Cantikmu


            Pernikahan beda usia. Usia yang terpaut jauh. Dan pihak perempuan yang lebih tua. Sudah pasti menjadi gunjingan banyak orang, kasak-kusuk di belakang. Siapa yang tidak meremehkan? Katanya, jika pihak laki-laki masih bau kencur, masih hijau soal rumah tangga. Belum bisa menjadi pemimpin keluarga. Tanggung jawabnya begitu-begitu saja. Mereka masih susah melepas gairah masa muda, ingin bersenang-senang dan mencecap banyak pengalaman. Tidak kuat dikekang ikatan. Tidak jinak dibelai perempuan. Susah memang, pada kenyataannya inilah yang jamak merasuki pikiran orangtua. Tak terkecuali ibuku.

            Sejak awal kedekatanku dengan Jo, ibu telah mewanti-wanti. "Dia terlalu belia untukmu, nak," ujar ibu ketika melihat Jo pertama kali. Ketika itu, Jo mengantarku pulang kerja. Aku memilih mendengarkan ibu sambil lalu. Kukira, mungkin ibu kurang mengenal Jo. Memang, Jo memiliki kelebihan wajah yang awet muda dan kulit yang bagus. Kelebihan tersebut sekaligus menjadi kekurangannya. Betapa tidak, banyak orang salah mengira usia Jo. Tahun ini Jo genap berusia 27 tahun. Usia yang matang dan wajar bagi seorang lelaki untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Namun banyak mulut usil yang mengusikku. "Jo baru 23 tahun ya, Nin? Aduh kamu kok sama brondong," tanpa basa-basi, Bulik Rika berkata padaku.
awesome-women.livejournal.com (Dr. Peyton)
            "Lho, Bulik salah, ya tidak lah! Masak 23? Dia sudah 27 tahun, Bulik! 23 itu terlalu jauh terpautnya sama saya," belaku. "Tapi kamu kan sudah 45 tahun. 27 banding 45 juga sama saja, jauh," tukas Bulik. "Bulik kejam, Bulik tega. Memangnya saya tidak pantas bersanding dengan brondong yang ganteng dan awet muda? 27 itu usia normal lelaki menikah, Bulik," balasku. "Dua-puluh-tujuh memang wajar bagi seorang lelaki untuk menikah. Tapi di mana letak wajarnya kalau dia nekat menikahi janda berusia 45 tahun yang buntutnya ada 3?" Gerakan tanganku merajang bawang terhenti. Balik badan, aku memandangi Bulik yang duduk di meja makan sambil mencecap kopi. "Apa salahnya kalau dia memilih saya yang berbuntut 3? Dia kan sayang sama anak-anakku, Bulik!" Dadaku naik turun dengan wajah merah padam. Bulik Rika cepat-cepat meninggalkan dapur. Uap kopinya masih mengepul.
            Hubunganku dengan Jo terjalin sejak empat tahun lalu. Awalnya, aku tidak berniat menanggapi keseriusan Jo menjadikanku pasangannya. Kupikir, membunuh waktu sehabis kerja dengan ditemani seornag lelaki yang meski usianya terpaut jauh dariku akan menyenangkan.
               Ternyata sangat menyenangkan.
           Jo tidak bosan-bosannya menggodaku. Namun caranya menarik perhatianku sungguh patut mendapat acungan jempol. Dia tidak mengirimiku bunga atau memberikanku puisi. Dia tidak mengucapkan janji-janji manis atau kepastian masa depan kami. Pertama kali mengenalku, dia segera tahu tantang Nara, Dara, dan Satya. Melalui akun jejaring sosial, dia semakin tahu tentang anak-anak. Kebetulan aku rajin mengunggah fotoku bersama anak-anak. Mulai dari festival seni di sekolah Nara, masak-masak dengan Dara dan teman-temannya, hingga menemani Satya ikut lomba mewarnai. Ternyata, sifat narsisku membantu Jo memahamiku.
            Kekagetan pertama menerpaku ketika bibi yang setiap hari membantuku mengurus anak-anak bercerita Jo mengirimkan bento untuk Satya. Bento, makanan dalam kotak bekal dari Negeri Matahari Terbit yang tengah digandrungi, segera menyerap kekaguman Satya. Satya yang tidak suka sayur dan pilih-pilih makanan menjadi bersemangat melahap bento. Lalu aku memutuskan berlatih membuat bento sendiri yang unik dan kreatif. Jo pun membantuku mengumpulkan alat bantu membuat bento dan mengenalkanku pada kelompok pecinta bento. Kekagetan berikutnya muncul tatkala Jo datang ke sekolah Nara di hari profesi. Aku yang lupa kalau harus menemani Nara merasa sangat bersyukur karena Jo menggantikan posisiku. Ternyata Nara cepat akrab dengan Jo.
            Hal terakhir yang kutakutkan adalah Dara. Sejak kecil, Dara dekat dengan sang ayah. Ketika suamiku meninggal, Dara benar-benar terpukul. Selama setahun aku berjuang menyemangati Dara agar tidak larut dalam kesedihan. Aku sempat pesimis membayangkan prospek kedekatan Jo dengan Dara. Tapi aku salah besar. Jo memikat Dara dengan cepat! Saat itu, Dara tengah berulang tahun di rumah sakit. Aku ketar-ketir membagi konsentrasi antara pekerjaan di kantor, mengurus anak-anak di rumah, sekaligus merawat Dara yang terserang demam berdarah. Jo datang bak pahlawan, membawakan kue ulang tahun berbentuk tokoh kartun favorit Dara. Ia berinisiatif mengumpulkan foto Dara sejak lahir dan merangkainya menjadi satu kesatuan berbentuk potret ayah Dara. Dara ternganga tak percaya dan langsung memeluk Jo dengan beribu ucapan terima kasih.
            "Tetap nekat menikah dengan Jo?" tanya ibu saat memergokiku diantar pulang Jo. Ternyata ibu datang ke rumah tanpa memberitahuku. Di belakang ibu, Bulik Rika mengedipkan mata sambil menyesap minuman dari cangkir. Bau kopi menyengat. Ah, ada apa lagi ini. Baru pulang kerja sudah ditanya macam-macam. "Sebetulnya, seberapa serius hubungan kalian? Kenapa ibu tidak dilibatkan? Kamu belum pernah tanya persetujuan ibu lho," ibu bersidekap. Aku tersenyum kecut dan segera duduk di hadapan ibu. "Kami serius, bu. Saya tidak bisa menunggu lebih lama, usia semakin menanjak, rasanya kurang sreg kalau menikah lagi di usia 50 tahun. Mumpung masih 45 tahun, kami merencanakan pernikahan."
"Kapan dia datang pada ibu? Dia harus minta izin dulu pada ibu secara khusus. Bicara empat mata, tanpa ditonton Bulik Rika apalagi kamu."
"Secepatnya, bu."
"Ya sudah, tolong kamu kasih tahu dia, ibu kurang mengenal dia. Sejauh ini kamu baru cerita dia kerja di bank, tinggal dekat sini, anak tunggal, keluarga baik-baik, pendidikan tinggi, dan perhatian sama anak-anak. Tapi pernikahan bukan cuma soal menerima kamu sepaket dengan buntutmu yang ada tiga biji itu. Coba pikirkan masak-masak, usia segini apa masih sanggup kamu memberi keturunan untuk Jo? Tentu orang menikah pasti ingin punya keturunan sendiri. Sanggup sih sanggup, tapi risikonya? Kamu keturunan darah tinggi, faktor usia dan penyakit darah tinggi itu jadi ramuan jitu yang menghalangi kamu punya anak lagi. Bulik Rika saja melahirkan di usia 35 tahun, kakinya sempat lumpuh karena darah tinggi."
            Setiap kata ibu kutelan bersamaan dengan kutelan ludahku. Namun rasanya sama saja. Tetap ada ganjalan yang menyumbat jalan nafasku. Kepalaku semakin pening. "Perempuan itu beda. Ada istilah menopause. Jangan-jangan baru sebentar kalian menikmati madu pernikahan, dia sudah repot mengurus kamu yang sakit-sakitan. Kamu beranjak ke kepala lima. Anakmu memang masih kecil-kecil, itu juga karena kamu dan almarhum suamimu sengaja mengatur jarak kelahiran. Nara dan Dara memang sudah besar, tapi Satya membutuhkan banyak perhatian. Kalau ibunya menikah lagi, sanggup tidak si ibu mengurus putranya? Bisa jadi Satya iri pada Jo."
            Ibu bicara panjang lebar tanpa memberiku kesempatan mengajukan pembelaan. Tapi semua yang dikatakan ibu benar. Dan sayangnya, karena tahu pasti kebenaran ucapan ibu, aku semakin terintimidasi. Benarkah langkah yang telah kutempuh? Tepatkah aku merencanakan pernikahan dengan Jo? Kuatkah dia bertahan sebab terus diremehkan keluargaku dan terancam beban tanggung jawab atas aku dengan anak-anak? Semua pertanyaan yang terkumpul di kepala semakin menyesaki, minta dikeluarkan. Setelah ibu diam, aku pamit ke kamar. Segera kuhubungi ponsel Jo. Diam. Tidak ada jawaban. Hal itu membuatku risau. Tak henti-hentinya aku menghubungi. Hingga kesekian kalinya, Jo menjawab. "Hei, ada apa? Kamu kangen? Tadi aku sedang menyetir. Perlu aku putar balik, kembali ke rumahmu? Kita makan di luar bersama anak-anak. Nara tadi mengirim sms, katanya dia ingin kutemani nonton bioskop. Ada film keren. Pasti Dara dan Satya juga suka!"
"Siapa suruh putar balik?"
"Lho, kok kamu galak?"
"Ada hal penting yang harus kita bicarakan!"
"Tentang apa? Bisa tunda dulu? Kita bicarakan besok. Aku tidak suka membahas hal penting di telpon. Tatap muka lebih enak."
"Tidak bisa ditunda, Jo!"
"Oke, oke. Lalu kapan kita bertemu?"
"Sekarang! Tapi jangan jemput aku! Biar aku berangkat sendiri. Ke kafe belakang kantorku."
            Tanpa polesan riasan dan tatanan rambut spesial, aku bergegas mengendarai mobil. Bulik Rika nampaknya memanggil tapi aku mengacuhkannya. Biarlah. Masalah ini harus selesai. Kenyataannya, Jo belum melamarku. Rencana pernikahan memang telah kami bahas beberapa minggu ini, sebatas rencana. Belum realisasi yang jelas. Kami hanya sibuk berandai-andai bila kami nantinya menikah. Meski menghindari usia 50 tahun untuk menikah, tetap saja aku menjalani hubungan kami dengan santai. Aku tidak mau menekan Jo cepat-cepat menikahiku. Dia tengah asyik mengejar karir dan kebetulan akan segera dipromosikan. Pernikahan bisa membuat konsentrasinya buyar.
            "Kamu kenapa?" tanya Jo sambil meremas jari-jariku. "Aku disidang ibu, ditanya kapan dinikahi kamu," sahutku tanpa pikir panjang. Jo bengong. Mungkin ia tidak mengira akan ditodong segera menikahiku. "Kemarin-kemarin kamu minta santai saja, toh kamu belum ulang tahun yang kelima puluh?"
"Itu kemarin, hari ini beda!"
"Jadi, mau nikah?"
"Kok pertanyaanmu begitu? Buat apa pacaran empat tahun kalau tidak nikah?"
"Mungkin saja kan, kamu cuma mau mengisi waktu meladeni brondong."
            Hening. Tebakan Jo tepat mengenai sasaran. Entah apa yang membisikinya tentang rahasiaku di awal kedekatan kami. "Kamu mau menikahi perempuan yang menginjak kepala lima, beranak tiga, terancam menopause, dan keriput ini?" Mataku mendelik. Mata Jo membulat. Kedua alisnya yang lebat bertemu. "Kamu belum menopause? Kukira sudah." Sialan. Kenapa dia tidak terkejut dengan isu menopause yang kutiupkan? "Kalau aku menopause, aku tidak punya kesempatan memberimu anak."
"Aku pasti gila memaksamu hamil dan melahirkan di usia yang rentan. Di atas 40 tahun bukan usia yang cocok bagi seorang perempuan untuk memiliki keturunan. Itu sudah kupikirkan sejak awal kita pacaran."
"Lalu, soal keriput? Tidak malu kalau kolegamu datang ke pernikahan kita dan menyaksikan istrimu yang penuh keriput?"
            Jo melepaskan genggamannya. Aku terhenyak dalam perasaan merana. Apa dia tidak sanggup menerima kenyataan bahwa aku keriput? Aku tidak pandai menjaga kulitku terhindar dari keriput. Lagi pula aku menghindari botox atau sejenisnya karena aku mensyukuri tampilan alami sesuai usiaku. Jo terdiam  cukup lama sebelum memandangku lagi dengan wajah serius dan kilatan di mata yang menurutku berbinar-binar. "Menurutku, kau cantik."
"Tapi aku keriput!"
            "Justru keriput itu yang membuatmu menjadi semakin cantik. Kecantikanmu manusiawi, kamu tidak menutupi fakta tentang usia. Kebanyakan perempuan seusiaku memulai fase depresi mereka, membayangkan keriput-keriput yang akan timbul. Mereka tidak segan merogoh kocek dalam-dalam demi tampilan muda dan segar di usia tiga puluhan. Bukankah itu penipuan? Aku merasa takut jika menikahi salah satu dari mereka lalu aku semakin tua dan tahun-tahun mendatang istriku tetap berkulit licin. Aku tidak mau menikahi porselen atau makhluk abadi seperti elf dalam novel J.R.R. Tolkien. Aku lebih suka manusia yang menerima dengan berjalan waktu, elastisitas kulitnya menurun dan gelambir-gelambirnya bermunculan. Kamu tetaplah kamu yang kucinta walau kamu semakin keriput dan aku belum sekeriput kamu," Jo mencium tanganku.
            Ia mengeluarkan sebuah kotak. Mataku berbinar-binar.            

2 Komentar

  1. cerita yang sangat menyentuh dan menggetarkan hati saya. tapi sayangnya cowok sempurna seperti Jo hanya ada dalam fiksi.

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama