![]() |
shutterstock.com/pic-97993250/ |
Bu Nona memandang ke bawah, menembus lipatan rok yang ia
remas, menembus kedua kakinya yang merapat, menembus tanah, menembus kesadaran.
Harga diri yang terinjak oleh pengkhianatan. Rasa tidak berharga. Rada dibuang.
Apa salahnya hingga ia harus menerima keterpurukan macam ini? Tidak ada orang
yang mau pernikahannya hancur karena diselingkuhi! Sehebat apa perempuan lain
itu, sampai-sampai dua puluh tahun terbuang percuma dengan kamar yang kosong
melompong dan salah satu dari dua cangkir kopi yang terhidang di teras depan
selalu utuh? Salah siapa suaminya pulang larut malam karena sibuk bekerja tapi
masih bisa mencuri waktu menemui kekasih gelapnya? Ia sudah mempertaruhkan
seluruh kepunyaan dalam dirinya demi dua puluh tahun yang sia-sia?
Kuliah dan magang dalam waktu lima tahun kandas oleh
sebuah ikatan. Kata suaminya dulu, toh profesi sebagai ibu rumah tangga adalah
profesi paling mulia. Menjadi seorang ibu sekaligus istri adalah keberuntungan
yang sempurna. Banyak orang ingin cepat menikah atau punya anak tapi terhalang.
Baik takdirnya, jodohnya, kesempatannya, atau lain-lainnya. Kalau Bu Nona
dimudahkan dalam kedua urusan itu, bukankah seharusnya ia bersyukur? Ia percaya
pada sang suami. Ia percaya, imamnya tentu berpikir masak-masak dan punya
pertimbangan tepat. Rencana sejak kecil menjadi wanita karir tenggelam sudah.
Satu terpenting, membina keluarga bahagia, menjadikan nyata petuah-petuah ayah
bunda. Seorang istri harus begini, seorang ibu harus begitu. Bu Nona lakoni
dengan seksama. Lahirlah tia putranya yang gagah perkasa, buah hati
kebanggaannya.
Sekali lagi, suaminya meminta. Selagi si sulung masih
belia, tunda dulu anak berikutnya. Jangan cepat hamil lagi. Jika bosan mengurus
anak dan rumah, tidak usah berkumpul dengan teman-teman. Mubazir. Lebih baik
meluangkan waktu mempercantik diri. Jadilah Bu Nona di setiap kesempatan
mengurus tubuhnya baik-baik. Agar kulitnya tetap mulus dan kenyal. Agar rambut
hitam panjangnya tetap halus mengilap. Agar bobot tubuhnya bertahan seperti
gadis usia belasan. Jika si sulung kedatangan ibu atau mertuanya, ia lebih
leluasa berpikir. Porsi mana yang harus ditambah, berlari atau bersepeda? Mana
yang masih kurang, spa atau sauna? Tanpa pikir panjang, kocek disediakan. Semua
dilengkapkan, apa butuhnya segera terhidang. Betul-betul suami pengertian yang
memahami kebutuhan perempuan.
Sekali lagi, si tengah lahir. Lupakan bisnis sampingan.
Toh suami siap memberikan. Jadilah Bu Nona semakin yakin, suaminya sungguh
patut dibanggakan. Ia tak perlu menambah penghasilan, toh dapurnya mengepul
tiada habisnya. Ia sering becermin, mematut betapa sempurna hidupnya kini.
Suami yang sangat berperasaan dan anak-anak yang mudah dalam pengasuhan. Kedua
putranya tumbuh memenangkan hatinya, tak pernah merusak harinya. Tak henti ia
menceritakan pada ibu atau mertuanya melalui telpon. Betapa mereka harus sering
menengok kedua cucunya yang pesat berkembang.
Sekali lagi, si bungsu lahir. Suaminya berkata, cukuplah
tiga tak perlu bertambah. Biarpun ketiganya jagoan dan kurang lengkap kalau tak
ada seorang tuan putri dalam perlindungan mereka. Tidak mengapa, ini sudah
menyempurnakan dirinya sebagai seorang perempuan. Bahwa ia mampu melahirkan.
Bahwa ia memiliki keturunan, tiga orang gagah pula. Ia patut berbusung dada,
beginilah adanya, garis Tuhan sungguh indah rupawan. Orang-orang berdecak kagum
dan ikut tersenyum merasakan kebahagiaannya. Ia bisa mereguk aroma manisnya anugerah
dan wujudnya ketika berbagi cerita dengan semua. Tiada yang menampik,
beruntungnya ia, hebatnya ia. Terbuktu bukan? Senyumnya terkembang.
Sekali lagi, jangan khawatir bila suamimu terlambat
pulang. Bu Nona menganggukkan kepala. Benar kata suaminya. Buat apa
mengkhawatirkan yang tak perlu. Suaminya teruji setia. Buktinya, tak pernah
ragu memujinya di depan khalayak. Kalau ia istri jempolan. Ia ibu yang
mengagumkan. Tak pernah kasar pada anak. Tak pernah menghabiskan gaji suami
untuk hal remeh temeh. Suaminya menyebutnya si pahlawan rumah tangga. Meski
keluar dari dapur, bukan asap masakan yang tercium dari rambut hitam sekelam
malamnya. Tapi bau yang menaklukkan hati suami dan anak-anak karena siap sedia
mencintai dan mengasihi selama dua puluh empat jam bila perlu. Siapa yang tak
iri? Suami manapun mau istri yang macam begini.
Ia tidak mau menjadi istri sekaligus ibu yang egois.
Baginya, membuang hal-hal yang biasa ia jalani di masa lampau bukanlah sebuah
pengorbanan. Tapi kerelaan dan keikhlasan. Toh, sebanding dengan kehidupan yang
ia miliki sekarang. Ia punya segala yang dicita-citakan. Meski gelar sarjananya
hanya menjadi pajangan di dinding kamar. Meski usia produktifnya surut tanpa
pengalaman kerja yang dulu diimpikan. Meski seluruh kebiasaannya berganti
menjadi tiga fokus; suaminya, anak-anak, dan kemampuannya sebagai istri
sekaligus ibu. Tak pelak, ada saja yang mengecapnya macam-macam. Sejak menikah
kamu jadi berubah, Nona. Kamu jarang terlihat di mata kami. Begitu keluh
teman-teman lamanya. Namun Bu Nona dengan enteng menjawab, suami dan
anak-anakku membutuhkanku.
Bu Nona tidak lagi menyempatkan diri berkeliling kota
dengan buku sketsanya. Bu Nona tidak lagi menyambangi pasar-pasar buku bekas
demi memuaskan hasratnya. Sampai Bu Nona tidak lagi melakukan bisnis ini itu
atau kursus di sana sini yang dulu ia geluti. Padahal Bu Nona dikenal sebagai
si aktif. Si produktif. Si kreatif. Si lincah. Bu Nona menampik anggapan itu.
Ia tetaplah ia yang aktif, produkti, dan kreatif. Ia masih sama. Hanya fokusnya
yang berbeda. Keaktifan, keproduktifan, kekreatifannya dilakoni di rumah untuk
para penghuni rumah. Ini cara mengabdi paling jitu, dibayar dan dimodali oleh
ketulusan, gumamnya.
Maka ketika cerminnya retak, Bu Nona ikut patah dalam
kepingan-kepingan kecil. Di rak sepatunya, ia kehilangan sepatu ukuran 42 yang
selalu menemani langkah selopnya. Di kamar mandi ia tidak menemukan cukuran
atau krim cukur yang noda kalengnya mengotori wastafelnya. Di meja dapur ia
kehilangan seseorang yang sering meninggalkan kotak perkakasnya atau membiarkan
halaman koran tercecer kemana-mana. Di halaman ia kehilangan siulan seseorang
yang menggunting rumput sesempatnya dan lebih sering menggunakan jasa tukang
kebun keliling. Apalagi si sulung tengah menyelesaikan studi di luar kota dan
memilih kamar kost ukuran 3x4 meter sebagai tujuannya pulang. Si tengah masuk
sekolah asrama sehingga ia hanya punya kesempatan menyambangi ibunya setiap
empat pekan. Si bungsu punya acaranya sendiri, mulai dari berkemah hingga
mengikuti pertandingan ke tempat-tempat yang jauh. Anak-anaknya menuruni gen
aktif, produktif, dan kreatif miliknya sehingga larut dalam kesibukan
masing-masing. Tinggallah ia, dalam kenonaktifannya.
Sembari meratap-ratap, berlutut di depan pangkuan ibunya
yang menerimanya dengan pelukan selebar dekap gunung seluas samudera penuh
sayang. Ia menghampiri dan mohon maaf bila ia bertahun tidak meluangkan waktu
untuk keluarga tempat ia berawal. Ia bersimpuh dan semakin mengeraskan tangis
ketika dibawa ke makam ayah. Ia terkejut kehilangan tema-temannya. Ia tidak
tahu kabar mereka. Ia mendapati buku sketsanya telah robek dan keriting akibat
banjir beberapa tahun silam. Ia terhenyak menemukan koleksi buku-buku bekasnya
sudah dijual tanpa sepengetahuannya. Ia semakin merasa hilang saat sadar ia tak
punya apa-apa. Segenap dirinya menghilang.
Bu Nona mengelap air mata. Ia akan berjuang dari awal.
Masih ada ibu dan ketiga putranya. Biarlah mertuanya tenang di alam sana tanpa
perlu ia ziarahi dengan segenggam duka. Janganlah teman-temannya tahu betapa
hancur hatinya saat ini dan mengabaikan fakta betapa dulu ia begitu memuja
hidupnya. Bu Nona menghentikan tangisnya.