dokumentasi : Rinrin Indrinie |
“Martin?”
Perempuan itu menatapnya, mencari kekuatan di dalam sana.
Lelaki yang menggenggam tangannya mengangguk mantap, meyakinkan.
Kalau mereka tidak bisa bersama, sebaiknya tak ada yang
memiliki mereka. Kalau mereka belum ditakdirkan berdua, setidaknya mereka sama-sama
ke surga. Begitulah kira-kira apa yang mereka pikirkan beberapa jam sebelum
datang kemari. Di antara debur ombak dan jari jemari yang saling bertautan,
mereka melantukan doa-doa. Semoga Tuhan menyertai mereka. Semoga Tuhan
mengampuni pilihan mereka. Dan semoga kepergian mereka dari dunia benar-benar
dapat membuka semua mata betapa kuatnya pengaruh cinta.
“Martin, kalau mereka menemukan kita, menurutmu apa yang
mereka pikirkan?”
“Bahwa kita tak terpisahkan.”
“Tapi kita tak lagi hidup. Karena kita dipisah maut. Aku tak
bisa menatapmu lagi, menyentuh rambutmu lagi, mengucapkan kerinduanku lagi. Aku
bahkan tak bisa berpikir tentangmu. Sebab aku telah mati. Apa itu yang
dinamakan saling mencintai? Padahal aku ingin selalu bersamamu dan menghabiskan
hidup denganmu. Tak ada yang dapat kulakukan untukmu bila nyawa telah dicabut
dari tubuhku.”
Martin menangkupkan kedua tangannya pada wajah perempuan
yang sangat ia puja. Walaupun wajah itu bukan wajah tercantik di dunia, ia
selalu terpesona menatapnya. Seakan ia menemukan harta karun. Senyum perempuan
itu tak pernah habis menghiasi pikirannya setiap jam, menit, dan detik. Sampai-sampai
ia pikir ia sudah melewati batas kegilaan.
“Tapi, kalau kita tetap hidup, kita akan terpisah. Kau
akan dimiliki orang lain. Sementara aku tak bisa berbuat apa-apa. Itu lebih
menyiksaku dibanding melihatmu terbujur kaku di sampingku.”
Mata perempuan itu berkaca-kaca. Mungkin dalam hatinya ia
berkata, Martin benar. Ia memang selalu mendengarkan apa kata Martin. Seakan Martin
adalah pusat alam semesta di mana seluruh kehidupannya bermula. Sekarang ia
tahu kenapa orang bilang cinta itu buta. Ia bahkan tak merasa perlu berpikir
untuk melakukan segala yang Martin pinta.
Kemudian Martin dan perempuan itu sama-sama menutup mata.
Ketika terbangun, Martin mencari-cari tangan seseorang
yang biasa ia genggam di sampingnya. Segera ia tersadar. Ah, ia kembali
bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Mimpi yang menjadi potongan kisah hidupnya,
berpuluh tahun lampau.
Seperti biasa, Martin bangun pagi-pagi sekali. Lalu memulai
ritualnya dengan mandi dan sembahyang, lantas membaca setumpuk koran. Ia membaca
sampai hari mulai siang. Maka tubuhnya pun mulai berpeluh keringat. Hingga ia
melepas kausnya dan membiarkan tubuh kurusnya diterpa angin.
Namun, ia selalu menyelipkan sebuah potongan koran untuk
mengakhiri ritualnya membaca di pagi hari. Sepotong koran yang memuat sebuah
berita yang menggambarkan kegelisahannya selama ini. Tentang kenyataan bahwa ia
masih hidup sementara perempuannya telah mati.
jadi inget kata2 GIE " tua itu penyakit "
BalasHapus*eh bener gak ya..
belon berani mebayangkan tua nanti aku kayak gimana? :(
hehe memang ini bikin kebayang-bayang gitu ya mas?
HapusGa usah dibayangin Kakak Ronal.
HapusJalani saja :P
Nyesek itu nular, ea? Cerita gue ama elu sama2 bikin nyesek! Huhuhu.. Hiks. ;-(
BalasHapuskebetulan aja sih lagi mellow #eh hahahaha
Hapuspinter banget ya mb bikin flash fictionnya...ajarin duuung hehe
BalasHapusini juga masih belajar mbak, ayo terus berlatih :D
HapusAiiih.... kesian Martin :(
BalasHapusiya, saya juga :(
Hapuskalau gini kesannya martin curang ya. waktu perempuannya mau kawin ma orang lain, martin ngajak bunuh diri. tapi ketika hanya perempuannya yang 'berhasil' mati, kenapa dia ga berusaha nyusul perempuannya, dan memilih tetap hidup dan menua?
BalasHapushehehehe itu terserah pembaca mau tangkap kesan apa :)
Hapus