Pengalaman Paid Promote yang Berhasil


Saya sudah berjanji akan menuliskan postingan lengkap mengenai topik ini sekitar bulan lalu. Sayangnya, kesibukan membuat saya sulit untuk mecari waktu menuntaskan janji tersebut. Ini adalah tahun kedua saya bekerja sejak lulus dari pascasarjana. Bisa dibilang, ini salah satu masa-masa tersibuk saya saat ini. Oke, mari kita mulai ceritanya.


Pengalaman saya bekerja di media sosial belum banyak. Saya sudah beralih banyak profesi selama dua tahun belakangan dan di bidang media sosial adalah salah satunya. Pertama, saya menjadi joki social media handler dari seorang teman. Dia memiliki beberapa pekerjaan saat itu dan harus keluar negeri. Saya menggantikan dia diam-diam. Perusahaan tempatnya bekerja tidak tahu kalau saya yang mengambil alih perannya di balik layar. 

Saat itu, dia menitipkan laptopnya di rumah saya. Jadi saya bisa berkomunikasi dengan timnya menggunakan emailnya. Media sosialnya pun begitu, saya yang pegang. Itu pertama kalinya saya tahu bidang media sosial. Selain mengerjakan caption, saya juga harus memberikan sketsa awal yang akan dipost di media sosial. Desainernya tentu bukan saya.

Karena pengalaman itu, saya diminta bos (di media tempat saya menulis, kalian tahu lah) untuk mengelola media sosial sebuah LSM. Itu pertama kalinya saya rangkap pekerjaan. Mengurus Twitter, Facebook, Instagram, Kaskus, sampai membalas pesan para peserta di dalam chat room webinar. Saya juga menjadi kol management dengan menghubungi para influencer, menanyakan rate card, mengajak kerja sama, hingga menghubungi akun-akun untuk paid promote.

Saat itu saya bekerja sama dengan sebuah akun shitposting alias akun meme. Kenapa? Karena targettingnya sesuai. Saya jelaskan dulu ya bedanya segmentasi dengan targetting.

Segmentasi adalah kolam besarnya. Kalau saya menyebut segmentasi, maka yang saya maksud bukan seluruh rakyat Indonesia. Namun, segmentasi saya adalah kelompok anak perempuan yang tinggal di kota besar. Targetting artinya kolam yang lebih sempit lagi dan jauh lebih spesifik. Mulai dari range umur, pendidikan, tingkat ekonomi, kota domisili, pandangan politiknya, agamanya, sampai kebiasaannya mengonsumsi konten di media sosial. 

 

Kok spesifik sekali? Ya memang harus begitu. Anda hanya akan rugi bila melempar jaring dengan menargetkan seluruh Samudera Hindia. Terlalu luas dan terlalu banyak ikannya. Anda malah hanya akan mendapat sampah. Lebih baik fokus pada ceruk-ceruk kecil yang benar-benar Anda kenali sehingga ketika pasang target pun dapat dicapai.

Sebagai informasi, saya tidak memiliki dasar keilmuan manajemen atau brand. Ini murni saya pelajari karena kebutuhan pekerjaan.



Selanjutnya, saya memasang konten paid promote di akun tersebut. Kurang berhasil. Analisisnya mudah saja:

1. Ini akun LSM. Jelas, materinya dianggap berat. Tidak semua orang mau follow akun-akun serius di media sosial.

2. Ini akun baru. Trust belum terbangun. Mereka lebih percaya akun Indonesia Feminis atau Lawan Patriarki.

Mohon diketahui bahwa follower dari akun shitposting tersebut memiliki idealisme yang sesuai dengan target yang saya tuju. Sebab akun shitposting tersebut juga beberapa kali posting konten idealis (beberapa orang menyebutnya SJW). Saya pribadi tidak keberatan dengan label SJW dan malah berasa senang dijuluki demikian, ehehehe

Alasan saya tidak memilih akun shitposting dengan follower yang jumlahnya lebih besar:

1. Akun saya adalah akun women empowerment. Saya tidak mau paid promote di akun shitposting sebelah yang mengiklankan pembesar payudara dan pemutih selangkangan. Itu bertentangan dengan idealisme akun yang saya kelola.

Ini yang harus Anda pahami ketika melakukan paid promote, endorse, kemitraan berbayar, atau bahkan memilih brand ambassador di media sosial. Pastikan pandangan politiknya sama. Konyol sekali bila Anda bekerja sama dengan akun yang bertolak belakang. Saya beberapa kali melihat Keanu mendapat endorse maupun paid promote gamis. Ini jelas salah target. 

2. Tujuan saya adalah membangun kesadaran merek. Memperkenalkan merek. Tidak ada jaminan akun yang lebih besar akan membuat publik lebih sadar. Masalahnya, belum tentu akun tersebut memiliki loyalitas yang besar dari followernya. 

3. Paid promote, endorse, kemitraan berbayar, maupun brand ambassador bukan sulap. Membangun kesadaran merek tidak semudah memasak Indomie. Turunkan ekspektasi Anda dan jangan berpikir bahwa satu kali paid promote akan langsung berhasil, apalagi selamanya. Orang harus kenal dulu.



Akhir tahun 2020 saya mencoba paid promote di akun yang sama. 

Bukan untuk akun klien melainkan akun jualan saya sendiri. Berhasil!! Modal yang saya keluarkan untuk paid promote langsung terbayar dengan orderan yang masuk. Follower juga bertambah. Saya mencoba menganalisis keberhasilan paid promote tersebut:

1. Targetting tepat.

2. Konten paid promote menarik berupa video dengan musik dan editing yang kece.

3. Akun tersebut bukan tipe spam. Pernah kan lihat akun Instagram yang memposting story sampai titik-titik? Dan konten endorse atau pun paid promote dipost tanpa jeda bahkan sampai 10 buah? Tentu hal itu memuakkan bagi follower. Mereka akan memilih untuk skip tanpa melihat dulu.Sebaliknya akun ini mempost dengan selang seling. 1 post paid promote. beberapa post meme, baru konten paid promote lainnya.

4. Umur akun saya sudah hampir enam bulan jadi orang cukup percaya.

5. Minimal enam konten terakhir di akun saya meyakinkan. Highlight juga. Ini penting karena calon follower baru akan mampir untuk melihat-lihat akun kita dan menilai apakah akun tersebut layak difollow atau tidak.

Bukankah follow belum tentu beli? Betul! Saya juga banyak kok follow terutama akun yang menjual barang-barang premium dan belum terbeli dengan kocek saat ini Tak masalah. Biarkan mereka follow tanpa beli karena ada kemungkinan suatu saat mereka beli. Lagi pula, mereka bisa saja merekomendasikan akun kita pada orang lain.

Saya akan menjelaskan pula bagaimana cara memilih akun yang tepat. Selain segmentasinya harus sesuai, pilihlah akun yang profesional. Mereka tidak sekadar forward daftar harga di WA. Seharusnya ada rate card yang didesain dengan baik dan memberikan informasi sejelas-jelasnya. Seperti apa saja benefit yang akan didapat, berapa follower mereka, segmentasinya seperti apa, konten yang dianjurkan dan paling tinggi tingkat keberhasilannya yang mana, dan lain-lain.

Seharusnya pemilik akun tidak sekadar screen shoot mengenai jumlah like dan comment di akun mereka. Mereka juga harus memahami jenis kelamin follower, domisili, jam-jam aktif, hingga konten yang paling disukai followernya. Pemilik akun tidak sekadar hanya ingin uang dari kita yang akan membayar mereka untuk paid promote.

Perlu dipahami juga bahwa harga endorse dan paid promote tidak bergantung pada jumlah follower. Ada kok akun dengan follower hanya 50 ribu tapi mengenakan biaya videonya sampai 10 juta. Kenapa bisa begitu? Karena brandingnya. Ia adalah "akun mahal" karena itu hanya brand-brand premium yang menggunakan jasanya. Jangan menggunakan akun dengan "brand murah" untuk diajak kerja sama bila yang Anda jual adalah produk premium. Itu kesalahan yang fatal. Anda tidak mendapatkan apa-apa dari sana.

Sebaliknya, jangan mudah tergiur dengan akun-akun paid promote murah karena belum tentu berhasil dan belum tentu bisa diukur keberhasilannya. Apakah kita bisa minta post di jam tertentu? Apakah kita bisa minta revisi konten? Belum tentu. Jadi, jangan asal paid promote.

Selain segmentasi dan targetting, ada yang disebut sebagai positioning
:


Positioning adalah penempatan merek di dalam benak pelanggan. Caranya? Menurut saya, paling mudah adalah dengan memelajari kompetitor. Saya tahu ada banyak orang yang bekerja di bidang yang sama dengan saya. Jasa saya tidak unik, bukan satu-satunya, dan belum memiliki pelanggan loyal. Follower akun saya juga masih kecil. Jadi saya memelajari:

1. Apakah desain postingan di akun lain menarik? Kalau bisa, saya buat lebih menarik.

2. Mereka tidak mau pampang harga? Maka saya harus pampang harga. Perlu Anda ingat, tidak mau meletakkan harga di caption itu menyusahkan calon pembeli. Tidak semua mau sms atau dm. Banyak yang masih merasa malu hanya tanya-tanya tapi tidak jadi beli. Strategi ini yang paling berhasil menurut saya dibanding kompetitor yang rata-rata tidak pasang harga.

3. Kualitas bagus. Ah, ini sih resep pasti dari semua pedagang. Apa pun yang Anda jual baik itu barang atau jasa HARUS BENAR-BENAR BAGUS. Jangan coba-coba berpikir strategi yang bagus bisa menutupi produk atau jasa yang buruk. Akan tetap ada yang membicarakan bisnis Anda di belakang karena sebenarnya kualitas produk atau jasa Anda tidak benar-benar bagus. 

4. Namun, jangan pernah mengatakan bahwa kualitas Anda yang terbaik. Kalau kata anak zaman sekarang, di atas langit masih ada Hotman Paris. Yang lebih baik di luar sana dan tidak Anda ketahui pasti ada. Berusaha terbaik saja menurut versi Anda. Klaim berlebihan justru akan dibenci pembeli yang pintar.

5. Jujur. Ada banyak manusia tidak jujur di dunia ini, Anda jangan menjadi salah satunya. Katakan sanggup atau tidak untuk memenuhi orderan. Kalau tidak, tawarkan kompetitor. Tidak perlu takut kehilangan rezeki. Saya juga berani mengembalikan uang ketika pembeli tidak puas.  Saya lebih baik rugi uang dibanding rugi penilaian. 

6. Tidak ada jam kerja. Ini memang merugikan, tapi saya, adik, dan pacar memang terbiasa tidur di waktu larut. Kami tahu banyak pelanggan terbiasa menghubungi di malam hari. Kalau membatasi jam kerja maka akan menyulitkan kami sendiri. Anda tidak harus seperti kami. Sesuaikan saja dengan usaha Anda sendiri.

7. Bagi beberapa brand, penting untuk muncul di semua medium komunikasi yang bisa dicoba. Saya pribadi memilih tidak melakukannya. Pertama, karakteristik audiens dari tiap media sosial berbeda. Kedua, karena perbedaan itulah akan membuat tenaga saya termakan untuk menyiapkan konten bagi tiap akun satu per satu. 

8. Mencoba memahami karakteristik tiap pelanggan. Jangan pernah berpikir bahwa semua orang yang Anda ajak bicara sama pintarnya. Ada orang yang tidak mampu menjelaskan maksudnya, ada pula yang tidak sabaran dan bicara kurang enak. Anda mungkin bukan pekerja kantoran dan tidak memiliki bos. Namun, pelanggan Anda adalah bosnya. Dari mereka Anda mendapatkan uang. Karena itu Anda harus mampu melayani dengan profesional.

9. Membatasi diri. Saya menyadari bahwa kadang saya merasa ragu untuk menolak karena takut kekurangan pemasukan. Namun, saya menyadari bahwa saya memiliki keterbatasan dalam menerima orderan. Bukan karena hal itu sulit dikerjakan, tapi karena saya akan kelelahan. 

Dari 9 poin tersebut, saya mencoba menciptakan strategi terutama dalam hal membalas pesan pelanggan, membuat konten di media sosial, hingga bernegosiasi soal harga. Tentu, akan ada yang mengeluh harga yang saya tawarkan mahal (walau sebenarnya itu harga pasarannya). Mudahnya adalah mengedukasi. Sebutkan bahwa harga pasarannya memang begitu. Kalau perlu bandingkan dengan kompetitor yang mematok harga lebih mahal. Tetap sabar dan tidak terpancing emosi walau pelanggan mulai melucu.

Sepertinya itu adalah segala hal yang bisa saya beritahukan kepada Anda. Semoga postingan ini bermanfaat.
Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama