Pergi untuk Kembali
shutterstock.com “Saya mungkin belum bisa meluluhkan hati ibumu. Tapi saya yakin kamu juga tidak akan berhenti berjuang atas turunnya sebuah restu.” Di bawah langit malam-hitam-pekat kota yang basah diguyur hujan seharian, saya menelan tiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Saya hanya bisa diam dengan ekspresi kosong dan sekuat tenaga menunjukkan wajah yang ditegar-tegarkan. Betapa tubuh dan kepala saya sudah sangat berat, hampir limbung dibuatnya. Hati saya seperti baru dirontokkan. Kalau bukan karena angin dingin yang bertiup dan menimbulkan gigil ini, dia pasti sudah curiga mengapa tubuh saya gemetar hebat. Sekarang saya bisa berpura-pura menggigil karena kedinginan. Mungkin kalau sudah pulang, bisa banjir air mata saya. “Saya pikir ini rencana terbaik bagi kita berdua. Tidak hanya baik untuk...