Selepas Marlina Memenggal Kepala

inspiratorfreak.com
Menurut Marlina, ia perempuan paling sial. Perempuan yang menjadi bagian dari golongan marjinal itu—tentu kita tahu ketidaksetaraan gender dan tetek bengeknya yang saya maksud—masih bisa lebih sial lagi dari sekedar dilahirkan. Sudah perempuan, hidup pula. Keguguran, menjadi janda, direndahkan juga. Pokoknya kesialan seperti tidak habis menimpa hidup Marlina yang sudah dikutuk karena lahir sebagai perempuan.


Tentu Anda berpikir film ini akan menyayat hati atau berurai air mata. Kisahnya pilu, tapi tidak dengan penyajiannya. Film ini, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, justru disajikan dalam bentuk satir yang akan membuat Anda tertawa beberapa kali meski kisahnya tidaklah lucu. Kalau saya punya dua puluh jari dari kumpulan tangan dan kaki yang berupa jempol, maka kedua puluh jempol itulah yang saya acungkan pada film ini. BAGUS BETUL! Keterlaluan sekali yang bikin.

Marsha Timothy tentu perlu dijabat tangannya pula karena berhasil memerankan sosok Marlina. Seorang perempuan yang menjadi korban dari budaya patriarki yang telah berurat akar di tanahnya hingga tak punya harta bersisa kecuali keberanian. Berani melawan ketidakadilan meski kekuatan fisiknya tak cukup dan di dalam hatinya masih tersisa rasa takut. Sehingga Marlina yang dicuri hartanya dan diperkosa tubuhnya memutar akal untuk membalik keadaan. Ia tidak mau hanya berpangku tangan menerima nasib sebagai makhluk yang dianggap rendahan. Ia menunjukkan bahwa seorang perempuan, terlebih janda, bukanlah properti lelaki. Perempuan juga punya hidupnya sendiri dan bisa merdeka atas daya pada dirinya.
Apalagi yang membuat kita tidak akan menyesal menikmati Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak? Tentu karena sinematografi yang tidak main-main digarap. Seakan tiap scene dalam film ini adalah karya seni adiluhung. Setiap scene seperti lukisan yang menggambarkan pesona alam Sumba. Cantik sekali. Musik latarnya pun pas, semakin menambah kental nuansa satir dalam film. Dialog yang dituturkan terdengar polos, jenaka, sekaligus satir yang membuat kita tidak akan berpaling barang sedetik dari film. Tak ada scene yang tak digambarkan dengan apik. Bahkan adegan mandi atau buang air kecil pun mampu berkesan, entah dari pengambilan gambar atau dialog tokohnya. Keterlaluan bagusnya.

Soal karakter juga tidak dibikin setengah-setengah. Novi sebagai pemeran pembantu dalam film ini mampu membangun suasana lucu meski kalau dipikir-pikir lagi, kondisinya tidaklah lucu. Novi menggambarkan realita sebagian perempuan di Indonesia yang dihadapkan pada dilema: semua adalah salahnya, bahkan yang bukan salahnya pun dipersalahkan padanya. Bayi yang lahir sungsang dianggap pertanda bahwa ibunya tukang serong. Bayi yang waktu lahirnya lebih dari sembilan bulan dianggap sudah pasti sungsang. Ibu mertua yang bukan bidan apalagi dokter kandungan memberi larangan ini itu yang sudah pasti tidak masuk akal tapi wajib dituruti. Novi adalah potret sebagian perempuan di Indonesia yang menyandang peran sebagai istri, menantu, sekaligus ibu yang serba salah hidupnya dan tragis kisahnya.

Seharusnya sebuah resensi membicarakan kelebihan maupun kekurangan sebuah karya. Seperti pula novel Ronggeng Dukuh Paruk yang pernah saya resensi beberapa tahun lampau, film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak ini tidak akan saya tulis kekurangannya. Apalagi kalau bukan menurut saya tidak ada kurangnya. Kalaupun ada, mata saya alpa melihat karena terlanjur terpakau dengan keindahan sebuah karya hasil kerja keras Mouly Surya.


Sekali lagi, film ini tentu tidak sempurna atau sama nilainya di depan mata semua penontonnya. Tetapi kalau Anda mengapresiasi hasil tangan anak negeri dan mengerti betapa berharganya sebuah karya seni berikut betapa langkanya film semacam ini di Indonesia, Anda tentu dapat memahami resensi saya. Tidak usahlah membanjiri bioskop untuk film superhero yang sedang ramai itu, tontonlah Marlina yang telah memenggal kepala seorang pria!

1 Komentar

  1. Hi Linda, makasih buat review film Marlina.

    Kemarin gue sempet nonton dan asli, keren parah!
    Sisi lainnya sih, gue yakin Sumba bakal naik parah nih pariwisatanya karena ini film.

    Keep sharing!

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama