayak gitu? Coba diajari dandan dikit, biar ayu. Perempuan masak ga pernah pake rok. Terus rambutnya disisir yang rapi, dikasih pita. Jalannya jangan ngangkang. Kalo ngomong ya diatur, dikit-dikit nyeletuk. Anak perempuan itu harus adem dipandang, bukannya bikin risih. Ketawanya keras, kayak tinggal sendirian aja di hutan. Ibu dulu kan mengajari kamu tidak begitu?”

Ibu bicara panjang lebar sementara aku hanya berusaha menjadi pendengar yang baik. Tidak, aku tidak membantah ibu. Dia hidup jauh lebih lama dariku. Dan dia sudah melakukan lebih banyak trial and error dibanding aku sehingga ia lebih banyak tahu hal-hal salah yang tak seharusnya dilakukan. Wajar bila ia mempertanyakan pola asuhku dan hasilnya pada Keke. Cara ia membesarkanku dulu sangat jauh berbeda. Toh aku tenang-tenang saja. Tiap anak memang berbeda zamannya.

Hari ini, akan lebih banyak lagi yang bertanya soal Keke. Aku tetap bersyukur. Keke tumbuh menjadi anak yang dekat dengan ibunya. Meski ini tidak mengherankan karena tak ada bapak yang bisa ia buat dekat hubungannya. Dulu pun waktu mengandung Keke, aku sudah tahu apa yang akan kuhadapi. Dengan suami yang tak kupunyai. Hanya saja aku tak tega kalau Keke juga merasakan kepahitan yang kucecap.

“Bu, Keke pake rok ini? Biar kata eyang keliatan cantik.”

Keke masuk ke kamar setelah eyangnya keluar. Aku tahu ia selalu mendengungkan quote “just be yourself”-nya itu. Tapi toh Keke ada lelahnya. Ia tak sanggup bila terlalu lama ditolak dunia. Dunia yang penuh kesepakatan dan peraturan sehingga melahirkan yang umum dan yang ganjil. Padahal Keke cuma berekspresi, dengan cara yang ia sukai.

“Lebih baik kamu pakai baju yang kemarin kamu beli bersama ibu. Baju itu bagus kok. Toh bajunya sopan dan bersih, pantas dipakai. Kamu tidak harus menjadi orang lain kalau bersama ibu. Kamu kan anak ibu.”


Keke memelukku. Haru menyelinap di pelupuk mataku, turun ke pipi.

***


7 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama