Rombongan orang berbaju hitam datang. Mereka memenuhi pekarangan juga ruang
depan. Sebagian memasang wajah duka. Sisanya mengguman, memuji pelaku kebaikan
yang telah berpulang. Di antara orang-orang itu tinggal aku yang tepekur di
pojok. Bersusah hati sekaligus mengutuk diri. Mengapa aku datang terlambat?
“Bagaimana bisa terjadi?” tanya seorang pelayat di depan bibi.
“Ah, dia masih muda,” celetuk seseorang di dekat pintu depan.
“Padahal dia anak yang penurut dan kebanggan orang tua,” sahut yang
lainnya.
Ah, bagiku, kesedihan sebagian dari mereka hanyalah pura-pura. Sisanya
adalah tindakan tak berguna. Aku yang harusnya sedih, marah, kecewa, dan
frustasi. Aku yang baru pulang dikejutkan dengan kedatangan ambulance.
Tak ada yang menjelaskan padaku apa yang terjadi hingga bisa begini. Setiap
kuajak bicara, seluruh keluarga hanya meratap tanpa menjawab. Entah mereka
menyembunyikan sesuatu dariku atau mereka sebetulnya memberitahuku. Ya, aku
memang harus membuktikannya sendiri.
“Adakah saksinya?” tanya pelayat yang tadi bicara pada bibi.
“Katanya dia dalam keadaan mabuk. Tentu kami tidak percaya. Dia kesayangan
kami, tidak pernah mengecewakan apalagi menjadi bahan pikiran. Namun kami juga
tidak paham bagaimana ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan seratus dua
puluh kilometer per jam hingga menabrak pembatas jalan. Selama ini dia tidak
pernah cerita memiliki masalah.”
Penjelasan bibi membuatku terkejut. Mabuk? Apa benar? Bibi saja ragu,
apalagi aku. Tapi mana bisa aku menyanggah bahwa itu salah sementara aku tak
pernah benar-benar tahu?
Bibi melanjutkan ceritanya, “Padahal ini tanggal dua lima bulan satu. Hari
kelahirannya si bungsu. Ia adalah anak bungsu paling tak menyusahkan sekaligus
paling dewasa di antara kakak-kakakknya. Kepulangannya ditunggu agar kami bisa
merayakan ulang tahunnya.”
Kuberanikan diri melangkah. Tak ada pelayat yang memberi jalan lewat.
Terpaksa aku berjingkat-jingkat. Napasku tertahan saat tubuhku makin mendekat
pada sebuah gundukan ditutup kain di tengah ruangan. Kusingkap kain itu
sedikit.
Aku terdiam sementara kakak-kakakku menangis tersedu.
wew.
BalasHapusNice.
Tapi aku ga bisa ambil buat ebook Lin :))) kirimkan ke aku ya :D Ta tunggu
hehe wokeeeh mbak
Hapushmmm....
BalasHapuswah kenapa mbak?
HapusBisa menyingkap kain? Sereeem.
BalasHapusceritanya penasaran gitu mbak :D
Hapus