Antara Lolita, Bebek Goreng, dan Kita


bebekgorengslamet.com


            "Sudah berapa lama kita seperti ini?" Lolita tidak menjawab, ia justru mengamit lenganku. Kami tengah mengantri di restoran murah meriah tak jauh dari tempat Lolita bekerja. "Lolita, kau mendengarku?" Lolita menyikutkan tangannya ke tulang rusukku. "Ya ampun, Martin, sabar sedikit! Lihat, antriannya sudah bergerak!" Segera, dua kasir lain yang tadinya tutup karena pegawainya tengah beristirahat dibuka kembali. Mirip bank saja. Dua orang yang mengantri di depan kami menyingkir ke dua kasir yang baru buka. Kini kami berada di posisi pertama dalam antrian. Kasir yang melayani kami berwajah cantik meski tanpa polesan riasan atau pakaian mahal. "Lima puluh empat ribu tujuh ratus rupiah," ujar kasir itu. Lolita memandangiku. Aku merogoh saku belakang dan menyerahkan dompet padanya.

            Lolita mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru restoran. "Martin, ayo duduk di sebelah sana," lagi-lagi ia mengamit lenganku tanpa mempedulikan tanganku yang kerepotan membawa nampan penuh isi. Lolita duduk di depanku dengan kursi dimiringkan ke luar agar ia leluasa menatap taman restoran. Selain menjual makanan yang enak, restoran ini memiliki desain yang indah. Taman vertikal dan gerbang batu menyapa pengunjung. Di kiri kanan bangunan terdapat taman kering yang pergola yang ditumbuhi anggur. "Sudah berapa lama kita seperti ini? Maksudku, aku dan kau menjadi "kita"? Lihat, bagaimana caramu memperlakukanku. Kau tidak sungkan membuatku mengeluarkan dompet dan membawa nampan."
            Lolita mengangkat wajahnya yang tengah menekuni sepiring nasi merah berlauk bebek goreng dan plecing kangkung. Aku sendiri belum menyentuh isi piringku. Ekspresi Lolita membuatku gugup. Cepat-cepat kuraih sebotol air mineral dan menenggaknya. "Kau haus," ucap Lolita dingin. Aku tidak tahu apa itu pernyataan atau pertanyaan. Nampaknya aku mempertimbangkan menikmati makan siangku sekarang.
            Dari mana harus mulai? Lama kelamaan, pipi Lolita bersemu semerah tomat. Sementara mulutku tengah melahap bebek goreng yang agak liat. "Sejak kapan kau berencana menanyakan pendapatku tentang "kita"?" Nada kaku dari suara Lolita meruntuhkan kepercayaan diriku. Mataku menatap pintu. Bagaimana cara terbaik meninggalkan bebek gorengku? "Tidak, tetap di sini. Jangan lari, Martin. Habiskan bebek gorengmu. Mungkin caraku bersikap memang buruk. Aku hanya tidak tahu bagaimana caraku bersikap menghadapi pertanyaanmu. Aku kaget, kau baru menanyakannya setelah aku dan kau menjadi "kita" selama tujuh tahun ini. Kukira kau menganggapnya tidak penting." Lolita bicara sangat cepat. Ia selalu begitu bila merasa cemas atau terdesak. Beruntung, tujuh tahun terakhir aku terbiasa mendengar rentetan kalimantnya yang kadang tak berujung.
            "Apakah "kita" tidak penting bagimu?" Lolita mendesah, "oh, Martin, jangan salah paham. Kumohon." Ini berjalan sungguh lucu. Bagaimana mungkin laki-laki minta kepastian? Jamaknya, perempuan yang memastikan. Aku merasa sangat bodoh. Pastilah di dalam hatinya Lolita menertawakanku.
            Aku dan Lolita telah menjadi "kami" sejak tujuh tahun terakhir, persis seperti yang ia katakan. Kami tak pernah sekalipun mengungkit atau mempermasalahkannya. Tanpa kami sadari, kami menjalin ikatan yang tidak kami sebut awal mulanya atau kami rencanakan akhirnya. Yang aku tahu, aku merasa wajib membayari ia makan, mengantarnya kemamapun ia mau, membawakan barang-barangnya bahkan menemaninya dan menjawab telponnya sepanjang waktu. Sebagai balasan, Lolita tidak absen menemaniku melakukan hobiku berolahraga. Lolita juga menjadi kesayangan orangtua dan adik-adikku. Lolita adalah orang yang kehadirannya tak luput dinantikan keluargaku setiap acara kumpul bersama.
            "Kukira kau akan melamarku setelah ini. Kau sudah bertanya berapa lama "kita" speerti ini, lantas apa tujuanmu untuk nanti? "Kita" akan menjadi apa?" Lolita nampak gusar. Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Siapa yang menjadi laki-laki di sini? Kau mengambil dialogku, Lolita. Kenapa kau bertanya sebelum kuutarakan?" Lolita tertawa mendengar protesku. "Karena aku terlalu mengenalmu dan mengetahui jalan pikiranmu, Martin," ia mengedipkan mata dengan genit. Kuraih kotak dalam saku dan meletaknnya di atas meja. Mata Lolita membulat. Binarnya memancarkan kebahagiaan untukku. "Aku juga tahu kau selalu memahami apa mauku," katanya sambil memasang sendiri cincin dalam kotak itu di jari manisnya. 
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama