#TributeToPram
Jika saya harus menulis kesan tentang Pram, maka saya
awali cerita ketika berkenalan dengan karyanya. Waktu itu saya kelas 2 SMA dan
akan mengikuti sebuah lomba resensi dalam rangka memeringati Bulan Sastra. Saya
sering mendengar nama Pram di mana-mana tapi menyedihkan, saya belum pernah
membaca bukunya.
Akibat mendaftar lomba resensi tersebut saya pun harus
membaca buku Pram. Karena ada empat buku yang akan diundi untuk diresensi tiap
peserta, salah satunya adalah Gadis Pantai. Buku karya Pram tersebut saya dapat
sebagai pinjaman dari guru Bahasa Indonesia. Saya pun membaca buku tersebut
sampai habis.
Seingat saya, itu pertama kalinya membaca novel dengan
tidak ada nama bagi tokoh utamanya. Si tokoh utama ini disebut Gadis Pantai. Bagi
saya itu bukan nama. Namun saya tidak mempermasalahkan ketiadaan nama itu.
Saya terhanyut dengan kisahnya. Saya merasakan pedih dan
perihnya keadaan Gadis Pantai. Apalagi endingnya yang menohok dan membuat saya
memikirkan buku itu berhari-hari. Di sinilah saya mengerti kenapa buku Pram
berbeda dari novel-novel lain yang pernah saya baca pada masa kini.
Saya terpikir mengapa kurikulum yang digunakan pada masa
saya sekolah dulu, tidak menekankan betapa pentingnya para murid membaca dan
menikmati karya-karya sastra penulis Indonesia tempo doeloe. Mengapa murid-murid
tidak dibiasakan dengan bahan bacaan beragam yang menyentuh sisi humanisme
sekaligus menggambarkan Indonesia pada zaman sebelum mereka ada? Bukankah dari
karya-karya sastra itu para murid mendapat gambaran Indonesia yang lampau? Sehingga
mereka dapat belajar dan menghargai sejarah maupun masa lalu.
Saya ingin sekali dapat menikmati karya-karya Pram yang
lain. Saya juga ingin agar kurikulum maupun pendidik di lembaga-lembaga
pendidikan mengenalkan tidak saja karya Pram. Namun juga karya sastrawan lain
baik yang seangkatan dengan Pram maupun tidak seangkatan.
Gadis Pantai merupakan sebuah karya yang sangat menyentuh
empati dan mengorak-abrik hati. Tentu buku ini memperkaya bacaan saya juga
menginspirasi sekaligus membuat saya mensyukuri keadaan sebagai seorang
perempuan di masa ini. Saya tak dapat membayangkan ada seorang perempuan yang
masih mengalami dan merasakan yang dilalui Gadis Pantai.
Andai buku-buku Pram dan sastrawan lainnya memenuhi
perpustakaan sekolah yang biasanya sekedar disesaki buku pelajaran dan
ensiklopedi. Andai tidak hanya satu dua guru bahasa yang peduli tapi semua guru
yang merasa perlu ambil bagian agar karya sastra Indonesia tetap lestari. Dan andai
pelajar-pelajar Indonesia kini tidak asing dengan karya seorang sastrawan
Indonesia yang namanya berkibar pula di mancanegara. Ya, itulah sekedar kesan
yang saya punya.
Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway #IWriteToInspire
Saya mau ikutan ini juga lho, tapi belum selesai nulisnya. Good luck yaaa... :D
BalasHapustapi tulisan fiksinya belum jadi mbak hehehhe
Hapushuaaaa ngiriii bisa ikutan 30 hari ngeblog..
BalasHapusklo aku udah teler tuh,hehe :p
temanya apa tuh tiap tulisannya??
aku isi catatan perjalanan naik gunung bisa kali ya,hehe :p
atau koleksi foto hasil hunting,hehe..
mampir ke EPICENTRUM
ya ^_^
temanya bebas kok tapi hari ini ditentukan :)
Hapusbisa dong heheheh
iya meluncur nih