Prompt #26 Kalau Mereka Tidak Bersama

dokumentasi : Rinrin Indrinie


“Martin?”

Perempuan itu menatapnya, mencari kekuatan di dalam sana. Lelaki yang menggenggam tangannya mengangguk mantap, meyakinkan.


Kalau mereka tidak bisa bersama, sebaiknya tak ada yang memiliki mereka. Kalau mereka belum ditakdirkan berdua, setidaknya mereka sama-sama ke surga. Begitulah kira-kira apa yang mereka pikirkan beberapa jam sebelum datang kemari. Di antara debur ombak dan jari jemari yang saling bertautan, mereka melantukan doa-doa. Semoga Tuhan menyertai mereka. Semoga Tuhan mengampuni pilihan mereka. Dan semoga kepergian mereka dari dunia benar-benar dapat membuka semua mata betapa kuatnya pengaruh cinta.

“Martin, kalau mereka menemukan kita, menurutmu apa yang mereka pikirkan?”

“Bahwa kita tak terpisahkan.”

“Tapi kita tak lagi hidup. Karena kita dipisah maut. Aku tak bisa menatapmu lagi, menyentuh rambutmu lagi, mengucapkan kerinduanku lagi. Aku bahkan tak bisa berpikir tentangmu. Sebab aku telah mati. Apa itu yang dinamakan saling mencintai? Padahal aku ingin selalu bersamamu dan menghabiskan hidup denganmu. Tak ada yang dapat kulakukan untukmu bila nyawa telah dicabut dari tubuhku.”

Martin menangkupkan kedua tangannya pada wajah perempuan yang sangat ia puja. Walaupun wajah itu bukan wajah tercantik di dunia, ia selalu terpesona menatapnya. Seakan ia menemukan harta karun. Senyum perempuan itu tak pernah habis menghiasi pikirannya setiap jam, menit, dan detik. Sampai-sampai ia pikir ia sudah melewati batas kegilaan.

“Tapi, kalau kita tetap hidup, kita akan terpisah. Kau akan dimiliki orang lain. Sementara aku tak bisa berbuat apa-apa. Itu lebih menyiksaku dibanding melihatmu terbujur kaku di sampingku.”

Mata perempuan itu berkaca-kaca. Mungkin dalam hatinya ia berkata, Martin benar. Ia memang selalu mendengarkan apa kata Martin. Seakan Martin adalah pusat alam semesta di mana seluruh kehidupannya bermula. Sekarang ia tahu kenapa orang bilang cinta itu buta. Ia bahkan tak merasa perlu berpikir untuk melakukan segala yang Martin pinta.

Kemudian Martin dan perempuan itu sama-sama menutup mata.

Ketika terbangun, Martin mencari-cari tangan seseorang yang biasa ia genggam di sampingnya. Segera ia tersadar. Ah, ia kembali bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Mimpi yang menjadi potongan kisah hidupnya, berpuluh tahun lampau.

Seperti biasa, Martin bangun pagi-pagi sekali. Lalu memulai ritualnya dengan mandi dan sembahyang, lantas membaca setumpuk koran. Ia membaca sampai hari mulai siang. Maka tubuhnya pun mulai berpeluh keringat. Hingga ia melepas kausnya dan membiarkan tubuh kurusnya diterpa angin.


Namun, ia selalu menyelipkan sebuah potongan koran untuk mengakhiri ritualnya membaca di pagi hari. Sepotong koran yang memuat sebuah berita yang menggambarkan kegelisahannya selama ini. Tentang kenyataan bahwa ia masih hidup sementara perempuannya telah mati. 

11 Komentar

  1. jadi inget kata2 GIE " tua itu penyakit "
    *eh bener gak ya..
    belon berani mebayangkan tua nanti aku kayak gimana? :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe memang ini bikin kebayang-bayang gitu ya mas?

      Hapus
    2. Ga usah dibayangin Kakak Ronal.
      Jalani saja :P

      Hapus
  2. Nyesek itu nular, ea? Cerita gue ama elu sama2 bikin nyesek! Huhuhu.. Hiks. ;-(

    BalasHapus
  3. pinter banget ya mb bikin flash fictionnya...ajarin duuung hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini juga masih belajar mbak, ayo terus berlatih :D

      Hapus
  4. kalau gini kesannya martin curang ya. waktu perempuannya mau kawin ma orang lain, martin ngajak bunuh diri. tapi ketika hanya perempuannya yang 'berhasil' mati, kenapa dia ga berusaha nyusul perempuannya, dan memilih tetap hidup dan menua?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehe itu terserah pembaca mau tangkap kesan apa :)

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama