shutterstock.com |
Mungkin seperti ini
rasanya menjadi lengkap, menemukan pemilik tulang rusuknya dengan sebelah
sayap.
Alya semakin merapatkan tubuhnya pada dada bidang Rio. Meski
hujan turun dengan deras, seluruh tubuhnya terasa hangat. Seakan sel-sel
tubuhnya bekerja lebih aktif. Membuat suhu tubuhnya meningkat. Membuat detak
jantungnya makin cepat. Kemudian kedua pipinya bersemu. Kulit mereka bertemu.
Alya menelengkan kepalanya lalu meletakkannya di bahu
Rio. Sedikit bagian wajahnya bersentuhan dengan leher Rio. Dunia Alya terasa
tentram.
“Kamu kenapa?”
“Aku kangen.”
“Tapi tiap hari kita ketemu.”
“Aku sayang kamu.”
“Lapar? Tadi siang aku masak plecing kangkung dan tempe
mendoan.”
“Mau!”
Menurut Alya, masakan Rio adalah masakan terenak nomor
dua di dunia, satu tingkat di bawah rasa masakan ibunya. Menikmati masakan Rio
sama menyenangkannya dengan menatap ekspresi kekasihnya itu ketika makan dengan
lahap. Entah karena ia jatuh cinta atau Rio memang mempesona. Padahal Rio tidak
setampan teman-teman kampusnya. Dulu, mungkin ya, Rio yang juara. Sekarang,
kerut-kerut halus yang mulai muncul di sudut mata Rio tak bisa ditutupi. Juga sedikit
uban yang muncul di sela-sela rambutnya. Namun, bagi Alya, Rio satu-satunya
lelaki yang patut dicintai.
Dulu Alya mengenal Rio dari dosennya di tingkat pertama. Alya
dan timnya membutuhkan sponsor demi keberlangsungan acara kampus mereka. Sang dosen
merekomendasikan Rio. Maka, sebagai kepala divisi humas, Alya turut
berkepentingan menemui pihak yang menjadi calon penyumbang dana.
Kesepakatan berlanjut dengan pertemuan-pertemuan. Seringkali
divisi dana usaha kerepotan menjalankan tugas-tugas mereka. Sehingga Alya
kebagian jatah membantu tugas mereka untuk bertemu dengan Rio. Hingga acara
berhasil dengan sukses. Alya pun bermaksud mengucapkan rasa terima kasihnya
secara personal.
“Saya senang membantu kawan-kawan mahasiswa. Kalian anak
muda yang pandai dan kreatif. Usaha kalian menyelenggarakan acara patut
diacungi jempol. Tidak perlu berterima kasih, sudah sepatutnya saya melakukan
hal yang diperlukan.”
“Apa Pak Rio dulunya aktif dalam kegiatan kemahasiswaan? Saya
ingat, tiap kali saya bertemu bapak untuk melaporkan perkembangan persiapan
acara kami sesuai yang bapak minta. Bapak selalu bersemangat. Seakan bapak
menunggu bertemu saya untuk mengetahui apa saja yang telah tim kami lakukan. Perhatian
dan pertolongan bapak di luar ekspektasi saya.”
“Ya, saya dulu memang aktif. Saya orangnya tidak suka
diam. Bahkan selesai PKL dulu pun saya mencuri kesempatan magang. Awalnya dosen
pembimbing saya melarang karena belum keluarnya jadwal sidang. Saya bujuk dia
sampai luluh. Untunglah saya sanggup lulus sidang sekaligus menyelesaikan
magang dengan sama baiknya.”
Menurut Alya, Rio adalah lelaki tertampan di dunia
setelah ayahnya. Mendiang ayah yang cuma bisa ia nikmati rupanya melalui foto. Cara
Rio membawa dirinya membuat Alya berpikir seandainya lelaki ini adalah ayah. Ia
tak ingat rasanya punya seorang ayah. Ia ingin merasakan menjadi anak perempuan
kesayangan ayah. Memiliki pengalaman menjadi daddy’s little girl.
“Saya sedang masak, sebelum kamu datang. Ayo, ikut makan.”
Alya tak menolak. Ia biarkan perasaannya hanyut dalam
impian seandainya ayah masih ada. Beginilah mungkin rasanya. Apalagi Rio sangat
baik. Mengambilkannya makanan dan menyuruhnya makan yang banyak. Mengatakannya
padanya jangan takut bertambah berat tapi mulai menaati jadwal olahraga dengan
semangat.
Sejak itu, komunikasi di antara Alya dan Rio semakin
intensif. Alya banyak mencurahkan hatinya dan menceritakan apa saja. Sebaliknya,
Rio dengan sikap yang dewasa, membuatnya nyaman sekaligus aman. Hingga tanpa
malu-malu Alya mengatakan perasaannya pada Rio.
“Aku sayang Rio.”
Rio terdiam cukup lama.
“Usia kita...”
“Jauh bedanya, aku tahu. Aku lebih muda, aku sadar. Aku kekanakan,
memang benar. Tapi boleh kan aku sayang Rio?”
Rio selalu merasa ada wajah seseorang yang ia kenang
setiap menatap Alya. Namun saat wajah itu mengucapkan kata sayang, kenangan
milik Rio menggenang. Menari-nari di kepalanya, mencuat keluar, memaksa hatinya
mengakui hal itu. Bahwa ia memang menyukai gadis di depannya. Gadis yang lebih
pantas jadi putrinya. Gadis yang terlalu hijau untuk jadi kekasihnya.
“Boleh.”
Satu kata itu cukup membungkam Alya, membuat segalanya
tak lagi serupa hari yang telah lalu. Alya mendekap Rio erat-erat, setiap yang
ia bisa, seperti hari ini. Mencintai dan lebih mencintai Ferdi Orion setiap
hari.
Dan ketika senja, wajah Alya memuncat. Membuatnya terancam
kehilangan sebelah sayap.
***
Ini merupakan karya fiksi yang dikerjakan secara estafet.
Untuk bagian selanjutnya saya serahkan pada Miss Rochma. Di bawah ini
karya-karya sebelumnya:
mantep! ada juga ya cerfet! kirain cerita mefet! bhahaha
BalasHapusyeee! ahahahaha
HapusKadang usia memang tak lagi menjadi masalah... #eh
BalasHapusbegitulah :D
HapusAlurnya maju mundur ya mbak di cerita ke 4 ini?
BalasHapuskalo boleh sedikit komentar, dari paragraph "Dulu Alya mengenal Rio dari dosennya....sampai 'daddys little girl" menurut saya, maaf ini menurut saya lho ya, sekali lagi menurut saya ...sedikit...yaa..sedikit membosankan.. :D.
tapi yang baca cerfet ini bukan cuma saya lho, jadi itu cuma menurut saya aja :D.
yang saya suka, dicerita ke empat ini, kamu betul2 keluar dari alur yang dibawa cerita ke 2. That's cool.
Dan shock, ternyata Dio udah setua itu. :D
keep spirit, Linda :)
ih ga apa apa hehe berarti itu tantangan saya biar flashbacknya tidak membosankan ;)
Hapussoalnya kalo alya saja sudah mahasiswa, berarti seusia saya, itu umur ibunya wajar empat puluh tahunan. ibu saya umurnya segituan, ayah saya sekitar lima puluhan. hehe. jadi saya bayangkan dio ya setua itu
AAhh...iya, saya baru ngerti ini maksud cerita ke empat ini. Jadi si Alya ini suka sama si Ferdi Orion itu jugaaa...AAhh...mati deh gue komen di cerita ke 5-nya salah... :(
BalasHapushehehehe gapapa
BalasHapusLin, aku baru sadar, dirimu di cerita ini menulisnya Rio, bukan Dio. kan yang bener tuh Dio :)
BalasHapussudah saya jelasin di fb ya mbak hehe
Hapus