Jiwa-jiwa dalam Mata

pinterest.com
Ada dua jiwa dalam mataku. Keduanya disatukan sebuah tatapan. Kau menyebutnya kasih sayang. Kusebut ia cinta tak terucapkan.


“Hati-hati di jalan. Telpon kalau ada apa-apa. Ponselmu aktif, kan?”

Aku tersenyum untuk meredakan kekhawatiranmu meski aku lebih suka memelukmu. Mengatakan bahwa aku ingin tetap di sampingmu, berjanji akan menjadi orang yang lebih baik, dan akan pergi kemanapun kau minta ditemani. Aku akan belajar berenang supaya bisa menemanimu menyelam. Aku akan berlatih lari meski sesak napas merupakan cobaan yang kualami tiap hari.


“Jangan lupa makan. Obatnya dibawa, kan?”

Untuk ukuran seseorang tanpa hubungan darah, kau sungguh-sungguh perhatian. Kalau khawatir, dua alismu bertaut membentuk barisan hitam. Matamu yang bening seperti ingin berteriak memperingatkan agar aku tetap selamat. Bahkan meski bagian dari dirimu yang kuterima hanya berupa kata-kata, suara yang masuk ke gendang telinga terasa sehangat pelukan. Aku terpikir bulan-bulan yang kulewati tanpamu dan bagaimana aku bisa tidur tanpa memelukmu.

“Kamu bisa tetap di sini.”

Kata-kata itu keluar juga dari mulutmu. Lalu aku memeluk. Erat. Beberapa air mataku meluncur turun. Aku menahannya untuk tidak membasahi bajumu. Aku menahannya begitu kuat sampai-sampai hidungku penuh ingus. Napasku mulai sesak.

“Kita kan sahabat. Kamu bisa tinggal di rumahku. Kamu bisa pakai baju-bajuku. Anggap saja orang tuaku juga orang tuamu. Kalau kamu sakit, kami akan merawatmu sampai sehat. Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk pergi. Kamu punya kami.”


Aku tidak punya siapa-siapa. Kamu benar soal itu. Tapi bila tetap di sini, kaulah yang takkan pernah kumiliki. Bisakah kau menerima, jika aku mengharapkanmu sepenuh cinta? Sebab kita berjenis kelamin sama.

***
Pas 251 kata. Ditulis untuk ulang tahun Monday Flash Fiction.

2 Komentar

  1. Idenya berani mbak. Saya tuh suka sering kalau bikin begini2. Kebayang kemana mana. Hihi. Hbd mff, smoga makin berkibar bar bar

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama