Prompt #33 Sebuah Kejutan

shutterstock.com
Aku tersenyum kecil sambil menggosok kedua telapak tangan. Ini akan menjadi sebuah kejutan! Kau pasti senang. Sepagi ini aku datang sambil membawakanmu sarapan. Yah, mungkin ini bukan kejutan yang mewah atau membuatmu membelalakkan mata. Tapi, bukankah kau suka mendapat limpahan perhatian? Apalagi aku sudah lama tidak mengunjungimu di rumah.

Sebelah tanganku baru akan mengetuk pintu ketika tukang pos muncul di belakangku. Terdengar teriakanmu dari jendela lantai dua rumahmu. Dari kamarmu. Langkah kakimu terdengar ribut menuruni anak tangga. Aku tahu, kau pasti suka kehadiranku. Aku belum memberitahumu bahwa aku sudah pulang dari hari Minggu. Aku akan menjadi alasanmu berkata I Like Monday.


“Aaaaa! Suratnya sudah datang! Makasih ya, mas.”

Tampaknya keinginanku menjadi pemeran utama digantikan mas-mas pengantar surat dari kantor pos. Bahkan kau mengacuhkanku dan justru menyambut surat itu. Aku menjadi cemburu. Siapa yang mengirimnya? Kenapa surat itu begitu kau nantikan? Tidakkah kau senang aku pulang?

“Hei, kamu sudah pulang? Tepat sekali. Aku benar-benar rindu. Aku juga ingin menunjukkanmu sesuatu,” katamu sembari meraih tanganku. Bagai robot aku kau tarik masuk ke ruang tamu. Aku duduk sementara wajahmu yang sumringah tak sabar membuka amplop dan melihat isi surat itu. Kau berdiri sambil membaca surat dengan mata membelalak dan suara “oh” juga “ah”. Aku penasaran. Kuambil robekan amplop dari lantai.

“Kamu tahu? Aku senaaaaaaaang sekali! Mereka menerima permohonan beasiswaku! Aku akan melanjutkan kuliah di luar negeri! Ya ampun, ini impianku, kamu tahu kan? Aku sering mengatakannya padamu sejak kita masih di semester satu. Aku tidak sabar lagi untuk segera pergi. Bagaimana dengan kamu? Setelah lulus, kamu ingin tetap di sini atau pergi?”

Seluruh kata-kata yang tadinya kulatih dan kupersiapkan hilang. Tadinya kupikir kau akan memelukku dan kuusap punggungmu sembari kukatakan segala hal demi membunuh rindu. Ingin kuceritakan banyak hal tentang tugas lapangan yang telah kukerjakan dan betapa hari-hariku di sana menjadi tak semenarik saat bersamamu. Perusahaan tersebut bahkan menawariku kontrak kerja selulus dari sini dan akan memberiku beasiswa setelah dua tahun mengabdi. Awalnya aku berencana mengajakmu ke sana agar kita bisa bersama.

“Kamu akan memgambil beasiswa itu?” tanyaku bodoh.

“Tentu saja! Bagaimana denganmu? Kamu tadi belum menjawab pertanyaanku.”

“Aku... akan pergi. Aku mendapat tawaran pekerjaan. Jauh dari sini.”

“Jadi... kita akan LDR?”

“Yah. Kupikir. Untuk sementara waktu.”

“Yang terpenting sekarang kamu sudah pulang.”

Kau memelukku erat. Aku masih menggenggam robekan amplopmu. Bukan aku yang mengejutkanmu, pada akhirnya. Tapi surat itu.

karya lain bisa dilihat di sini

6 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama