25 Januari

Rombongan orang berbaju hitam datang. Mereka memenuhi pekarangan juga ruang depan. Sebagian memasang wajah duka. Sisanya mengguman, memuji pelaku kebaikan yang telah berpulang. Di antara orang-orang itu tinggal aku yang tepekur di pojok. Bersusah hati sekaligus mengutuk diri. Mengapa aku datang terlambat?


“Bagaimana bisa terjadi?” tanya seorang pelayat di depan bibi.

“Ah, dia masih muda,” celetuk seseorang di dekat pintu depan.

“Padahal dia anak yang penurut dan kebanggan orang tua,” sahut yang lainnya.

Ah, bagiku, kesedihan sebagian dari mereka hanyalah pura-pura. Sisanya adalah tindakan tak berguna. Aku yang harusnya sedih, marah, kecewa, dan frustasi. Aku yang baru pulang dikejutkan dengan kedatangan ambulance. Tak ada yang menjelaskan padaku apa yang terjadi hingga bisa begini. Setiap kuajak bicara, seluruh keluarga hanya meratap tanpa menjawab. Entah mereka menyembunyikan sesuatu dariku atau mereka sebetulnya memberitahuku. Ya, aku memang harus membuktikannya sendiri.

“Adakah saksinya?” tanya pelayat yang tadi bicara pada bibi.

“Katanya dia dalam keadaan mabuk. Tentu kami tidak percaya. Dia kesayangan kami, tidak pernah mengecewakan apalagi menjadi bahan pikiran. Namun kami juga tidak paham bagaimana ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan seratus dua puluh kilometer per jam hingga menabrak pembatas jalan. Selama ini dia tidak pernah cerita memiliki masalah.”

Penjelasan bibi membuatku terkejut. Mabuk? Apa benar? Bibi saja ragu, apalagi aku. Tapi mana bisa aku menyanggah bahwa itu salah sementara aku tak pernah benar-benar tahu?

Bibi melanjutkan ceritanya, “Padahal ini tanggal dua lima bulan satu. Hari kelahirannya si bungsu. Ia adalah anak bungsu paling tak menyusahkan sekaligus paling dewasa di antara kakak-kakakknya. Kepulangannya ditunggu agar kami bisa merayakan ulang tahunnya.”

Kuberanikan diri melangkah. Tak ada pelayat yang memberi jalan lewat. Terpaksa aku berjingkat-jingkat. Napasku tertahan saat tubuhku makin mendekat pada sebuah gundukan ditutup kain di tengah ruangan. Kusingkap kain itu sedikit.

Aku terdiam sementara kakak-kakakku menangis tersedu.




6 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama