Mati aku. Olivia menghembuskan nafas keras-keras. Ia
menengok jam tangan. Pukul empat sore. Angkutan umum terakhir yang menuju
dusunnya sudah berangkat sejak pukul tiga. Kini ia tak punya tumpangan untuk
pulang. Tubuhnya sudah kelelahan. Ia berjongkok di trotoar depan sekolah,
menggores sebatang lidi pada tanah yang berpasir. Mengorek-ngorek, membunuh
sepi. Tidak bisa pulang, batinnya kelu. Jarak sekolah dengan dusunnya hampir
sepuluh kilometer. Berupa jalan lurus yang di kanan kirinya adalah hamparan sawah
dan ladang. Sedikit pepohonan untuk menyejukkan kulitnya yang terus berpeluh
akibat ejekan mentari.
Di kota kecil ini, angkutan umum sulit didapat. Selain
angkutan umum, ada kalanya ia naik becak atau mobil bak. Tapi mobil bak cuma
mengangkut pedagang dan dagangannya dari pasar. Dan letak pasar juga tak kalah jauh
dengan sekolahnya. Becak? Ah tak mungkin. Ia tidak punya uang apalagi rasa
kasihan untuk penarik becak yang mengangkutnya sejauh sepuluh kilo. Olivia
ingin menangis. Kalau saja ia tidak tinggal di sini, ia pasti lebih bahagia. Di
kota kecil yang tak ada bioskop atau Gramedia, apalah gunanya tabungan sisa
uang jajan.
Matanya menerawang melihat aspal yang berkilat karena
panas. Sekolah telah usai sejak pukul dua. Namun sesuatu menghentikannya agar
tak pulang. Membuatnya terpaku selama dua jam dan menikmati apa saja di depan
matanya. Memperhatikan seseorang. Ya, seseorang. Lelaki yang berambut kusut dan
bersepatu kumal. Berkulit gelap akibat terbakar matahari. Tubuhnya tinggi
dengan hidung mancung dan gigi taring yang menyembul di antara seringainya.
Namun, bagi Olivia, ada sebuah keindahan dari sosok itu. Keindahan yang
membikinnya menolak cepat pulang dan memakunya di tempat. Keindahan itu mewujud
sosok anak lelaki yang merupakan kakak kelasnya.
Sial. Memelototinya selama dua jam tidak membuatnya
tergerak menghampiriku. Justru aku dibuatnya benar-benar tak bisa pulang,
gerutu Olivia. Rambutnya yang dikuncir dua berkibar ditiup angin kering.
Temggorokannya tak kalah gersang. Tapi uang sakunya hanya cukup untuk ongkos
pulang. Mana tahu tiba-tiba ada angkutan umum yang berhenti di depannya dan
sanggup mengantarnya sampai dusun. Matanya tertumbuk pada sesuatu. Olivia jatuh iri. Dari kejauhan, ia melihat
Monika dan Bambang tengah berboncengan sepeda onthel. Kedua pasangan itu memadu
kasih dalam kesederhanaan. Kalau aku punya pacar, walau ia bersepeda onthel,
aku akan sangat bersyukur. Hanya sepeda, bukan motor, tak apa. Asal bisa
membuatku pulang. Olivia terus mengeluh. Ia tak cukup berani berjalan pulang
seorang diri. Ia memikirkan hal yang bukan-bukan. Mungkin penculik yang
tiba-tiba muncul dari tengah-tengah ladang. Atau maling yang mencuri tas dan
dompetnya di tengah jalan.
"Olivia!" Seseorang memanggilnya. Olivia
menoleh. Ia tertegun. Dia tahu namaku, batinnya. Orang itu melambaikan tangan.
Olivia masih diam, tak mempercayai penglihatannya. "Kenapa diam saja?
Kemari, mau pulang kan?" Orang itu tersenyum menggoda dari atas sepeda
onthelnya. Olivia tak henti mengucap syukur dalam hati. Entah itu
keberuntungannya, entah itu kekuatan cintanya, entah apa pun namanya. Orang
yang ia gilai setengah mati justru menawari untuk mengantarnya pulang. Meski
dengan sepeda. Bukan mobil ber-ac yang sanggup mendinginkan tubuhnya. Olivia
tak menolak. "Mas, kuat bawa aku? Rumahku jauh lho!" Olivia
menghampiri Mas Wahyu dengan senyum yang kelewat ceria.
Olivia duduk dengan manis di boncengan. "Siap?"
tanya Mas Wahyu. Olivia mengangguk dengan ekspresi sumringah. Mas Wahyu
mengayuh sekuat tenaga. Angin menderu-deru di belakang telinga. Ya, Olivia
menikmati sore itu. Ia bahagia. Terlalu bahagia. Mana bisa lebih senang dari
kesempatan kali ini? Mas Wahyu yang selama ini ia perhatikan dari jauh
tiba-tiba mengajaknya pulang. Kamu penyelamat, mas, bisik Olivia dalam hati. Ia
bersenandung pelan. Diam-diam ia berdoa. Tuhan, kalau bisa berbaik hatilah
padaku. Jadikan lelaki yang memboncengku sebagai kekasihku. Janji Tuhan, aku
akan setia. Boleh kan, Tuhan? Beri aku kesempatan memilikinya. Olivia terkikik.
Entah kekonyolan apa yang merasuki pikirannya sehingga merayu Tuhan
mengizinkannya pacaran dengan Mas Wahyu.
"Kenapa kamu belum pulang? Cuma anak kelas tiga yang
pulang sore. Kamu kan baru kelas satu," ujar Mas Wahyu. Hati Olivia
kebat-kebit. Alasan apa yang akan ia lontarkan? Masak ia bilang menunggui Mas
Wahyu. Rasanya pasti tidak lucu. Ada kemungkinan ia habis ditertawakan. Lagi pula
siapa dia sampai berani mengatakan kalau menunggu Mas Wahyu pulang? Dia bukan
siapa-siapa. Teman akrab saja tidak.
"Kok diam?" tanya Mas Wahyu lagi. Olivia mulai berpikir, apa alasan masuk akal yang bisa diterima. Dia anak kelas satu. Dan
sialnya, semua anak kelas satu sudah pulang. Kelas-kelas anak kelas satu sudah
kosong. Alasan mengerjakan tugas kelompok dirasa mengada-ada. Mas Wahyu tentu
sadar itu bohong belaka. Akhirnya Olivia memutuskan untuk jujur. "Aku mau
lihat Mas Wahyu pulang." Ciiiiit. Sepeda direm tiba-tiba. Refleks, Olivia
meloncat turun dari boncengan. "Menunngu aku, dik? Buat?" Mas Wahyu
menatap Olivia. Keheranan bercampur senang terbit di matanya. Olivia salah
tingkah. Orang ini sudah kubuat terlalu percaya diri, pikirnya.
"Sebetulnya aku mau tanya, mas tahu cara daftar klab bahasa Jepang?
Soalnya aku suka bahasa. Setahuku, mas jurusan bahasa." Beruntung, Olivia
berhasil menemukan kata-kata yang tepat demi menyembunyikan rasa malunya.
"Oooh itu. Besok kamu tunggu mas pulang lagi, ya?
Besok anak klab bahasa Jepang kumpul di depan laboratorium bahasa. Kamu bisa
kenalan dan daftar. Eh, kamu nanti kelas dua mau masuk jurusan bahasa? Wah,
nanti kamu tidak usah beli buku. Pakai bekas mas saja." Olivia hampir menjerit
dalam hati. Tidak! Mas Wahyu baik sekali! Ternyata mulus juga jalannya
mendekati si mas hitam manis ini. Olivia hanya membalas dengan senyuman. Siapa
yang tahu di balik senyuman itu Olivia begitu riang hatinya. Aku tidak salah
suka kamu, mas. Kamu betul-betul lelaki idaman!
"Tapi, dik, maaf. Kamu lihat ban belakang
sepedaku?" Olivia melirik. Oke, ban sepeda Mas Wahyu kempes. Ada paku
menancap di sana. Kebetulan yang ironis. Sementara jarak dusunya masih jauh.
"Mas, mau antar kau pakai apa? Sepeda mas bocor. Padahal mas juga nanti
pakai sepeda kan, pulang ke rumah?" Mas Wahyu tertawa, "Lho, ini aku
dalam perjalanan pulang, dik. Rumah kita searah. Aku pernah lihat kamu naik
angkutan umum ke arah dusunku. Dusunmu lebih dekat dari dusunku. Dusun kita tetangga.
Tenang, kita cari tempat tambal ban. Tidak masalah kan, jalan kaki
sebentar?" Olivia mengangguk. Justru romantis mas. Aku mau jalan kaki
sambil mendorong sepedamu tiap hari asal kita ngobrol berdua, celetuknya dalam
hati. Aih, romantisme macam ini sungguh diinginkan Olivia.
Sepanjang jalan, mereka bercakap. Membicarakan apa saja.
Tanpa lelah. Tak terasa, ternyata mereka tak menemukan tukang tambal ban.
Tahu-tahu, Olivia telah sampai di gang kecil menuju rumahnya. "Mas,
rumahku di dalam gang ini. Mas mau mampir?" Olivia nekat menawarkan.
Padahal ia tahu benar, eyangnya bisa marah jika ia membawa pulang anak lelaki.
Mas Wahyu menolak dengan sopan. "Sudah terlalu sore, dik. Kapan-kapan ya.
Oh ya, besok mau berangkat bareng? Mas tunggu kamu di sini." Olivia
bersorak untuk kesekian kalinya. Meski sorak itu masih tetap dalam hati. Ia tak
sanggup menahan lebih lama. Kalau sudah masuk kamar, dia akan meloncat-loncat
di atas kasur. Terlalu senang, terlalu senang!
***
Tulisan saya kali
ini berupa cerbung. Ide cerita sendiri merupakan pesanan seorang teman. Selamat
menikmati! Nantikan kelanjutannya ^_^
OMG!!!! Saia pernah loh pulang kampus pas mahgrib gt nungguin kopaja yang ga dateng" terus dalem ati bilang: kalo ada yang bantu nganterin, cewe dijadiin sodara, cowo dijadiin pacar x_x *pengaruh film SOULMATE wkt itu, terusssss setelah kira" 5 tahun kemudian lah akhirnya tuh cowo yg pantang nyerah saia terima juga :D
BalasHapuscieeee cieeee hahahahhaha
Hapus