Zaman yang Sepi


           Ada saat di mana kau merasa betul-betul sepi. Entah dunia macam apa yang kau tinggali. Padahal, katanya, penduduk bumi melonjak. Membuat dunia penuh sesak. Membuat nestapa akibat kebutuhan lahan yang semakin meningkat. Sementara lahan adalah tetap. Bumi tidak meluas atau membesar. Manusianyalah yang jumlahnya berlipat. Maka sungguh aneh dan kontradiktif rasa kesepianmu. Sementara di kanan kirimu orang-orang berkicau. Di depan belakangmu orang-orang menampilkan senyum dalam bentuk titik dua dan tutup kurung. Lalu di atas bawahmu orang-orang berbagi mulai dari acara buka mata di pagi hari hingga terlelap kembali.
            Dua titik menggantung di bawah pipi. Bahkan tanpa kau sadari. Sembari mengelap cepat-cepat. Takut terlambat dan dilihat orang. Kukatakan baik-baik, dengarlah. Bila perlu, kuulang sampai kau tahu. Pahamilah. Begini cara kerja hidup modern. Tak perlu sosok atau kesejatian hayat di sampingmu. Temukan saja dan larut dalam segala yang digital. Bisa kau lihat, belum tentu bisa kau cecap. Dapat kau dengar, tapi tidak kau sentuh. Segalanya berbeda sekarang. Percepat langkahmu! Sesuaikan dengan mereka-mereka yang lari tanpa mengancingkan celana lagi. Bukankah telah lama didengungkan murid kencing berlari? Kini murid-murid telah melesat jauh meninggalkan guru mereka pada zaman yang berubah.
            Sejenak mungkin kau gamang. Segantang penuh harap dan pemujaan akan kepastian menggantung di sudut bibirmu. Kau ingin bilang, betapa enaknya memutar kepingan kaset ke masa lampau. Sementara kau rikuh berlari-lari di sini. Namun kapan kau tempa sikap bajamu jika kau berlembek-lembek ria? Kalau kau mau halau segala sepi-susah-penat-pening-kacau-galau yang menghantuimu, jauhkan! Dekatkan dirimu pada hal-hal positif sesuai perkembangan zaman. Kini mengucap salam bukan dengan ketukan lewat pintu atau antaran lewat kartu pos. Letakkan salammu berupa gambar bergerak yang menampilkan kartun dirimu atau melalui rekaman suaramu. Takjub!
            Rengkuh kemerdekaanmu. Genggam kebebasanmu. Sekarang kau bisa bangkit. Jangan puas menatap kolong langit. Jadilah penghuni yang menjejak langit sebagai ubinnya. Sudah jelas, bukan? Orang berlomba dan kau ikuti mereka. Katamu―kata hatimu―tak lain agar kau tetap dalam lingkaran mereka. Entah lingkaran macam apa yang kau nantikan.
            Coba kutanya, tetapkah sepi merajai sanubarimu? Maka kutunggu jawabanmu, ya. Di satu sisi, kau tak mau ditinggal atau tertinggal. Di sisi lain setiap kau berada dalam lintasan yang setara, kau baru sadar. Tak ada yang benar-benar saling tunggu. Semua tetap berproses dengan caranya sendiri, tak menoleh atau mengulurkan tangan. Buat apa menunggu? Lontarkan tubuhmu, kira-kira begitu pesan yang kutangkap. Lalu kau menolak dengan gelengan lemah. Bahwa segalanya bukan caramu dan tidak menjadikanmu lebih hidup. Mana hal-hal nyata yang selama ini meliputimu? Kenapa sekarang menjadi sesuatu yang abstrak dan di luar kebiasaanmu?
            Kebungkaman melanda. Banyak orang mengaku tak bahagia,. Sebab didengar dan mendengar mahal harganya. Ba-bi-bu itu tak perlu. Nanti waktu habis, ungkap bahasa tubuh mereka padamu. Mencari wajah-wajah murni yang mau berbagi keluh kesah adalah barang mewah. Nikmatilah. Ini zamannya tanpa hal-hal gratis. Sementara promo-promo gratis di sekitarmu melupakan yang sangat patut digratiskan. Kita sebut, ketulusan. Sedikit banyak orang mudah berpikir. Ah, ya, dia begini karena ada mau. Dia begitu karena butuh. Alasan menjadi penting. Spontan sebagai wujud kepedulian dianggap kelangkaan.
            Pada akhirnya, kuizinkan kau berucap pasrah dan menghormati kedirianmu. Terserah. Aku tak ikut menasehati lagi. Soalnya, aku juga tidak tahu harus bagaimana.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama