shutterstock.com |
“Itu siapa, Lan?”
“Oh itu. Pacar barunya
Tio. Cantik ya? Kata orang-orang sih, mereka belum lama pacaran. Mereka jadi
dekat sejak KKN. Padahal cewek itu banyak yang mendekati lho. Hebat ya, dia
lebih memilih Tio. Aku kira wajar saja, mereka terlihat seperti pasangan
sempurna,” komentar Lani panjang lebar. Aku menanggapi dengan senyum hambar.
Semalam Tio
bilang padaku, ia sedang sibuk bekerja. Pintanya, jangan hubungi dia. Kukira,
atau cuma perasaanku saja, semua kerja keras yang ia lakukan demi aku. Demi sebongkah
berlian yang pernah ia janjikan untukku. Juga sebongkah masa depan di sebuah
rumah sederhana tempat tinggal sebuah keluarga bahagia. Tempat kubertahta
sebagai ratunya.
Aku masih ingat
kali pertama bertemu dengan Tio. Lelaki yang tampan sekaligus menawan. Bicaranya
sopan, sapaannya hangat, dan tawanya renyah. Khas lelaki impian semua
perempuan. Kalau kalian tidak percaya dan berpikir lelaki itu cuma ada di dalam
cerita, kalian salah. Aku bisa buktikan lelaki seperti Tio ada di dunia nyata. Lelaki
yang juga ada di dunia perempuan-perempuan yang mencintainya.
“Lan, kita cari
makan di tempat lain yuk. Aku bosan menu yang itu-itu saja di kantin kampus. Katanya
kafe yang baru buka di dekat lampu merah itu enak lho,” ujarku sambil membuang
muka. Aku malas melihat Tio yang tengah pamer kemesraan bersama pacar barunya. Aku
muak karena ingat hal-hal manis yang Tio lakukan padaku.
“Lho, kok gitu,
San? Kan kita sudah sampai sini. Baru datang masak pergi?”
“Masak kamu mau
makan makanan yang sama seumur hidup kamu. Kita kan kuliah di sini sudah tiga
tahun. Kita sudah kenyang makan makanan dari kantin.”
Lani mengalah. Tanpa
banyak tanya ia mengikutiku. Sementara Tio tidak menyadari kehadiranku tadi. Juga
ketika aku pergi. Matanya menatap perempuan di depannya dengan lekat. Seakan takut
bila ia mengalihkan pandangan, perempuan itu bisa hilang dalam sekejap. Tapi aku
tahu itu cuma caranya berpura-pura cinta. Sebetulnya dia mencintaiku dan ia
tahu itu. Perempuan itu hanya tempatnya singgah bila bosan atau membutuhkan
hiburan.
Tio mungkin
bukan lelaki paling tampan di dunia. Tapi ia punya kharisma. Ia orang yang
menyenangkan dan tahu caranya mengambil hati perempuan. Ia juga mengambil
hatiku semudah rasa dingin yang menyergap ketika turun salju. Apalagi saat ia
membeberkan kata-kata cinta dan mengajakku bertemu orang tuanya.
“Tante senang
sekali kamu datang ke sini. Tio banyak cerita tentang kamu. Sudah lama tante
penasaran mau ketemu kamu. Akhirnya kesampaian juga sekarang. Benar kata Tio. Kamu
bukan cuma cantik tapi juga baik.”
Ucapan ibunya
Tio membuat hatiku bungah. Tanggapan serupa juga kuterima dari ayah dan
saudara-saudaranya. Mereka menyambutku dengan tangan terbuka. Tentu mereka
membuatku makin percaya, Tio memang untukku. Dia selalu menunjukkan sisi
terbaik dalam dirinya di depanku. Sampai suatu hari ia bilang ia bosan dengan
sikapku yang kekanakan.
“Kita putus
saja. Kalau jodoh, kita pasti bertemu lagi. Aku mau kamu belajar lebih dewasa
dalam berhubungan. Kita bukan anak-anak. Aku ingin kamu mengerti, waktuku bukan
cuma buat kamu. Bagaimana aku bisa mengumpulkan tabungan untuk pernikahan kita
nanti kalau kamu marah tiap aku sibuk bekerja? Ingat, aku juga sama capeknya
dengan kamu. Mauku juga kita selalu bertemu. Tapi aku harus kuliah dan bekerja.
Demi siapa? Pasti demi kita. Demi rumah yang akan kita bangun nanti. Demi anak
laki-laki yang aku ajak main bola sambil kamu suapi.”
Air mataku
menitik waktu Tio menyebut anak laki-laki. Itu impianku. Menjadi seorang ibu
dari anak laki-laki yang lucu. Anak yang wajahnya adalah perpaduan mata bulat
dan wajah lonjongku dengan hidung mancung dan tulang pipi tinggi seperti Tio. Anak
yang akan kuajari memanggilku bunda. Anak yang diajak Tio bermain bola.
“Kamu tidak
marah, kan? Kita butuh waktu untuk introspeksi. Walaupun kita putus, kita harus
tetap berkomunikasi. Tapi kalau aku sibuk, jangan marah-marah ya.”
Kalau mengingat
kata-kata manisnya, aku semakin membenci Tio. Sibuk katanya? Menabung demi masa
depan kami, katanya? Masa depan macam apa yang aku punya kalau Tio bersama dia!
Bersama perempuan yang menjadi orang ketiga! Argh, aku tidak tahan lagi.
Tapi tenang saja, nanti kita akan kembali bersatu.
Racun dalam
kepalaku berbunyi. Haruskah kuminta Tio kembali? Bisakah dia meninggalkan
perempuan itu dan memilih aku? Ayah ibunya saja lebih menyukaiku. Kurang apa
aku bagi Tio? Cintaku tulus. Kesetiaanku bisa diuji. Aku lebih dulu mengenal
Tio dibanding perempuan itu. Sudah pasti aku lebih memahaminya. Rasanya tak
layak membandingkan aku dengan perempuan perusak hubungan.
“San, awas!”
Lani menarik
tanganku ke pinggir jalan. Tarikannya yang keras membuat kami berdua jatuh. Aku
yang terkejut hanya duduk dan terdiam.
“San, kamu
kenapa sih? Jalan sambil melamun lagi. Sadar tidak, kamu baru saja membahayakan
nyawa kita. Apa sih yang kamu pikirkan? Tadi kamu hampir ditabrak metromini.”
“Maaf Lan. Aku tidak
sadar. Maaf. Kamu baik-baik saja? Aduh tanganmu lecet. Ayo kita ke klinik.”
Sebuah tangan
terjulur padaku. Aku mendongak sembari menyambut tangannya. Itu Tio. Dia sendiri.
Entah kemana pacar barunya. Tanpa banyak bicara ia membantuku dan Lani berdiri.
“Kamu ini
kenapa?”
“Tidak apa-apa. Jangan
tanya-tanya.”
“Aku tadi lihat
Lani menyelamatkan kamu. Kamu seperti orang linglung. Ayo, cerita. Bukannya kita
janji akan saling terbuka?”
“Jangan
pedulikan aku. Urus dirimu sendiri dan pacar barumu.”
“Kamu cemburu?”
“Menurutmu?”
Tio memelukku
erat. Sampai aku malu pada Lani juga semua orang yang mungkin berpapasan atau
melihat adegan kami di pinggir jalan. Sejenak waktu seperti melambat dan dunia
menjadi hening. Akhirnya aku menangis sesenggukan dalan pelukan Tio. Aroma
tubuhnya begitu kurindukan.
“Dia bukan
pacarku tapi orang-orang mengira begitu. Kami sudah putus karena aku memilih
kamu. Aku tahu kamu yang terbaik. Kita mulai lagi semuanya dari awal. Bisa kan?”
Air mata bahagia
menggenang di kelopak mataku. Aku siap kembali menjadi ratu.
***
Cerpen
ini ditulis untuk seorang teman di kampus. Semoga kisah cintanya abadi J