![]() |
shutterstock.com |
“Maukah kau bersamaku membangun sebuah bahtera?”
Aku mendengarnya setengah tak percaya. Kami sedang mengendarai
mobil yang melaju kencang, menembus jalanan yang lengang. Aku tahu ini bukan
mobilnya, mungkin milik pamannya atau ia ambil tanpa izin dari bengkel
temannya. Aku juga tahu ia tak kan sanggup membayar meski sepersepuluh dari
biaya kerusakan mobil ini bila terjadi kecelakaan. Namun aku tak pernah
keberatan menemaninya sejenak melupakan beratnya kehidupan dengan mengendarai
mobil secara ugal-ugalan.
“Apa kata-katamu bisa dipercaya?”
“Pernahkah kau mendengarkanku lalu tak percaya?”
“Kau tahu, kita masih terlalu muda. Kita bahkan sering
kehilangan kendali. Seperti misalnya aku mengikuti apa pun maumu meski itu tak
masuk akal dan membahayakanku. Bukankah kita tak pernah memikirkan risiko? Aku membiarkanmu
melanggar rambu lalu lintas dan menerobos lampu merah. Lantas apa jadinya kalau
kita menikah?”
“Jangan berpikiran buruk terhadap masa depan. Nikmati yang
kau miliki sekarang. Jangan halangi aku berbuat kebaikan dengan menikahimu. Biarkan
aku melakukan satu perbuatan baik, sekali seumur hidup.”
“Tidakkah kau ingin kehidupan yang lebih baik?”
“Ya, dengan menikahimu.”
“Setelah itu? Berhenti? Sudah? Begitu saja?”
“Kalau aku menikahimu, kau tak perlu menjual diri atau
memutuskan pergi. Aku yang akan bertanggung jawab untuk menghidupi. Selama aku
masih menikahimu. Karena pernikahan itu sampai mati dan selamanya.”
Aku pun tidak dapat menjelaskan padanya bahwa aku
menolaknya, aku tidak mencintainya. Jelas-jelas aku sangat menyayanginya
melebihi batas-batas logika. Contohnya, aku membiarkan nyawaku di balik
kemudinya. Sementara ia bahkan tak ingat bahwa ia makhluk bernyawa sementara
pengendali takdir adalah Tuhannya.
Hari ini dia mengantarku ke pelabuhan untuk menciptakan
kehidupan. Hidup yang baru, di tempat asing, untuk berubah. Sebab bila terus
melihatnya, aku akan tunduk pada kemauannya, tak peduli akan nyawa. Sehingga aku
rela meninggalkannya. Berlayar ke ujung
dunia.
“Kalau aku tidak mau?”
Kuberanikan diri mengatakannya. Ia hanya tersenyum.
“Kita sudah sampai di laut, kita jadikan saja mobil ini
bahtera.”
Gila... :|
BalasHapushehehehhe
HapusIiiich, love is blind beneran, tuh! Crazy! Tapi jadi sehidup semati deh, hahahaha....Nice FF. Bunda suka alurnya enak diikutin dan twist-nya okpu.
BalasHapusmakasih ya bunda udah mampir hehehe
Hapuskerennn mak... endingnya cetar ^^
BalasHapusalhamdulillah deh kena :D
Hapuseyampuuuuun, nyebur bareng deh >_<
BalasHapuskan biar tetap bersama mengarungi samudera :D #lho
Hapusselesai baca, kata2 pertama yg keluar dari mulut gue. GILA!
BalasHapushehehe gue waras kok dew :)
Hapuspsycho! mungkin mereka akan bahagia di dunia sana.
BalasHapus"sementara ia bahkan tak ingat bahwa ia makhluk bernyawa sementara pengendali takdir adalah tuhannya"
beuh kalimatnya saeeeeek, bagus lin
hihi micuuuu tengkyuuu udah kemari :))
Hapuskata kata gimbal lebih dahsyat tuh haha
Hapushaha ngaco gimbal gimbal, suuut!
Hapustwistnya dapet :)
BalasHapusakhirnya :D
HapusWaduh, endingnya ituuuuu *bener2 sehidup semati :)
BalasHapussejati hahaha
Hapushehehehe langsung ma' byur, brarti dia tau kalo si aku sebenere gak cinta :D
BalasHapussaksi mata ya mbak? :D
HapusKwerwenn bwangngwet! Bwyur jyuga dweh! Hehe..
BalasHapusmwakwaswih hwahwahwa
HapusByur-nya bikin cerita jadi 'hakdes' ;)
BalasHapuswadezig gitu ya mbak? haha
Hapussayang berlebih itu namanya. padahal cinta ajah kagak :D
BalasHapussayangnya bikin gila ya miss hehehehe
Hapusbyurnya ringan amat :D
BalasHapushehe biar ga ringan harus gimana gitu mbak? mungkin kalo yg terjun tronton ga bakal ringan, mak bles :D
Hapus