Oppenheimer: Ketika Seorang Ilmuwan Ingin Membuktikan Teorinya

Oppenheimer (Sumber: Movfreak)


Sejak kecil, saya selalu dicekoki film perang. Contohnya adalah Tears of the Sun, Black Hawk Down, dan Blood Diamond. Kemudian saya jatuh cinta dengan film fiksi ilmiah. Inception adalah salah satu jagoan saya sepanjang masa.

Ternyata, beberapa film favorit saya adalah buatan Christopher Nolan. Ditambah lagi, saya suka dengan gaya penulisan skenario film ala Nolan.

Sebagai catatan, saya juga seringkali menulis dengan cara yang sama. Plot maju mundur dengan twist atau cliffhanger. Sebagai seorang penulis, saya sangat menghormati kemampuan Nolan yang satu ini.

Salah satu alasan saya kebelet nonton Oppenheimer adalah deretan aktor dan aktrisnya. Saya sejak lama menyukai akting Emily Blunt dan Rami Malek. Apalagi ada Cillian Murphy. Wow! Deretan pemain Oppenheimer sungguh menjanjikan. Itulah mengapa saya memutuskan untuk nonton di hari pertama rilis. Barbie dulu, Oppenheimer kemudian.

Baca juga: Barbie: Ketika Mattel Berambisi Menjadi IP Company Lewat Mainan

Sebagai sebuah film biografi sejarah, tentu saja saya sudah memprediksi film ini akan “berat”. Namun, saya tidak menyangka bahwa hal yang ditonjolkan dalam film ini bukanlah peperangannya. Melainkan pergulatan batin seorang Oppenheimer, salah satu ilmuwan paling berpengaruh sepanjang masa.

Julius Robert Oppenheimer adalah keturunan Yahudi. Sebagai seorang akademisi, ia memiliki kelemahan dari sisi praktik. Ia lebih menguasai teori. Inilah yang membuatnya menjadi bulan-bulanan di kelas. Pada bagian awal film, nampak gambaran Oppenheimer yang depresi.

Ia merasa tak berdaya dengan studinya. Oppenheimer mencintai mekanika kuantum dan kembali ke Amerika, tempat di mana justru fokus studinya kurang diterima. Namun, Oppenheimer bersikeras membawa mekanika kuantum ke Amerika. 

Oppenheimer bukanlah seseorang yang senang terkurung dengan dogma tertentu. Ia memang berkencan dengan Jean Tatlock (Florence Pugh), seorang komunis. Namun ia tak mau disebut memiliki pemikiran komunisme. Kecenderungan Oppenheimer untuk berada di tengah-tengah juga akan terus terlihat di sepanjang film. Ia selalu berusaha tak memihak ke kanan maupun ke kiri.

Kita akan melihat banyak sisi dari seorang Oppenheimer dalam film ini. Ia adalah seorang ilmuwan yang cerdas dan percaya diri. Kepercayaan diri ini terlihat ketika ia mengatakan pada Lewis Strauss (Robert Downey Junior) bahwa masa kejayaan Einstein (Tom Conti) sudah berakhir. Di sisi lain, ia tetap menghormati Einstein meski sering berbeda pendapat secara keilmuan.

Di sisi lain, ia menyadari kelemahannya dalam matematika dan praktik fisika. Ia juga terlihat sangat manusiawi ketika merasa putus asa dengan kondisi rumah tangganya. Kitty (Emily Blunt) mengalami baby blues sehingga Oppenheimer menitipkan putranya pada orang lain.

Anehnya, meski tak terlihat demikian, Oppenheimer adalah seorang womanizer. Walau terlihat agak kaku dan nyentrik seperti kebanyakan ilmuwan, ia justru jago menggombali perempuan. Oppenheimer dua kali memacari istri temannya sendiri. Meski telah menikahi Kitty, ia juga masih berhubungan dengan Jean.

Sumber: TIX ID

Satu hal yang sangat saya sukai dari film ini adalah Oppenheimer yang digambarkan sebagai manusia biasa. Saya bisa melihat berbagai sisi seorang Oppenheimer dalam film ini. Termasuk, ketika ia merasa galau dengan proses pembuatan bom atom tersebut.

Di satu sisi, ia menyadari bahwa ia akan memiliki andil terhadap kehancuran dunia. Jika Amerika benar-benar menggunakan bom atom untuk menghancurkan musuhnya, ini akan menjadi reaksi berantai. Negara-negara lain akan mulai memproduksi bom atom. Umat manusia akan hancur jika peperangan menggunakan bom atom.

Di sisi lain, sebagai ilmuwan, Oppenheimer memiliki rasa dahaga yang luar biasa untuk membuktikan teorinya. Dalam hal ini, saya dapat berempati. Sebagai ilmuwan, tentu saja Anda sangat ingin melihat karya Anda menjadi nyata.

Harus saya akui, menonton film ini membuat saya ingin kuliah S3. Saya jadi rindu melakukan penelitian dan sibuk berkutat dengan buku-buku.

Tentu saja ada beberapa dialog menggelitik dari film ini. Pertama, bagaimana pemerintah Amerika memutuskan bagian Jepang mana yang dibom. Mereka memilih tidak mengebom Kyoto karena dampaknya yang signifikan terhadap kebudayaan.

Alasan lain adalah karena Kyoto adalah tempat bulan madu yang indah. Saya rasa dialog ini sangat mungkin membuat sebagian orang Jepang ngamuk. Mereka memilih Hiroshima dan Nagasaki dengan mengecilkan nyawa 100.000 orang yang menjadi korban. Sangat jahat.

Saya merinding ketika bom itu dilepaskan dan orang-orang Amerika bersorak-sorai. Di sini, Nolan menunjukkan keajaiban skenarionya. Cillian Murphy juga berperan besar dalam menunjukkan kemampuan aktingnya yang magis.

Saya bisa melihat bagaimana Oppenheimer merasakan beban moral yang luar biasa. Rasa bersalahnya sangat besar. Suara hentakan kaki pada scene ini akan membuat Anda terhenyak dan merasakan sendiri gejolak di jiwa Oppenheimer. 

Banyak orang membicarakan keterkejutan mereka terhadap adegan ranjang Oppenheimer dan Jean. Bagi saya, ketika Oppenheimer jatuh ke dalam depresi dan merasa seperti diledakkan bom jauh lebih luar biasa. Apalagi ketika ia difitnah dan harus diinterogasi. Ia terus menerus membayangkan ledakan tersebut. Sangat epik.

Akting RDJ juga patut diacungi jempol. Sebagai tokoh antagonisnya, ia terlihat sangat-sangat brengsek. Rasa mindernya yang kelewatan membuatnya selalu berpikir bahwa Oppenheimer adalah orang jahatnya. Sangat menyegarkan melihat RDJ mengambil peran yang berbeda dibanding karakter Stark yang melekat pada dirinya.

Tentu saja, saya juga harus memberi applause terhadap Kitty. Terlepas dari saya mengacungi jempol terhadap dinamika hubungan Kitty dan Oppenheimer yang rumit. Kitty juga mampu menggambarkan dengan baik rasa benci dan marahnya pada rekan Oppenheimer. Termasuk pergolakan batinnya ketika mengalami baby blues. Top notch!

Baik Cillian maupun Blunt memiliki taraf akting yang sama. Perhatikan pada scene-scene ketika mereka bertambah tua. Keduanya mampu mengubah suara sehingga benar-benar terdengar semakin tua. Keren sekali. 

Bagi Anda yang kurang memahami fisika dan sejarah, film ini akan membuat Anda lelah. Namun, Anda takkan rugi menontonnya. Oppenheimer adalah sebuah mahakarya!


1 Komentar

  1. Wah, menarik. Terima kasih reviewnya, kebetulan aku berencana nonton minggu ini :)

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama