Barbie: Ketika Mattel Berambisi Menjadi IP Company Lewat Mainan

Sumber: Instagram Barbie the Movie

Bagaimana film Barbie dari kacamata orang yang tidak main Barbie atau tidak pernah nonton film kartunnya? Sebagai seseorang yang tidak tumbuh besar dengan Barbie, saya punya satu alasan menonton film ini. Ya, karena Margot Robbie.

Saya pertama kali menonton Margot dalam The Wolf of Wall Street. Saya langsung jatuh cinta pada aktingnya. Di mata saya, dia mampu mengimbangi Leonardo DiCaprio. Saat itu saya berpikir, peran seperti apa lagi yang akan diambil Margot nanti?

Ketika akhirnya ia menjadi Harley Quinn, saya kembali terpesona. Sampai akhirnya saya mendengar Margot akan menjadi Barbie. Terlepas bahwa saya kurang familiar dengan Barbie, saya akan menontonnya!

Saya termasuk dalam kelompok perempuan yang mengalami internalized misogyny dengan tidak pernah punya Barbie.

Saat kecil, saya berpikir Barbie terlalu feminin. Koleksi mainan saya adalah mobil remote control, pedang, pistol, dan sejenisnya. Ketika SD, saya sangat nakal dan sering dilaporkan karena adu jotos dengan anak lelaki. Ini agak ironi, mengingat penampilan saya yang feminin.

Ketika saya kuliah, saya heran kenapa teman-teman saya masih nonton film kartun Barbie. Film kartunnya jelas bukan selera saya.

Margot Robbie sebagai Stereotypical Barbie (Sumber: Elle.com)

Ini bukan lagi soal internalized misogyny. Saya merasa Barbie justru tidak menggambarkan kebanyakan perempuan karena terlalu sempurna. Cantik, putih, tinggi, kurus, dan pirang. Barbie seakan mendikte seperti apa perempuan seharusnya.

Namun, karena kali ini sutradaranya adalah Greta Gerwig dan aktrisnya Margot, saya tentu mau nonton.

Sebagai catatan, saya memang punya minat terhadap topik feminisme. Saya mengambil mata kuliah gender–yang isinya tentu feminisme. Tesis saya juga mengangkat konsep gender. Saya memandang topik feminisme dari mata akademia. Jadi, saya penasaran ke arah mana Greta dan Margot akan membawa Barbie.

Saya ingat, bagaimana Birds of Prey dan Margot menjadi bulan-bulanan para misoginis karena konsep feminismenya. Padahal itu film yang bagus dan tidak ada orang yang bisa mengubah pendapat saya tentang itu. Saya tentu penasaran, bagaimana Greta dan Margot akan mengatasi hal ini.

Ternyata Margot, Greta, dan Mattel memiliki rencana yang cerdas. Strategi marketing mereka jelas berhasil. Margot benar-benar belajar dari film sebelumnya.

Sebagai informasi, Mattel memang menjadikan Barbie menjadi gerbang pembuka bagi rencananya menjadi IP Company. Mattel ingin melakukan pivot bisnis dari “sekadar” perusahaan mainan menjadi perusahaan yang fokus pada properti intelektual. Mereka akan mengelola franchise mainan-mainannya.

CEO Mattel, Ynon Kreiz, sangat percaya diri dengan rencana ini. Sebab, menurutnya, Mattel memiliki katalog hiburan anak terbesar kedua di dunia setelah Disney. Mattel berencana merilis 13 film lainnya yang berpusat pada mainan. Mulai dari Barney, Polly Pocket, hingga Major Matt Mason–yang menginspirasi Buzz Lightyear di Toy Story.

Kolaborasi Miniso dan Barbie (Sumber: Instagram Miniso)

Bahkan, demi memasarkan Barbie, Mattel berhasil mengantongi kerja sama dengan lebih dari 100 brand. Inilah mengapa kita menemukan banyak brand lokal merilis produk kolaborasinya dengan Barbie. Tiba-tiba, media sosial dan marketplace penuh dengan lautan produk berwarna pink!

Kita kembali membahas filmnya. Skenario film ini ditulis oleh Greta dan kekasihnya, Noah Baumbach. Anda mungkin sudah menonton karya fenomenal Noah, Marriage Story yang dibintangi Adam Driver dan Scarlett Johansson. Tentu, saya memiliki ekspektasi tinggi terhadap skenarionya. 

Baca juga: Oppenheimer: Ketika Seorang Ilmuwan Ingin Membuktikan Teorinya

Greta sendiri memiliki portofolio yang menakjubkan. Ia mendapatkan piala Oscar sebagai sutradara terbaik dan naskah asli terbaik karena kiprahnya dalam Lady Bird.

Ternyata benar, Barbie menjadi film yang di luar dugaan saya. Karena teaser yang benar-benar tak membocorkan jalan cerita itulah yang membuat saya tak menyangka. Film dibuka dengan Stereotypical Barbie (Margot) yang hidup di Barbie Land.

Anda bisa membayangkan betapa menakjubkannya Barbie Land. 100% seperti dunia boneka plastik! Sangat cantik dan estetik. Bagi Anda yang memiliki koleksi Barbie dan rumah-rumahan boneka tentu akan merasa dimanjakan oleh paruh awal film.

Suatu hari, Stereotypical Barbie mengalami hal buruk. Ia tak lagi bisa terbang, memiliki kaki yang datar, dan bermulut bau. Bahkan ia mulai memikirkan kematian. Para Barbie lain memintanya untuk berkonsultasi dengan Weird Barbie yang tinggal nun jauh di bukit.

Singkatnya, Weird Barbie meminta Stereotypical Barbie untuk mencari manusia yang memainkannya. Manusia itulah yang menyebabkan Stereotypical Barbie berubah menjadi tak lagi sempurna. Salah satunya adalah Barbie jadi memiliki selulit di paha!

Stereotypical Barbie dan Ken pun betualang ke Dunia Nyata untuk mencari si manusia. Sebenarnya. Stereotypical Barbie tidak mengajak Ken. Namun, Ken ingin ikut karena ia tak memiliki jati diri maupun tujuan hidup. Satu-satunya kebahagiaan Ken adalah menarik perhatian Barbie.

Tentu saja ringkasan cerita di atas tidak memberi keadilan pada film Barbie. Saya hanya bisa bilang bahwa skenarionya sangat cerdas! Humoris dan berhasil mengangkat isu-isu yang dialami semua perempuan di dunia. Termasuk satu hal yang kita semua sepakati: laki-laki membenci perempuan. Perempuan pun membenci perempuan lain.

Greta dan Noah berhasil membuat dialog-dialog yang menggemaskan. Contohnya ini, “Note to the directors: Margot Robbie is the wrong person to cast if you want to make this point.” Dialog ini muncul ketika Barbie merasa tidak cantik. Siapa yang berani menyebut Margot tidak cantik? Pasti orang itu sedang melantur.

Barbie dan Ken (Sumber: Instagram Barbie)

Selain dialog yang setting lokasi yang patut diacungi jempol, akting para aktor dan aktrisnya juga keren. Jika Anda termasuk yang protes dengan kehadiran Ryan Gosling sebagai Ken, tarik kalimat itu. Aktingnya sangat bagus! Ryan benar-benar lucu dan berhasil menghidupkan karakter Ken. Termasuk bagian musikalnya yang kalau dimainkan aktor lain pasti cringe.

Iya, menurut saya ini film musikal karena ada banyak tarian dan nyanyian. Selain itu, ini adalah film satir. Film yang topiknya berat, tidak cocok untuk anak-anak. Saya cukup yakin, sangat sedikit anak SMP dan SMA yang memahami film ini. Jadi, tolong jangan ajak anak Anda menonton. Anda yang akan kelimpungan menjelaskannya.

Hal lain yang patut diacungi jempol adalah bagaimana Ruth (pencipta Barbie) dan Mattel menyindir dirinya sendiri. Film ini mengungkit kasus penipuan pajak yang dilakukan Ruth. Bahkan, menyindir Mattel yang menggunakan Barbie sebagai alat untuk mengontrol perempuan.

Film ini dibuat untuk orang yang tidak suka Barbie (seperti saya) dan orang-orang tumbuh besar dengan Barbie. Bahwa Barbie bisa dilihat dari dua sisi: membuat perempuan terlihat bisa menjadi apa saja. Atau malah membuat perempuan merasa mereka harus memenuhi stereotip tertentu untuk menjadi perempuan seutuhnya. Cantik, sempurna, selalu bahagia. 

Menurut saya, film ini adalah kesuksesan besar. Ia mampu menggambarkan betapa serba salahnya jadi perempuan. Di sisi lain, Barbie juga membuat para perempuan bersatu. Pernahkah Anda melihat XXI dipenuhi lautan perempuan berbaju pink? Pasti baru kali ini.

Barbie menjadi film pamungkas yang menjalankan misinya untuk mengedukasi perempuan. Beginilah caranya membangkitkan sisi keperempuanan kita semua. Dengan menjadi bangga akan diri kita sendiri. Termasuk, jika kita adalah perempuan yang digambarkan seperti stereotip umumnya. Suka pink, suka barang-barang lucu, dan suka bermain dengan sesama perempuan.


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama