Prompt #22 Membangun Bahtera

shutterstock.com
“Maukah kau bersamaku membangun sebuah bahtera?”

Aku mendengarnya setengah tak percaya. Kami sedang mengendarai mobil yang melaju kencang, menembus jalanan yang lengang. Aku tahu ini bukan mobilnya, mungkin milik pamannya atau ia ambil tanpa izin dari bengkel temannya. Aku juga tahu ia tak kan sanggup membayar meski sepersepuluh dari biaya kerusakan mobil ini bila terjadi kecelakaan. Namun aku tak pernah keberatan menemaninya sejenak melupakan beratnya kehidupan dengan mengendarai mobil secara ugal-ugalan.


“Apa kata-katamu bisa dipercaya?”

“Pernahkah kau mendengarkanku lalu tak percaya?”

“Kau tahu, kita masih terlalu muda. Kita bahkan sering kehilangan kendali. Seperti misalnya aku mengikuti apa pun maumu meski itu tak masuk akal dan membahayakanku. Bukankah kita tak pernah memikirkan risiko? Aku membiarkanmu melanggar rambu lalu lintas dan menerobos lampu merah. Lantas apa jadinya kalau kita menikah?”

“Jangan berpikiran buruk terhadap masa depan. Nikmati yang kau miliki sekarang. Jangan halangi aku berbuat kebaikan dengan menikahimu. Biarkan aku melakukan satu perbuatan baik, sekali seumur hidup.”

“Tidakkah kau ingin kehidupan yang lebih baik?”

“Ya, dengan menikahimu.”

“Setelah itu? Berhenti? Sudah? Begitu saja?”

“Kalau aku menikahimu, kau tak perlu menjual diri atau memutuskan pergi. Aku yang akan bertanggung jawab untuk menghidupi. Selama aku masih menikahimu. Karena pernikahan itu sampai mati dan selamanya.”

Aku pun tidak dapat menjelaskan padanya bahwa aku menolaknya, aku tidak mencintainya. Jelas-jelas aku sangat menyayanginya melebihi batas-batas logika. Contohnya, aku membiarkan nyawaku di balik kemudinya. Sementara ia bahkan tak ingat bahwa ia makhluk bernyawa sementara pengendali takdir adalah Tuhannya.

Hari ini dia mengantarku ke pelabuhan untuk menciptakan kehidupan. Hidup yang baru, di tempat asing, untuk berubah. Sebab bila terus melihatnya, aku akan tunduk pada kemauannya, tak peduli akan nyawa. Sehingga aku rela meninggalkannya.  Berlayar ke ujung dunia.

“Kalau aku tidak mau?”

Kuberanikan diri mengatakannya. Ia hanya tersenyum.

“Kita sudah sampai di laut, kita jadikan saja mobil ini bahtera.”


Byur.


Tulisan lain bisa cek di Mr. Linky di sini

28 Komentar

  1. Iiiich, love is blind beneran, tuh! Crazy! Tapi jadi sehidup semati deh, hahahaha....Nice FF. Bunda suka alurnya enak diikutin dan twist-nya okpu.

    BalasHapus
  2. kerennn mak... endingnya cetar ^^

    BalasHapus
  3. eyampuuuuun, nyebur bareng deh >_<

    BalasHapus
    Balasan
    1. kan biar tetap bersama mengarungi samudera :D #lho

      Hapus
  4. selesai baca, kata2 pertama yg keluar dari mulut gue. GILA!

    BalasHapus
  5. psycho! mungkin mereka akan bahagia di dunia sana.
    "sementara ia bahkan tak ingat bahwa ia makhluk bernyawa sementara pengendali takdir adalah tuhannya"
    beuh kalimatnya saeeeeek, bagus lin

    BalasHapus
  6. Waduh, endingnya ituuuuu *bener2 sehidup semati :)

    BalasHapus
  7. hehehehe langsung ma' byur, brarti dia tau kalo si aku sebenere gak cinta :D

    BalasHapus
  8. Kwerwenn bwangngwet! Bwyur jyuga dweh! Hehe..

    BalasHapus
  9. Byur-nya bikin cerita jadi 'hakdes' ;)

    BalasHapus
  10. sayang berlebih itu namanya. padahal cinta ajah kagak :D

    BalasHapus
  11. Balasan
    1. hehe biar ga ringan harus gimana gitu mbak? mungkin kalo yg terjun tronton ga bakal ringan, mak bles :D

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama