Prompt #58 Setelah Gelap

devianart
“Dasar busuk! Anak haram! Tidak pantas hidup!”

Kedua tanganku diikat ke atas. Mulutku disumpal koran. Tubuhku telanjang. Lelaki itu terus mencambuk tanpa henti sembari mencaci maki. Makin lama, makin bernafsu ia memisahkan daging di tubuhku dari kulitnya. Seluruh rasa sakit berkumpul di punggung. Malu yang kuhadapi akibat tak berpakaian di depan lelaki telah lenyap. Kepalaku hanya terfokus pada rasa sakit yang makin luar biasa. Tangisku sampai kering. Pandanganku mulai kabur.


“Belum pingsan juga ya? Masih tahan, hah? Akan kucambuk kau sampai mati, tahu? Biar kau mendapat pelajaran. Anak haram, jangan berani macam-macam!”

Tepat setelah ia mengakhiri makian, ujung cambuk itu mengenai betisku. Tubuhku mengejang. Sebuah luka baru. Sekarang ia menyasar tubuh bagian bawah. Aku hanya berharap segera mati. Biarlah, aku pergi. Aku tidak sanggup menahannya lagi. Terlalu sakit. Kalaupun aku selamat, pengobatannya tidak akan cepat.

Ia membenciku karena istrinya memungutku dari seorang pembantu. Perempuan yang mengabdi pada keluarga mereka sekian tahun itu ternyata keluar setelah hamil entah oleh siapa. Ibu kandungku tak sanggup mengurus bayi karena campuran rasa malu dan sakit hati. Lantas istri sang majikan mengurusku karena dulu ia belum memiliki buah hati. Tak lama, ibu kandungku meninggal, bunuh diri karena depresi.

Ia sering memarahiku bila anak-anaknya yang berbuat salah. Ia suka mengurungku di gudang hanya karena anak-anaknya mengadukanku hal yang tidak-tidak. Kini, aku diperlakukan begitu hina, hanya karena anak perempuannya kupergoki bercumbu di pinggir danau belakang rumah dua malam yang lalu. Anak perempuannya marah lantas berkata padanya bahwa aku mengganggu kekasihnya. Padahal anak perempuan itu hanya takut bila keburukannya terbongkar.

Walau aku memohon, menangis, hingga menyembahnya pun tak mengurungkan niatnya untuk menyakitiku. Bahkan istrinya yang dulu berusaha membelaku sekarang tak mampu melunakkannya. Istrinya memelukku untuk terakhir kali, membisikkan kata-kata sembari terisak. “Kau sudah terlalu lama menderita. Maafkan ibu karena membiarkanmu terluka. Sekali ini lagi saja, nak. Karena di balik hitam kau akan menemukan terang.”

Pandanganku makin lama makin gelap. Namun aku belum jua merasakan terang. Padahal rasa sakitnya sudah tak tertahan. Hangatnya aliran darah dan goresan cambuh yang merobek kulit seakan dapat kudengar dengan telinga. Namun ada satu kenangan yang membuatku hatiku damai. Ketika istrinya menyebut diri sebagai ibuku. Beginilah rasanya punya ibu. Damai. Tenang. Ringan.

Ketika benar-benar gelap, secercah cahaya terang muncul di depanku. Terang sekali hingga menyilaukan penglihatan. Mendadak, cambukannya berhenti. Kurasakan perlahan tubuhku menjadi kebal. Mungkin karena terlalu banyak menerima rasa sakit, aku menjadi mati rasa.


Kuangkat wajah. Ibu kandungku tersenyum. “Akhirnya kita bertemu, nak.”
***
Karya lain bisa dilihat di sini. Prompt ini sudah lewat, padahal ide saya sendiri :D Pemilik idenya malah terlambat setor. 

11 Komentar

Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama