Kalo
ada istilah work hard play hard, gue mau bikin istilah baru. Work hard, life
soooo hard. Hahahaha. Maaf ini cuma becanda. Gue masih mengampanyekan pada diri
sendiri bahwa tugas-tugas kuliah itu ga berat atau memberatkan. Oke deh,
mungkin gue bilang berat. Tapi gue ga mau mengeluhkan tugas-tugas itu. Karena hak
gue sebagai mahasiswa adalah menerima banjiran tugas dari para dosen. Kewajiban
gue adalah mengerjakan secara maksimal. Nah, kalo kitanya udah maksimal tapi
partner kerja kita ga, gimana?
Let me scream.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!
Nah,
udah, segitu cukup. Teriaknya sambil masukin kepala ke dalam bak mandi. Maaf gue
jadi geli sendiri, gue lupa. Gue ga punya bak mandi. Gue punya ember dan
pancuran buat mandi. Jadi, tadi gue teriak di?
Oke
itu garing.
Ngomong-ngomong
soal mandi tadi salah satu mandi paling nikmat yang gue rasakan bulan ini. Kenapa
tanya kenapa, karena gue baru nyampe rumah dan membasuh tubuh pas malem. Paginya
gue kecemplung di comberan. Sumpah ini gue takut banget terinfeksi bakteri dari
pipisnya sodara Mickey Mouse. Jadi waktu di kampus classmate gue berbaik hati
memberi gue hand sanitizer yang gue balur ke kaki bagai air. Lagian itu ga
lucuk banget kejadiannya.
Gue
masuk kubangan yang entah kenapa ada di situ, di seberang Tugu Kujang, kurang
lebih arah tenggara. Masalahnya itu bukan di atas tanah tapi di atas semacam
semen atau beton bekas billboard di belakang kotak listik. Kok ya dalem juga
hampir selutut. Udah mana gue lagi motret untung kameranya ga kenapa-kenapa. Airnya
juga untung ga bau jadi celana sama kaos kaki sama sepatu gue aman sejahtera
dari aroma ehem.
Gue
seneng sama fotografi dan masih pede dengan sebutan penikmat. Foto-foto gue
masih dalam proses belajar tingkat standar. Tapi gue menikmati sekali perburuan
foto-foto ini. Misalnya tadi waktu motret sport action. Gue sampe guling-guling
di rumput, tiduran, miring, apalah sampe baju gue kotor. Kalo gue cermati, baju
gue hampir selalu kotor tiap praktikum fotografi. Udah lama nih gue ga upload
foto di blog, mungkin besok ya habis pulang liputan heuheuheu.
Besok
pagi gue liputan ke tempat antah berantah yang dulunya tempat gue pertama kali
rally foto. Dulu gue ada rencana mau bikin film dokumenter durasi 15 menit tapi
karena harga per paketnya mahal dan minimal 50 orang, batal deh. Ternyata sekarang
ada paket buat minimal empat orang. Gue curiga di sana ga ada kendaraan. Dulu aja
pake mobil pribadi treknya naudzubillah. Cuma tempatnya eksotis jadi tunggu
cerita gue di postingan berikutnyaaaa J
Tugas
liputan minggu lalu sejujurnya sangat mengecewakan gue. Selain jadi kameramen,
gue juga jadi penulis skrip. Untuk memudahkan editor, gue bikin skrip jadi
semacam storyboard tertulis. Di situ tertera jelas pada detik kesekian ada
gambar apa, angle gambar yang dipake yang mana. Bahkan dubbingnya gue sesuaikan
sama gambar. Jadi kalo dubber nyebut kol, maka kamera lagi shoot gambar kol.
Kenyatannya?
Tiga
liputan tanpa dubbing. Gambar-gambar yang gue pilih ga dimasukin. Ini mengecewakan
gue. Kok ga ada ngasih kabarnya. Kok tenang-tenang aja. Gue minta ngumpul buat
ngedit bareng katanya ga usah. Apa ga merasa aneh sama tiga berita tanpa
dubbing itu? Gue berhak dong mempertanyakan, mereka nunjuk gue jadi pimred. Berarti
mereka percaya sama kemampuan gue. Tapi hasil kerja gue disia-siakan nih
rasanya. Kesimpulannya, gue ga berusaha ribut sama orang yang keras kepala. Peduli
setan. Terserah hasil kerja, toh gue udah berusaha. Sekarang cuek aja. Cukup tau
kepribadian orang-orang itu. Untung tugasnya dua kali pertemuan lagi. Alhamdulillah
sungguh teramat sangat.
Gue
deg-degan sama penilaian artikel gue di mata dosen. Bayangkan, di mata kuliah
menulis ini nilai gue hampir bisa dibilang semuanya jelek! Yang touchdown di
kisaran A kayanya cuma satu. itupun fiksi, bukan nonfiksi. Mules rasanya
membayangkan lambatnya kemampuan gue belajar nulis padahal gue suka nulis. Ada beberapa
sih alasannya mungkin karena bacaan gue sempit dan masih suka pilih-pilih. Itu yang
paling gue curigai sebagai biang kerok. Nah untuk artikel ini gue mengambil
tema jurnalistik, tentang seorang jurnalis yang dalam hati nuraninya
mempertanyakan para narasumbernya yang berusaha menahan aliran informasi. Mau gue
publikasikan entah di blog atau kirim ke media tapi gue masih mikir ini apanya
yang harus dirombak. Bahasanya terlalu ilmiah buat kolom opini di koran dan terlalu
kaku buat blog.
Pelan
tapi pasti gue jatuh cinta dengan dunia editing. Terutama editing audio visual.
Gue suka, bersyukur, dan puas dengan hasil editan film pendek gue meski itu
masih taraf seorang amatir. Biarlah. Toh gue masih ada kesempatan belajar. Walaupun
rumit ternyata menyenangkan. Film pendek yang diedit ini punya kakak kelas dan
terdiri dari 11 scene. Karena gue jengkel dengan komputer di lab yang suka
mati, lama render, dan ga ada aplikasi editing selain Adobe Premiere, jadi gue
memilih ga nambahin scene 4 yang baru dikasih di hari terakhir pengerjaan si
film pendek. Gue bukannya males tapi realistis aja. Dengan kemampuan komputer
maupun diri sendiri yang terbatas, ngapain gue sok perfeksionis dengan nambah
hanya 1 scene yang punya risiko terhadap 11 scene? Itu ga masuk akal. Gue suka
ulead yang sederhana. Menurut gue hasil potongannya halus kok asal editornya
mau sabar.
Gue
memutuskan ikut PKL tahap dua aja walaupun karena sekarang udah ditolak gue
punya satu kesempatan lagi buat daftar. Gue ga tertarik. Di mata gue
birokrasinya sedikit rumit. Lagian gue terlanjur capek dengan tugas dan keadaan
beberapa minggu belakangan. Gue ga kuat kalo harus ditambah satu pokok
pemikiran lagi berupa PKL. Toh tahap satu atau tahap dua bisa sama-sama wisuda
dan ternyata, sama-sama masih bayar uang semester enam.
Setelah
semua pahit manis yang gue rasakan dan tuangkan di sini akhirnya gue
mengundurkan diri dulu. Waktunya tidur supaya besok ga kesiangan. Bye bye blog
dan para pembaca, selamat malan J