Kemarin, sepulang sekolah, Mas Wahyu mengajak Olivia ke
pasar malam. Ini pertanda apa? Rasanya sungguh cepat. Baru saling mengenal tpai
Mas Wahyu sudah mengajaknya jalan-jalan. Malam minggu pula. Mungkin Olivia
terlalu percaya diri dengan mengira Mas Wahyu menaruh rasa yang sama. Tapi
boleh kan? Tidak ada salahnya kan? Toh Mas Wahyu memang bersikap amat manis.
Ya, sedikit terlalu manis. Tak masalah. Olivia menyukainya. Segala hal kecil
yang dilakukan Mas Wahyu. Mulai dari memboncengnya setiap berangkat dan pulang
sekolah. Sampai menemaninya mengerjakan tugas di perpustakaan. Semua dilakukan
Mas Wahyu dengan inisiatif dan senyuman. Ah, siapa perempuan yang tak senang?
"Eyang, Olivia nanti malam pergi ke pasar malam,
boleh ya?" Eyang mendongak. Melalui kaca mata bacanya, eyang mencoba
membaca raut muka Olivia. "Sama siapa?" Eh, duh, Olivia harus bilang
apa? Jujur saja? Takut sekali dia kalau eyang melarangnya. Maklum, sejak awal
sekolah di sini, di Jawa, eyang melarang Olivia pacaran. "Kamu masih
kecil. Belum saatnya memikirkan anak lelaki. Anak lelaki itu tak perlu dicari,
nanti datang sendiri. Kamu cuma perlu konsentrasi sekolah. Kalau memikirkan
yang lain, bisa-bisa sekolahmu terlupakan." Olivia hanya meremas-remas
ujung bajunya, tak berani menjawab.
"Heh, ditanya kok diam?" tanya eyang lagi.
Olivia menggigit bibir. Kalau jujur, eyang bisa marah. Akan sangat disayangkan
kalau nanti malam Olivia gagal pergi dengan Mas Wahyu. Ya sudahlah, bohong
saja! "Sama teman-teman eyang. Perempuan semua. Anita, Rahayu, dan Ajeng.
Aku dijemput Anita di gang depan. Dia bawa sepeda." Eyang hanya mengangguk
kemudian melanjutkan membaca koran. Olivia menghela nafas lega. Hampir! Ia buru-buru
ke kamar. Berpikir pakaian apa yang akan dikenakan. Ia harus tampil cantik dan
spesial!
Olivia tersenyum-senyum sendiri mengingat apa yang
dilakukannya tadi. Setelah lama bergonta-ganti baju, ia memutuskan tampil
sederhana. Tampil mencolok tidak akan disenangi Mas Wahyu. Dia diajak ke pasar
malam, bukan mall. Baju-baju bagusnya tak cocok. Di atas boncengan sepeda,
Olivia meringkuk dalam jaket yang dipinjamkan Mas Wahyu. Kebetulan yang lucu,
ia dan Mas Wahyu sama-sama memakai kaus biru dan celana jins hitam.
"Ayo turun," ajak Mas Wahyu. Olivia mengikuti. Suasana
pasar malam sangat ramai. Ada bianglala, penjual permen kapas, penjual bakso,
penjual bubur kacang ijo, sampai penjual baju batik. Bunyi musik dangdut dan
musik barat saling menimpali. Terlihat pula syal-syal klab sepak bola lokal.
Pandangan mata Olivia dimanjakan oleh pemandangan yang tergolong baru baginya.
Biasanya Olivia dan mama papa menghabiskan malam minggu di rumah, menonton film
dvd sewaan atau makan malam di restoran. Tiba-tiba Olivia teringat kedua
orangtuanya. Rasa rindu menjalar cepat. Namun ia tak boleh terlihat sedih. Ada
Mas Wahyu di sampingnya. Tak mungkin ia merusak malam minggunya.
"Di sini, kamu tinggal dengan siapa?" Mas Wahyu
membuka percakapan. "Eyangku. Eyang itu ibunya mama. Mama ingin aku
merawat eyang karena beliau sudah tua. Mama kasihan dengan eyang yang tinggal
sendirian. Dulu mama dan saudara-saudaranya sudah membujuk eyangh supaya pindah.
Jangan tinggal sendiri. Lebih baik ikut salah satu anaknya. Tapi eyang selalu
menolak. Katanya tidak mau merepotkan siapa-siapa. Eyang lebih suka di sini, di
kota kelahirannya. Meski kita kecil, yang penting ia tidak jauh dari pusara
eyang kakung. Sampai ahri ini, eyang masih menyempatkan diri ke makan eyang
kakung."
"Kamu suka tinggal di sini?" Mendadak, Olivia
diam. Entah apa yang harus ia katakan. Sebetulnya, sejak awal kemari, Olivia
dilanda gundah. Ia tak pernah minta dipindahkan ke sini. Tempat ini terlalu jauh
dari kedua orang tuanya. Meski alasan mama cukup masuk akal, agar ia menemani
eyang di masa tuanya. Tapi, apa enaknya? Mengurus orang tua. Kalau sudah lelah
membaca koran, eyang bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Menceritakan kisah
hidupnya yang itu-itu saja. Mengulangi setiap hari. Seakan telah menjadi
rutinitasnya. Padahal Olivia bosan. Olivia tahu, begitulah kelemahan kaum
lansia. Suka mengulang kisah. Sekedar membunuh waktu dan mengusir rasa sepi.
Hanya, Olivia tidak cukup sabar meladeni eyang.
"Suka tidak suka sih…" Giliran Mas Wahyu yang
diam. Olivia tak dapat memahami ekspresi itu. Ekpresi kosong. Mungkin Mas wahyu
tidak suka ucapannya. Mungkin Mas Wahyu kecewa. "Maksudku," potong
Olivia. Walau wajah Mas Wahyu tak berubah, ia yakin ia didengar. "Aku
suka. Aku bisa lebih dekat dengan eyang. Tapi yang aku tidak suka karena aku
merasa terasing. Aku orang baru. Orang dari jauh. Jangankan beradaptasi dan
mencari teman akrab, bahasanya juga masih sulit kutangkap. Aku tidak bisa
bahawa Jawa, mas. Aku tidak biasa makan masakan Jawa. Aku takut dengan
keramahan orang-orang. Takut mereka sadar aku tidak tahu apa-apa lantas aku
dibodohi."
"Kenapa tidak cerita? Ada aku, dik." Ucapan Mas
Wahyu menerbitkan rasa diterima bagi Olivia. Ternyata kejujurannya tidak
membuahkan maaslah. Justru simpati. Dan mungkin, jatuh hati. Ia berharap Mas
Wahyu menyadari betapa ia menyukainya. "Kalau ada kesulitan atau kebutuan,
kamu bilang aku. Jangan ditutupi. Sebisanya, aku bantu. Aku senang bisa
menolong orang. Termasuk kamu." Olivia menutupi wajahnya dengan jaket.
Begini ya rasanya menyukai seseorang? Begini ya senangnya diperhatikan
seseorang? Coba setiap hari.
"Supaya kamu suka makanan Jawa, kamu harus
coba." Mas Wahyu menggandeng tangan Olivia ke sebuah warung yang letaknya
tak jauh dari pasar malam. "Makan yuk. Mas lapar. Kamu lapar?" Olivia
meringis. Biasanya ia makan pecel ayam atau pecel lele. Bukan pecel sayur
mayur. "Ini namanya bunga turi. Mas yakin kalau pecel di kota jarang,
malah tidak ada yang pakai bunga turi. Nah kalo ini…" Mas Wahyu
menjelaskan satu per satu pengisi piring Olivia. Olivia tak keberatan. Selama
Mas Wahyu yang mengajak makan, pasti ia mau! Melihat Mas Wahyu makan dengan
lahap, Olivia ikut menyuap. Ternyata….. rasanya tidak buruk.
"Mas masih lapar. Kita makan yang lain ya?"
Tanpa meminta persetujuan Olivia, Mas Wahyu menggandengnya. "Kita makan
apa lagi mas?"
"Jenang grendul, dik.
Sekalian mas mau bawakan buat ibu sama bapak. Keluarga mas suka sekali sama jenang
grendul."
"Enak ya?"
"Kamu sendiri yang
menilai." Mas Wahyu menyodorkan sesendok. Olivia membuka mulutnya. Sesuatu
yang manis dan lembut meluncur masuk kerongkongan. "Enak mas! Aku juga mau
belikan buat eyang!"
Pulang dari pasar malam, Olivia terlihat sumringah.
"Eyang, sudah makan belum? Olivia bawa jenang grendul lho!"
"Oh jenang grendul. Nah
kebanyakan orang tahunya bubur candil atau bubur kampiun. Mamamu juga jago
bikin ini."
"Kok mama tidak pernah
membuatkan aku jenang grendul, eyang?"
"Mamamu sibuk begitu.
Kalau kamu tinggal sama eyang, kamu boleh minta dimasakkan apa saja. Asal bumbu
dan bahannya mudah didapat, pasti eyang buatkan. Eyang kan pengangguran."
Eyang terkekeh sendiri mendengar kata-katanya.
Telpon berbunyi. Eyang mengangkatnya. Olivia menunggu. Ia
ingin tahu, siapa yang menelpon malam-malam begini. Sudah hampir seminggu mama
dan papa belum menghubunginya. Meski Olivia kesal tapi ia urungkan. Mungkin mama dan papa sibuk. Ayo, berpikir
positif, Olivia. Eyang berbicara singkat dengan seseorang di seberang
telpon lalu mengakhiri percakapan. "Siapa eyang?"
"Mamamu."
"Wah. Kapan mama dan
papa ke sini?"
"Mereka tidak kemari,
Olivia."
"Kenapa eyang tidak
memberikan telponnya padaku? Padahal aku kangen. Aku mau ngobrol sama
mama."
"Jangan ganggu mamamu.
Dia sedang ada masalah. Suasana hatinya buruk."
"Ada apa?"
"Mama dan papamu akan
bercerai."
Olivia mengerjap-ngerjapkan
matanya. Tiba-tiba, persendiannya menjadi lemas. Kecerian yang tadi ia tampilan
di depan Mas Wahyu mendadak lenyap.
Sebelumnya :
Orang mana sih? penasaran nyari" di teks... kikiki...
BalasHapussaya ga nyantumin tapi ada ciri2nya daerah itu dalam cerbung ini hahahaha
Hapus