kaskus.co.id |
“Aidil
mana?”
Semua
orang diam. Semua orang menatapku dengan malang. Padahal aku hanya ingin
membuktikan bahwa ketakutanku itu salah. Aku ingin melegakan dada yang susah
bernafas akibat cemas.
“Aidil
mana?”
Pertanyaanku
bergaung dalam kepala, kuulang sekali lagi dengan volume lebih keras. Seseorang
berjalan mendekat dengan air mata yang hampir tumpah. Tapi aku tidak mau
mencari jawaban dari orang yang berwajah seperti itu.
“Tadi
Aidil naik perahu sama siapa?”
Kalau
saja aku bisa berenang. Kalau saja aku tidak takut hujan. Aidil melarangku ikut
serta karena aku baru sembuh dari sakit typus. Bahkan ibu sampai mengungsikanku
ke rumah nenek di Depok. Setelah memaksa, akhirnya aku diizinkan kembali ke
Jakarta.
“Tadi
perahunya penuh, Na.”
Aduh.
Mati aku.
“Aidil
belum pulang.”
Aku
tidak mau dengar.
“Aidil
pake jaket pelampung kan?”
“Arusnya
deras, Na.”
“Aku
ga nanya arus.”
“Tapi
Aidil di luar sana.”
“Kenapa
ga ada yang nyari?”
“Karena
belum ketemu.”
Tuh
kan.
Aku
berlari keluar seperti orang kesetanan. Aku ingat terakhir kali ke kolam renang
waktu pelajaran olahraga beberapa minggu yang lalu. Aku takut berada di dalam
air. Trauma masa kecil. Aku pernah berenang di laut bersama ayah. Lalu tiba-tiba
air pasang. Aku sempat tenggelam. Tahu-tahu orang sudah mengerumuni di pinggir
pantai. Ibu menangis histeris sambil memelukku. Tapi ayah tidak pernah kembali.
Kata orang ayah terbawa pasang. Kata ibu ayah sudah pulang. Pulang ke rumah
Tuhan.
Kusambar
jaket warna kuning terang entah milik siapa. Kupakai cepat-cepat karena waktu
tidak akan melambat. Waktu akan terus berjalan. Sementara Aidil mungkin
kedinginan di luar sana. Mungkin juga kehausan. Padahal akhir-akhir ini ia sering
sakit. Ia terlalu capek dengan kegiatannya yang tidak ada habisnya. Kegiatan
yang sering kupertanyakan manfaatnya. Namun Aidil selalu menjawab, “Ini demi
kepentingan banyak orang.” Padahal kalau semua orang mengerjakan tugasnya dan
perannya masing-masing, tidak perlu ada satu orang yang mengurusi kepentingan
orang banyak. Itu pemahaman yang tumbuh dalam benakku.
“Aidil!
Aidil!”
Entah
kapan sampainya tahu-tahu kakiku sudah membawaku ke genangan air setinggi
pinggang. Airnya deras dan dingin. Di mana-mana kulihat sampah hanyut terbawa
air. Mataku sudah mulai basah. Tubuhku menggigil. Dengan panik aku menoleh ke
sana kemari. Dengan bodoh kusibak air. Kukira dengan cara itu aku bisa
menemukan Aidil.
“Aidiiiiiiil!”
Mendadak
gelombang air menyapuku. Menyapu perempuan yang tidak bisa berenang sepertiku. Air
menyerbu wajahku, memasuki lubang di tubuhku. Mataku refleks menutup. Hidung dan
mulutku terdesak air yang melimpah. Pahit. Bau. Pusing. Tidak-bisa-bernafas.
Yang
kuingat aku meronta-ronta panik, berusaha mencari pegangan. Pegangan yang tidak
kutemukan. Kepalaku timbul tenggelam di permukaan. Susah payah aku bernafas. Mungkin
aku akan menyerah. Aku lelah. Susah. Tidak bisa berenang. Tidak tahu harus
kemana.
Kemudian
aku membuka mata.
Untuk
kedua kalinya seumur hidupku, aku dipeluk ibu. Ia menangis histeris memelukku
seakan aku anak kecil. Ia tidak mau melepaskan pandangan dariku barang sedetik.
Ia memohon agar aku jangan turun ke dalam air lagi, setenang apa pun air itu
beriak. Kami memutuskan pindah. Dan Aidil tidak pernah ditemukan. Mungkin Aidil
menyusul ayah.
Aidil
menyukai petrichor. Aidil menyukai warna daun yang kekuningan dan berguguran. Aidil
menyukai air yang tenang. Aidil menyukai alam.
Kemanapun
aku melangkah, semuanya tentang Aidil. Dunia ini dunia Aidil. Langit yang
sering Aidil tunjuk, yang katanya awannya penuh bentuk. Ia bilang bisa melihat
awan berbentuk wajahku. Katanya semua ekspresiku terlukis di atas awan. Seperti
Aidil menceritakan rasi bintang. Membuat ramalan bahwa kami hanya dipisahkan
oleh kematian. Atau waktu Aidil mengatakan betapa ia mencintai pohon-pohon di
hutan. Yang cantik dan hijau, sepertiku yang muda dan kemilau.
Aidil
kembali pada bumi.
Setiap
aku merindukannya, aku hanya perlu membuka mata dan melihat sekeliling. Karena Aidil
menjelma bersama Gaiea.