Judul : Devdas
Penulis : Saratchandra
Chattopadhyay
Penerjemah : Meithya Rose
Prasetya
Penerbit : Kayla
Pustaka
Tebal : 257
halaman
Cetakan : Pertama,
Juni 2007
Saratchandra Chattopadhyay adalah
salah satu penulis kenamaan India selain Rabindranath Tagore. Mungkin, anda
masih asing dengan namanya. Begitu pula dengan saya. Ini kali pertama saya
membaca sebuah novel karangan penulis India. Namun, ini juga kali pertama saya
terpesona dengan novel ala Rome-Juliet
dari India. Novel Devdas sendiri saya dapat dari pinjaman seorang teman, AnnishaFathullah Jay.
Kisah bermula dari dua orang yang
bertetangga dan berkawan sejak kanak-kanak. Anak lelaki yang bengal dan kasar
bernama Devdas berasal dari kasta Brahmana, bergelimang harta dan keluarganya
disegani. Temannya, seorang anak perempuan bernama Parvati yang menjalani
kehidupannya dengan sederhana dan berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Sejak
berusia delapan tahun, Parvati telah mematri dalam-dalam di hatinya bahwa
Devdas adalah kepunyaannya, miliknya yang berharga. Kemanapun Devdas melangkah,
Parvati dengan senang hati mengikuti dan melayaninya. Sedikit terasa janggal
memang. Hubungan pertemanan sekaligus kakak-beradik ini kurang seimbang.
Parvati memosisikan diri seakan ia pelayan dan Devdas bisa berlaku seenaknya.
Salah satu contohnya, Devdas tak segan melukai Parvati dengan memukulinya
ketika ia marah.
Hubungan mereka diperumit oleh
kenyataan kedua orangtua Devdas tidak merestui bila mereka menikah. Selain
perbedaan kasta, menikah dengan tetangga dianggap hal memalukan. Akibat
penolakan dari keluarga Devdas, keluarga Parvati pun mempersiapkan pernikahan
antara Parvati dengan seorang duda kaya raya dari tempat yang jauh. Kenyataan
ini membuat Devdas goyah dan hancur. Ia yang merasa tidak mencintai Parvati dan
tidak peduli pada pernikahan Parvati ternyata merasakan sebaliknya. Ia kembali
ke Kalkutta, tidak untuk melanjutkan pendidikannya tetapi menceburkan diri
dalam dunia minum minuman keras. Di saat-saat terberat dalam hidupnya, hadir
seorang pelacur, Chandramukhi, yang mencintainya dengan luar biasa dan mau
melakukan apa saja untuknnya. Sekali lagi, Devdas menghadapi seorang perempuan
yang mencintainya dan memujanya.
Awalnya, novel setebal 257 halaman
ini terasa asing. Selain nama-nama India―beberapa sulit dalam pengucapan―yang
berseliweran, masalah lain adalah kedudukan perempuan maupun sistem kasta yang
tidak akrab bagi sebagian besar dari kita. Hubungan Devdas-Parvati sendiri
telah menunjukkan penghambaan berlebihan seorang perempuan kepada lelaki yang
justru digambarkan tak tahu diri dan cenderung merendahkan orang lain.
Sementara hubungan Devdas-Chandramukhi menunjukkan kebutuhan dalam arti yang
berbeda. Devdas membutuhkan Chandramukhi yang memahaminya dan mencintainya
sekaligus membencinya dan menghina profesinya. Chandramukhi membutuhkan Devdas
meski ia hampir tak punya rasa hormat dan penghargaan dari lelaki itu. Melalui
ocehan-ocehan Devdas di kala mabuklah Chandramukhi pun mengenal sosok Parvati,
perempuan yang menjadi tujuan terakhir sebelum ajal menjemput Devdas.
Tak salah bila novel Devdas disebut seperti Romeo-Juliet, Siti Nurbaya, dan Layla-Majnun.
Bila harus memilih satu kata, secara keseluruha novel ini patut digambarkan
sebagai "tragis". Bukan hanya emosi maupun konflik antartokoh yang
membentuk rantai masalah sambung menyambung. Hal-hal yang berkaitan dengan adat
dan norma, budaya, agama, maupun sosial-ekonomi diungkit. Semisal, kebiasaan
Parvati menyentuh kaki Devdas yang juga dilakukan Chandramukhi maupun sentuhan
di kepala antara Parvati dan suaminya sebagai tanda pemberkatan. Bagaimana pada
usia tiga belas tahun dianggap waktu yang cukup bagi kedua orangtua Parvati
untuk mencarikannya seorang suami entah itu perjaka atau duda. Juga sikap
merendahkan diri Parvati terhadap anak perempuan tirinya dengan menyebut diri
sebagai si miskin.
Walaupun berupa novel percintaan, Devdas tak boleh dibilang menghimpun
romantisme belaka. Justru banyak masalah-masalah tak terselesaikan dan tak
berujung dalam novel ini. Misal, ketika Devdas merasa hidupnya penuh rasa hampa
dan sakit, Chandramukhi membuka cakrawala berpikirnya dengan berkata,
"Kalianlah, laki-laki, yang memuja perempuan tanpa akhir, lantas kalian
pula yang menyalahkan mereka dan menjatuhkan mereka dari singasana
pemujaan," (hal 175). Pada titik ini, Chandramukhi mencoba mengeluarkan
keremangan dalam hati Devdas mengenai kebimbangannya hidup tanpa Parvati yang
telah berkeluarga.
Saya sendiri merasa kesal sekaligus
hanyut pada tokoh Devdas. Jarang menemukan seorang novelis menjadikan lelaki
bajingan malang yang susah diatur (hal
252) seperti Devdas menjadi tokoh sentral dan justru dicintai dua perempuan
dengan latar belakang jauh berbeda. Ia yang menolak tawaran Parvati untuk kawin
lari tapi ia pula yang jatuh dalam kubangan lumpur pesakitan akibat keputusannya.
Hingga mendekati akhir hayatnya, ia menjadi kesepian dan penuh derita. Ia punya
ibu, kakak, Paro―panggilan akrab Parvati―yang lebih dari sekedar adik baginya,
dan Chandramukhi. Ia memiliki banyak orang, tapi tak seorangpun yang
memilikinya (hal 237). Devdas memutuskan tidak menikahi Parvati maupun
Chandramukhi.
Namun novel Devdas memberi kesegaran dan cara pandang lain terhadap topik kasta, sosial-ekonomi,
maupun kedudukan perempuan di India. Tokoh Parvati layak diacungi jempol. Meski
jelas keluarga Devdas menolaknya menjadi menantu akibat sistem kasta, ia tak
patah arang dengan mengajukan diri menikah dengan Devdas. Devdas tidak berani
menerima risiko kawin lari ataupun memaksakan restu dengan kawin baik-baik
karena ia tahu itu menyakiti kedua orangtuanya. Di sini terjadi metamorfosa
sosok Parvati yang awalnya selalu takut dan berusaha menuruti kemauan Devdas.
Ia menunjukkan kedewasaan dan harga dirinya. Ia tak malu bila apa yang
diperjuangkan maupun diinginkannya dapat mencoreng wajahnya.
Devdas
berakhir tragis dalam usaha terakhir Devdas menemui Parvati. Tarikan nafas
terakhir Devdas dilakukannya di halaman rumah suami Parvati dengan mulut dan
hidung mengucurkan darah. Digambarkan, mayat Devdas tidak disentuh orang hingga
para pembakar mayat harus mengambilnya lalu berakhir mayat gosong Devdas
dicabik anjing dan serigala.
Devdas telah menjadi secuil potret
kisah cinta dua anak manusia di tanah India yang begitu berkesan.