Ulkus Dekubitus

Saya baru tahu, apa yang dialami pakde dan mbah saya disebut sebagai Ulkus Dekubitus. Hal ini baru saya ketahui setelah membaca berita mengenai almarhumah Laura Anna. Pakde saya bertahan hidup selama 10 tahun dengan badan berlubang. Mbah hanya bertahan beberapa bulan.

Awalnya, saya tidak tahu kondisi pakde sudah begitu parah. Beliau memang sudah tua, tapi masih gemar berolahraga. Pagi-pagi beliau akan keliling Bandung dengan naik sepeda. Hari itu, pakde pingsan. Untunglah, ada tetangga yang menemukan pakde di pinggir jalan. Ia membantu pakde pulang.

Saya baru ke Bandung ketika lebaran dan mendapatkan kabar tersebut. Pakde menghabiskan banyak waktunya dengan berbaring di tempat tidur. Ia dirawat oleh anak-anak dan istrinya. Akibat lama berbaring itulah, ulkus dekubitus pun muncul. Lubangnya terletak di tulang ekor.

Pada awalnya luka itu hanya berupa luka lecet saja. Namun, karena pakde sudah sulit untuk beraktivitas dengan normal, lukanya menjadi semakin dalam. Luka itu kemudian mencapai tulang. Kita dapat melihat dengan jelas tulang penderita ulkus dekubitus. Luka ini disebut juga sebagai luka tingkat empat.

Untuk menghindari infeksi lanjutan, pakde menggunakan perban. Ketika kondisinya membaik, ia rajin bangkit dari kasur. Pakde akan kembali berkeliling naik sepeda dan beraktivitas seperti biasa. Sayangnya, tak lama kemudian, kondisinya terus menurun. Pakde berkali-kali pingsan. Pendengarannya menurun hingga benar-benar tuli. Kakinya juga menjadi pincang.

Sebenarnya saya kurang paham apa penyakit lain yang diderita oleh pakde. Saya hanya tahu bahwa kondisi fisiknya sudah sangat menurun karena pertambahan usia. Ia memang tak pernah mengeluhkan rasa sakit pada luka ulkus dekubitus-nya. Namun, ia memang sering kehilangan kesadaran. Ia demam tinggi, meracau, dan tidak mengenali orang lain. 

Saya sangat yakin, pakde meninggal karena tertekan, bukan karena sakit. Istrinya yang selama ini merawat dan terlihat sehat, tiba-tiba meninggal. Saya pikir, pakde terlalu patah hati karena kehilangan istri tercintanya. Walaupun bude agak galak dan tak acuh, pakde sangat mencintai istrinya itu. Setelah istrinya meninggal, pakde pun berpulang. Luka ulkus dekubitusnya juga sudah sangat besar.

Berbeda dengan pakde, mbah hanya bertahan hidup beberapa bulan. Namun, kondisinya sama. Memiliki ulkus dekubitus dan hilang kesadaran. Pendengaran dan penglihatan mbah menurun. Kemampuannya berjalan sepenuhnya hilang. Mbah mulai sulit untuk makan dan bangun dari tidur.

Suatu hari, mbah tidak bisa dibangunkan dari tidurnya. Masih bernapas, masih hidup, tapi tak bisa dibangunkan. Kesadarannya hampir sepenuhnya hilang.

Luka ulkus dekubitus mbah terletak di tulang ekor dan berada di tingkat luka ketiga. Lukanya terbuka, dagingnya terlihat, tapi belum mencapai tulang. Lukanya juga tergolong masih kecil.

Luka tersebut kami bersihkan tiap waktu penggantian pampers. Seperti bayi, pampers ini diganti tiap kali buang air. Lukanya kami siram dengan cairan infus, diberi salep, dan ditutup perban. Namun, tidak ada tanda-tanda perbaikan. Lukanya terus menganga. Bila sedang sadar, mbah akan menjerit kesakitan karena lukanya tersebut.

Mbah sama dengan Laura, tersiksa dengan ulkus dekubitusnya. Kasus ini berbeda dengan pakde yang tidak mengeluh sakit sama sekali.

Oh ya, sebagai catatan, mbah tidak menderita penyakit diabetes. Lukanya tidak sembuh-sembuh bukan karena diabetes. Kami sudah berkali-kali ke rumah sakit. Bahkan, kami pernah memanggil ambulans karena merasa mbah dalam kondisi gawat darurat. Dokter menyimpulkan bahwa kondisi fisik mbah menurun karena usia, bukan penyakit apa pun.

Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, mbah kehilangan kesadaran hampir 12 jam. Saya menemani beliau hingga helaan napas terakhir. Ulkus dekubitus tidak hanya membuatnya tersiksa saat berbaring dan duduk. Ulkus dekubitus juga membuatnya terbangun karena rasa sakit.

Mbah juga sempat mengeluhkan sakit yang amat sangat di bawah lutut, di bagian kulit yang menekan ke kasur. Bila mbah masih hidup, saya pikir ulkus dekubitus itu juga akan muncul di kaki. Ulkus dekubitus memang tidak menyebabkan kematian, tapi membunuh perlahan karena sakit yang tak tertahan.

Saya tidak tahu bagaimana menghindari ulkus dekubitus ini. Ulkus dekubitus menjadi momok menakutkan bagi orang-orang yang sakit dan hanya bisa berbaring di kasur. Kalau hanya mengganti posisi tidur ke kanan dan ke kiri, itu tidak membantu. Luka itu tetap akan muncul karena kulit mengalami tekanan. Ini adalah risiko bagi orang-orang yang sakit parah.

Saya tidak menyesal karena mbah berpulang. Kami sudah merawat beliau dengan sepenuh hati dan dengan usaha keras. Luka itu tetap tidak menutup walau kami mengganti pampers lebih sering agar area tersebut tidak kotor. Kami juga sudah menghabiskan banyak perban dan cairan infus untuk membersihkan luka tersebut.

Bagi saya, berpulangnya mbah adalah hal terbaik untuk mbah. Saya tidak sanggup melihat mbah harus kesakitan lebih lama lagi. Saya hanya ingin ia beristirahat dengan tenang. Karena saya yakin, ia mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama