Cerfet #MFF: Tiga Hati Dua Generasi


shutterstock.com

Kinansih menatap lawan bicaranya sembari mengangkat dagu. Sudut bibir kanannya naik. Dalam hatinya menggembung rasa jijik. Seluruh masa depannya berada dalam genggaman perempuan laknat itu. Perempuan yang tidak ada seujung kuku dibandingkan dirinya. Perempuan yang tidak jelas asal usulnya.

Perempuan macam apa yang lebih kamu pilih dibanding aku, mas?!


Mata Kinansih berkilat saat melihat cincin di jari manis perempuan itu. Rasa jijik sekaligus meremehkan bertahta berkali-kali lipat dalam dadanya. Hanya perempuan rendahan yang mengambil suami orang. Hanya perempuan yang tak punya harga diri yang bercita-cita menelusupi pernikahan orang sebagai duri. Apa dia kehabisan laki-laki? Mau disimpan di mana mukanya? Menadahkan tangan minta uang belanja dari pria yang bukan kepala keluarganya bagai lintah menyesap darah. Tentu, orang tidak mau dihisap darahnya oleh lintah. Orang akan membuangnya. Begitu pula perempuan ini. Harus dibuang. Dihancurkan. Dilenyapkan.

Berbagai pikiran buruk berkecamuk bagai badai tak usai-usai dalam kepala Kinansih. Ia menahan diri untuk tidak ikut merendahkan dirinya pada perempuan itu. Ia tidak akan meminta atau memohon agar suaminya kembali. Lebih berat baginya untuk mengasihani hati yang tersakiti. Kinansih tak mau bertahun-tahun ke depan hidupnya dipenuhi rasa benci dan dengki. Namun Kinansih khawatir rasa lelahnya menahan emosi mengalahkannya. Ia takut bisa melakukan apa saja pada perempuan itu. Wajah yang memang tak lebih rupawan, sikap yang tak lebih beradab, dan otak yang tak lebih berisi dibandingkan dia akan lebih rusak lagi bila mendapat luka lain. Torehan pisau, mungkin. Atau siraman air keras.

“Kami akan menggelar resepsi bulan depan. Aku sudah bicara pada Mas Nanda. Dia akan sangat senang kalau kau datang. Kami tidak ingin memutus tali silaturahmi.”

Kinansih tidak percaya pada apa yang didengarnya. Ia mengangguk kaku. Perempuan itu lalu pamit, meninggalkan gelap pada hari-hari Kinansih. Menyisakan pahit pada perjuangan Kinansih yang berusaha mempertahankan bahteranya hingga seusia Ratih. Selama itu pula Mas Nanda dan perempuan sumber penderitaannya bermain mata. Menikam Kinansih dengan cara yang tak dapat dilupakannya.

Mata perempuan itu kini berwujud mata lelaki yang berada di depannya.
***
“Al, lo tuh kenapa sih? Dari tadi nangis melulu. Ngomong dong. Ngapain coba lo nongol di kostan gue tapi kerjaan cuma diem kayak patung pancoran? Mainstream banget sih lo, pasti galau deh. Gara-gara cowok mana sih Al...”

“Coba lo jadi gue, Din, lo ga bakal ngomong gitu.”

“Yaelah Al, lo kira yang pernah patah hati lo doang? Hampir seluruh dunia juga pernah kali ngerasain patah hati. Let it go, girl. Cowok itu ada banyak, belom punah. Ngapain lo pertahanin orang yang bikin makan ati. Cuma cowok ga bener yang bikin lo nangis-nangis kayak gini. Masak Alya yang biasanya ceria dan selalu keliatan bahagia jadi anak alay yang bisanya nangis di pojokan? Sayang-sayang masa muda lo!”

Alya gemas mendengar kata-kata Dina. Tapi ini pertaruhan cintanya. Mana bisa ia temukan lagi yang seperti Rio−atau yang dipanggil ibunya Dio? Hidup cuma sekali, apa ia harus merelakan sang belahan hati? Baru kali ini ia merasakan cinta yang sedalam ini. Atau itu karena ia memang tak pernah merasakan jatuh hati sebelumnya.

“Kalo dia lebih milih orang lain dibanding gue sementara gue maunya sama dia, gimana, Din?”

“Gini aja deh. Kalo lo sukanya sama si A tapi yang ngotot mau pacaran sama lo malah si B, mau? Cinta kan ga bisa dipaksa. Cinta itu datang sendiri. Apa gunanya lo ngejar cinta yang jelas-jelas yang membuka hatinya buat lo? Cinta itu harusnya bikin lo bahagia, bukan mempertahankan sesuatu yang lo ga tau ujungnya di mana.”

Ya, di mana ujungnya? Jika Rio-atau Dio−tidak memilihnya, maka sanggupkah ia memanggil lelaki itu papa? Bila lelaki itu jadi miliknya, apa ibunya akan punya menantu yang seusia? Alya merasa kepalanya akan meledak saat itu juga ketika ponselnya berdering dengan nada berbeda. Instrumen musik yang disukai neneknya. Ah ya, neneknya yang menelpon.

“Sayang, Alya, ini nenek. Kamu ke mana, sayang? Kamu ada masalah sama mama? Kamu marah sama mama? Mama kamu panik cari-cari kamu. Pulang, sayang.”

“Nek, aku mau ke rumah nenek. Aku mau cerita.”

“Sini sayang. Nenek tunggu.”


Alya bangkit dengan senyum mengembang. Kalau ia tidak bisa menemukan pemecahan masalahnya, maka ia perlu neneknya. Biar neneknya yang memilihkan antara ia dan mamanya yang boleh bersanding dengan Rio. Karena toh mama akan menikah atas restu nenek. Itupun kalau mama bisa menikah lagi.

6 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama