Undangan untuk Ibu

http://gocengblog.blogspot.com/2011/09/kumpulan-contoh-undangan-pernikahan.html

            Kudengan Leni akan segera menikah. "Benarkah itu Leni?" Yang ditanya hanya mengangguk tanpa mengangkat muka yang tenggelam dalam kesibukan membaca buku. "Dengan siapa, Leni?" Ia menjawab acuh tak acuh, "Dengan seseorang pilihan ibuku." Bahagiakah kamu, gumamku dalam hati. "Jangan khawatirkan aku," tiba-tiba ia bersuara lagi setelah lama kami dicekam hening. "Aku tidak peduli. Menikah ya, menikah saja. Tidak rugi kan? Toh aku cukup umur. Calon suamiku juga dari keluarga baik-baik."
            Bukan begitu, Leni. Masalahnya, aku berharap bisa menikahimu.
            "Kau datang kan kalau aku menikah?" Aku tidah butuh diundang. Aku butuh menyiapkan mental. "Tentu, Leni."
"Ya sudah, pergi sana. Jangan ganggu. Buku ini seru," ia mengacungkan bukunya padaku. Kubalas pengusirannya dengan seringai. Leni. Berulang kali nama ini mengangguku di alam mimpi.


            Aku telah berulang kali bersentuhan dengan cinta dan berulang kali pula terpaksa melepaskan. Tapi aku tahu, aku tak menyesali yang dulu-dulu. Mantan-mantanku bisa saja ditakdirkan sekedar menjadi persinggahanku untuk melepas penat. Bukan orang yang dikirim Tuhan untuk menemaniku sampai akhir hayat.
            Orang macam apa yang dikirim Tuhan agar mendampingiku?
            Kemarin Leni datang. Dia berkeras aku tetap mendapat undangan. Ibuku berteriak-teriak ketika aku pulang. "Putus sama Leni?" Aku mengedikkan bahu. Selama ini ibu mengira aku dan Leni menjalin hubungan. Nyatanya kami cuma sampai tahap dekat. Dekat yang terlambat kutegaskan statusnya sampai ia sebentar lagi jadi milik orang. "Mau datang?" tanya ibu lagi. "Iya bu." Ibu mengelus dada. Ibuku sering bilang, dia senang aku dengan Leni. Mungkin ibu kecewa melihat undangan itu.
            Masih hangat dalam ingatanku waktu datang dan melihat Leni menyapa semua tamu undangan. Suami pilihan ibunya terlihat kesenangan. Hei, bung, sadar tidak kau merebut masa depanku?!
            Setelah makan sepuasnya dan memberi ucapan selamat seikhlasnya, aku pulang. Sudah tak tahan? Oh, bukan. Aku mengantuk karena kekeyangan. Setidaknya pernikahan Leni membuatku makan enak.
            "Cuma bertahan dua tahun," kata ibu. Pernikahan Leni kandas di tengah jalan. Baru ketika sidang putusan cerai telah ditetapkan, Leni sadar ia dalam kondisi hamil. Ia menangis sejadi-jadinya padaku. "Anakku tidak punya ayah," isaknya. Aku mengelus punggungnya sambil berbisik pada diriku sendiri. Aku adalah calon ayah.
            Ketika anak itu lahir, aku telah bersiap melamar Leni. Sekarang giliran niatku yang kandas. Kudengar Leni akan segera menikah untuk kedua kali. "Dengan siapa?" tanyaku persis seperti tempo dulu. "Pilihan ibu. Ibu jamin, yang ini lebih baik." Ibumu lagi, ibumu lagi. Kapan ibumu memberi celah bagiku melamarmu? Sementara ibuku mulai berkoar-koar, "Kapan kamu menikah nak? Leni sudah punya anak dan akan menikah lagi. Kamu punya calon saja belum."
"Itu kan Leni, bu. Bukan aku. Santai. Masih muda."
"Kamu kepala tiga!"
"Aslinya, kepalaku cuma satu."
"Ah!"
            Ibuku menjadi hobi menyindir. Ia terus berkata betapa rindunya akan kehadiran seorang cucu. Kujawab dengan tawa bahwa ibunya saja tak ada apalagi bayinya. Lantas ibu marah-marah dan mengungkit Leni. Heran juga aku, kenapa Leni menuruti semua pinta ibunya. Dan kenapa aku terus menunggu Leni.
            Baru saja aku patah semangat, kudengar berita baru. Leni ditinggal mati suami. Sebetulnya kalau aku tega bersorak gembira atas kematiannya, memang itu yang kulakukan. Tapi Leni datang dengan membawa setumpuk kedukaan. "Aku sedang hamil lagi dan ditinggal pergi untuk kedua kali."
            Jangan ada kali lain. Saat ini aku harus buru-buru datang ke rumah Leni sebelum ia dilamar lagi. Aku bosan menunggunya patah hati baru aku mencoba menyelipkan diri. "Tabah, Leni. Kamu tidak sendiri." Ia menatapku penuh harap. "Apa yang bisa kau beri atau kau ganti?" Sinyal baik. Mungkin maksudnya, kapan aku menikahinya. "Segalanya, Leni. Kalau perlu dunia baru untukmu dan anak-anak." Dalam hati aku menambahkan, tempat untukku juga ada di sana.
            "Undangan dari Leni." Ibu menyerahkan sebuah undangan dengan warna keemasan. Aku menghela nafas sangat panjang. Ini yang ketiga. Aku tak rela Leni digilir orang. Dia sudah berganti suami tiga dalam kurun waktu terlampau pendek. Berapa nomorku nanti? Ibuku sendiri sudah bosan mengomentari kelajanganku dan kemampuan Leni bergonta ganti suami.
            Mulai dari hitungan bulan sampai tahun. Hingga menembus dasawarsa. Tak kudengar Leni ditinggal suaminya. Aku masih menunggu. Aku yakin saatnya akan tiba. Entah kapan pastinya. Tapi Leni seharusnya menjadi istriku. Bisa saja kan, suami-suaminya hanya lokasi sementara?
            Usiaku menanjak. Kepala empat, kepala lima. Tak lama, segera merambat ke kepala enam. Ibuku sudah tiada. Anak-anak Leni telah dewasa. Leni masih setia dengan suaminya. Merayakan ulang tahun pernikahan mereka sekaligus mengajakku turut mensyukurinya. Nampak, Leni bahagia. Mungkin ia lega dan menganggap ini yang terakhir.
            Pagi buta, Leni menghubungiku. "Suamiku pergi." Berita yang kutunggu. "Kemana?"
"Dia bilang dia menyerah. Dia berhenti berobat dan tak pernah lagi menemui dokternya."
"Tunggu, aku datang."
Leni dalam baju hitam-hitam dan wajah yang keriput terlihat sendu. Layu. Awan abu-abu memayungi rumahnya. Para pelayat telah datang. Termasuk aku dalam barisan yang menyalati jenazah suaminya.
            "Aku tidak berniat menikah lagi," ujar Leni, beberapa bulan kemudian. "Aku menyimak," kataku. "Aku sudah tua. Anak-anak sudah besar. Mereka hanya perlu merawatku dan makam ayahnya. Sekarang aku benar-benar sendiri dan belajar mandiri. Biasanya, sore-sore begini, suamiku menemani. Aku rindu. Dia suami terbaik yang pernah kupunya. Cintanya tak pernah luntur untukku."
"Betul juga. Kita sama-sama sudah tua. Tak butuh pernikahan atau ikatan. Kau punya anak-anak yang mencintaimu. Aku punya hidup di tanganku."
"Kenapa kau betah melajang? Padahal pernikahan menawarkan banyak kenikmatan."
"Karena belum tentu aku mendapatkan pasangan seperti yang didapatkan almarhum suamimu."
"Kau?"
"Leni, maukah kau menikah denganku? Meski kita tua, keriput, tak bisa punya anak, hanya menunggu dijemput malaikat maut. Tapi kau perlu tahu. Aku inging kita menua bersama. Menghabiskan waktu dengan seseorang yang tak lebih bau tanah dariku tentu menyenangkan. Romantis kan? Coba bayangkan ada yang menemanimu tiap sore, mengenggam tanganmu, menyanyikan lagu-lagu, membuatkanmu teh. Apa saja yang kau mau."
            Seminggu kemudian, kami berhasil mendapatkan seorang penghulu. Kami membuat syukuran kecil-kecilan. Tak lupa kukirim undangan ke makan ibuku agar beliau tahu aku telah melepas masa lajangku.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama