Kelesah. Kulihat satu per satu dari deretan anak-anak
perempuan di teras ini dijemput ibunya. Langit bukan lagi mendung tapi telah
menggugurkan amukan air dan anginnya. Sepatu dan kaus kakiku telah basah akibat
tempias. Rok rimpelku pun mulai menyerap cipratan air. Sekarang, rasa lembapnya
telah merayap ke kemeja. Mana ibu?
Menurut ramalan cuaca yang kulihat di televisi tadi pagi,
badai akan menghantam kota untuk satu dua hari ke depan. Akibat dari pemanasan
global, cuaca menjadi tak menentu dan berubah secara ekstrim. Panas menjadi
dingin, dingin menjadi panas. Air laut naik, es di kutub mencair. Tapi, bagiku
itu tidak mengkhawatirkan. Sesuatu akan kuanggap mengkhawatirkan bila ibu telah
membahasnya siang malam selama tujuh hari berutur-turut. Semisal rencana
pemadaman listrik bergilir atau keterlambatan pencairan dana tunjangan bagi
pegawai seperti ibu. Sejak bercerai dengan ayah, hanya aku tempat ibu membagi
kekhawatiran-kehawatirannya.
Sekarang, aku yang diliputi kekhawatiran melebihi batas
khawatir yang biasa kurasakan bersama ibu.
Pusaran angin terlihat dari jauh. Aku menghela nafas.
Tinggal aku dan seorang anak tingkat sepuluh yang masih tinggal di teras
sekolah. Bangunan sekolah kami kecil, berbentuk kotak, dengan teras tak kalah
sempit. Pintu utama sekolah telah dikunci dan penjaga sekolah telah pulang.
Rumahnya tak jauh dari sini, ia tengah kerepotan merawat anak kembarnya yang
sakit. Kata ibu, kalau belum dijemput, aku tetap menunggu di teras sekolah
saja. Kasihan, jangan merepotkan pak penjaga sekolah. Dia akan merasa tak enak
hati melihatmu menunggu ibu di rumahnya dan mulai memberimu makanan. Begitu
pesan ibu berulang kali.
Mataku perih. Di kejauhan, benda-benda mulai beterbangan.
Semuanya menjadi hitam. Aku merapatkan tubuh ke tiang penyangga teras. Anak
perempuan kelas sepuluh itu mengikutiku. Jadi, kami sama-sama memeluk tiang. O
ya, aku lupa mengatakn bahwa sekolahku adalah sekolah khusus perempuan. Semua
temanku, adik kelasku, dan kakak kelasku adalah perempuan. Sebagian besar dari
kami tinggal di tempat yang jauh dari sekolah sehingga orangtua kami terbiasa
mengantar jemput.
Pusaran angin itu semakin mendekat, atau cuma perasaanku
saja?
Suara keras bergema. Apa yang berderit? Kulihat bangunan
gudang dari kayu yang berjarak seratus meter dari halaman sekolah telah hancur.
Kayu-kayunya berada di dalam pusaran. Keadaan tampak kacau. Angin mengeluarkan
suara ribut. Begitu pula dengan benda-benda yang melayang, berputar, saling
tubruk, dan bersinggungan. Telingaku mulai sakit. Aku dan anak perempuan
tingkat sepuluh itu pasti telah basah dari ujung ke ujung. Mataku menutup,
kupalingkan wajah menghadap lantai. Ya ampun, mana ibuku?!
Ingatan-ingatan muncul, berjalan cepat seperti video klip
hitam putih seorang penyanyi yang tengah kugandrungi. Ibu yang menangis waktu
aku bermain terlalu jauh dari rumah. Ibu yang menjerit waktu aku bercerita
hampir tenggelam di sungai. Ibu yang memohon agar aku tidak lagi keluar rumah
di malam hari karena sesak nafasku kambuh dan aku tak mampu bangkit, hanya
bergelung di pekarangan selama beberapa jam di musim dingin yang paling dingin.
Ibu yang merayuku dengan lembut agar tidak menangis lagi karena kudengar ayah
dan ibu akan bercerai. Ibu yang mengelus dada setelah tahu aku tak mendengarkan
ucapannya saat makan malam sebab aku menggunakan headset dan memutar musik
sangat keras.
Mana ibu?
Sekarang kepalaku mulai pusing karena basah dan
kedinginan. Aku sudah tak ingat dimana aku atau apa yang terjadi denganku. Dalam
kepalaku berpendar ingatan-ingatan tentang aku dan ibu. Aku yang berteriak
frustasi karena ibu tidak mengangkat telponku padahal aku terjebak di luar
rumah selama dua jam, kehilangan kunci. Aku merengek agar ibu mengizinkanku
sekolah di luar kota tapi ibu tidak rela aku jauh darinya. Aku sedang demam dan
ibu terpaksa meninggalkanku akibat kewajibannya bekerja.
Mana ibu?
Pandanganku sepenuhnya hitam legam. Tubuhku seperti
disentak-sentak. Lalu angin dan air berhenti. Aku tidak merasakan tumpahan air
lagi dari atas. Aku tak mendengar bunyi angin yang sangat berisik. Badai telah usai? Seseorang
membantuku bangkit. Aku membuka mata. Yang pertama kali kusadari, di balik
tubuh orang yang membantuku bangkit, bangunan sekolaku luluh lantak. Rata
dengan tanah. Aku menggigit bibir. Mataku mulai panas. Kukerjapkan mata,
kupandang wajahnya. Ibu! Ia tersenyum sembari berlinangan air mata. "Maaf
ibu terlambat menjemputmu, sayang," ibu mengecup pipi dan keningku
berkali-kali. Tak jauh dari tempat ibu bersimpuh sembari memelukku, terlihat
mobil ambulans. Seorang gadis dibawa naik ke mobil ambulans. Dia berseragam
sepertiku. Dia mungkin gadis tingkat sepuluh itu. Tiba-tiba kusadari sesuatu. Aku tidak bisa merasakan kakiku. Aku
mencoba menegakkan tubuh. Ada luka di sana. Lalu beberapa orang berpakaian
seperti perawat menghampiriku. Mengangkatku dan menutup wajahku dengan kain.
Kudengar ibu histeris. Jauh lebih histeris dibanding saat aku mengakui hampir
tenggelam di sungai musim panas lalu.