Quiz MFF #4 - Penghuni Rumah Sebelah


There’s no place I rather be...

Lagu itu membuatku terjaga. Sudah beberapa hari ini aku mendengarnya diputar berulang kali. Bukan cuma satu dua kali dalam sehari seperti yang biasa stasiun radio favoritmu melakukannya. Maksudku diputar berulang kali adalah sepanjang hari, setiap hari. Kupikir aku tidak akan mendengarnya lagi karena aku bosan. Lagi pula, siapa orang normal yang melakukannya?


Bangun dari tempat tidur, aku melihat ke luar jendela. Anak itu lagi. Hah, ada apa dengan semua ini? Lagu yang diputar tanpa henti dan anak yang duduk di ayunan seperti tak mau pergi. Tiap aku melihat dari jendela, dia masih di sana, dengan posisi kedua tangan memeluk ban. Iya, ayunannya terbuat dari ban bekas. Bukan ayunan bagus seperti di taman. TAPI anak itu seperti lekat dengan ayunannya meski dia tidak pernah berayun.

Dia duduk di ayunan, hanya diam seharian.

Sudah saatnya aku bertindak. Kuhampiri anak itu. Mungkin ia sedang kesepian atau sedih. Mana sih, orang tuanya?

“Hei, namamu siapa?”

Anak itu mengangkat kepala. Tatapannya kosong. Wajahnya sedikit pucat, sepertinya ia tidak sehat.

“Kenapa kamu sendirian? Apa kamu tidak punya teman?”

Dia masih diam. Menjengkelkan.

“Orang tuamu mana?”

Kepalanya menoleh ke belakang. Rumahnya mungkin? Aku tidak berpikir bahwa anak itu tinggal di sebelah rumahku. Rumah itu seperti tidak berpenghuni. Pintu depannya juga selalu tertutup. Tapi kan tidak mungkin anak ini tinggal sendiri.

Aku menghampiri rumah itu. Oh, ternyata lagu-yang-diputar-berulang-kali-tiap-hari-itu asal suaranya dari sini. Kuketuk pintunya, tapi tak dibukakan. Kuteriakkan kata sapaan seperti, “Haloooo” dan “Spadaaaaa” tapi tak ada yang menghiraukan. Kesal, aku memutari rumah itu. Pasti ada jendela samping atau pintu belakangnya.

I would wait forever, exalted in the scene

Nah, ada pintu yang terbuka. Sekalian saja aku masuk. Ada dua orang duduk di meja makan. Mereka makan dalam diam. Anehnya, ada tiga piring dan gelas di atas meja. Dua piring dan gelas masing-masing mereka gunakan, piring dan gelas ketiga dibiarkan. Tapi, untuk siapa? Anaknya? Kenapa tidak mereka panggil saja untuk diajak makan bersama? Orang tua yang aneh.

“Bu, kok tidak dimakan ayam gorengnya?”

“Itu khusus buat Alya. Kalau ayah mau, ambil saja. Nanti ibu goreng lagi buat Alya.”

“Bu..” si ayah meraih tangan si ibu, “sudahlah. Ikhlaskan kepergian Alya.”

Tunggu. Kepergian? Jadi anak yang main ayunan itu.....

Tersandung-sandung aku menghampiri anak itu. Dia hidup kan? Mana mungkin aku bisa melihat orang mati. Duduk di ayunan lagi!

“Heh, anak kecil, kamu masih hidup kan?”

“Kenapa pertanyaan kakak aneh sekali?”

“Kenapa dari tadi kuajak bicara diam saja, baru sekarang kamu mau menjawab? Rumahmu yang ini kan? Orang tuamu mengatakan hal-hal aneh tentang seseorang bernama Alya...”

“Iya itu namaku.”

“Ngg.. Kalau itu namanu, kenapa kau dianggap sudah...”

“Iya. Mereka pikir aku pergi. Mereka salah. Aku ingin tetap bersama orang tuaku. Padahal tidak ada tempat lebih baik selain di sini. Seperti kakak, aku juga tidak mau pergi.”

Seperti kakak?

Lagu itu makin keras, seakan seseorang meletakkan speaker di dalam telingaku.

We're a thousand miles from comfort

We have travelled land and sea
But as long as you are with me, there's no place I’d rather be

***
Jumlah kata 500. Sketsa di atas karya Betty Sanjaya. Lagu yang menginspirasi flash fiction di atas berjudul "Rather Be" oleh Clean Bandits. 

14 Komentar

  1. *senyum lebar* jeng jeng jeng! #backsoundhoror

    BalasHapus
  2. aku pikir 'kakak' itu orang lain lagi, ternyata kakak itu si aku ya?
    *gagal paham*

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheheh iyaaa. wah rancu kah panggilan kakaknya?

      Hapus
    2. Bukan rancu, mungkin perlu sedikit penegasan bahwa yang di panggil 'kakak' itu si 'aku'.
      atau memang aku aja yang gagal paham T.T hikz hikz

      Hapus
  3. Lumayan bikin merinding mbak ;)

    BalasHapus
  4. Jadi, dua-duanya sama-sama sudah mati?
    *pengsan

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama