Living with Depression and Anxiety - Part 1

The problem I must endure on a daily basis


Hola! Ini pertama kalinya saya menulis tentang kondisi mental saya di blog ini. Biar apa sih? Caper? WKWK. Ya kampanye buat menghapus stigma dong. So, here we go! ðŸš€
Kamu pernah lihat netizen yang bilang Britney Spears harusnya tetap dalam conservatorship karena sakit mental? Atau, kamu pernah lihat orang bercanda bilang Marshanda lagi lupa minum obat?

Hal-hal kayak gitulah yang bikin orang dengan gangguan mental merasa kehilangan tempat di masyarakat. Padahal kami juga bisa, mampu, dan berhak hidup normal seperti orang lainnya.

Sama seperti orang yang sakit demam. Buat kamu, sakit demam wajar kan? Lalu kenapa kamu tidak melihat dari kacamata yang sama mengenai orang yang sakit mental?

Saya sadar sejak kecil bahwa ada yang salah dalam diri saya. Perubahan emosi saya terlalu cepat. Seperti roller coaster. Saya tidak pernah merasakan kedamaian di dalam sini. Selalu ada pertarungan batin. Susah rasanya untuk menerima diri sendiri.

Saya sudah belasan tahun hidup dengan suicidal thought. Bahkan pernah mencoba, tapi gagal. Kegagalan itu membuat saya berpikir. Jika Tuhan bilang belum, artinya belum. Mencoba tiada gunanya.

Selama SMP hingga SMA, saya hidup dalam neraka. Saya menjalani hari-hari seperti autopilot. Pikiran saya seperti mengambang. Hanya terpaksa saja, karena belum bisa ☠️

Ketika kuliah, saya mulai bisa menerima dan sedikit lebih nyaman dengan diri sendiri. Rasa suka terhadap menulis dan kuliah membesar, membuat pikiran saya teralihkan. Tentu, ada hari-hari ketika semua terasa begitu berat. Saya mencoba segala cara untuk mengalihkan pikiran, tapi gagal.



Saya terus memupuk harapan ingin berobat. Saya tidak tahu bagaimana caranya ke psikiater. Waktu itu belum ada BPJS. Uang jajan juga sangat kecil, tak bisa dipakai berobat. Saya sangat berharap, ada keajaiban. Sehingga saya bisa mendapatkan pertolongan.

Orang yang berusaha keras untuk mati justru adalah orang yang paling ingin hidup. Dia bukan benci kehidupan, tapi tak kuat menahan keputusasaan. Dia sangat mengharapkan pertolongan datang.

Saya juga menyembunyikan kondisi itu pada sebagian besar orang. Namun, saya mulai membuka diri pada 2019, setelah tiga tahun pacaran. Maksud saya, dengan si mantan. Itu loh, yang gagal nikah. 

Kenapa butuh tiga tahun pacaran baru cerita? Karena butuh keberanian sangat besar hingga saya bisa mengatakan dengan jujur pada orang lain. Pertentangan batin saya luar biasa. Rasa tidak diterima, tidak dicintai, dan berbeda dari orang lain sangat menakutkan.

Tentu saja awalnya dia bingung ketika saya mengatakan bahwa saya tidak pernah bahagia. Apakah hubungan kami bermasalah? Apakah ada yang salah di antara kami? 

Akar masalahnya bukan hubungan kami tapi hidup saya sendiri. Kehidupan yang saya jalani sebagai anak dari orang tua saya. Hidup saya sebagai anak perempuan, anak pertama, dan anak yang kata ibu saya tidak diharapkan. Anak yang disesali kelahirannya. Anak yang tidak pernah bisa ia cintai.

Rasa terluka, frustasi, dan putus asa itu menumpuk seumur hidup saya. Setiap detik, menit, jam, hari, bulan, tahun itulah yang menguasai pikiran saya. Tentu itu bukan satu-satunya masalah dalam hidup saya, tapi bisa dibilang akarnya. Awal mulanya.

Sayangnya, hidup saya mulai memburuk sejak 2019. Sejak itu kondisi psikosomatis mulai menghantui saya. Saya terus menerus muntah dan migren. 

Puncaknya, saya melakukan ct scan pada akhir tahun 2022. Terlepas ada kista kecil yang tak berbahaya karena sinusitis, saya baik-baik saja. Muntah dan migren itu lebih dipengaruhi oleh stres berat.

Sayangnya mual dan muntah itu jadi tidak terkendali. Saya malu sekali karena benar-benar terlihat sakit. Saya tahu orang-orang membicarakan hal itu. Kecuali, tentu saja, orang tua saya. Sebuah ironi.

Akhirnya, saya bisa mengakses layanan kesehatan mental pada Februari 2023. Saya baru tahu, ternyata salah satu psikiater ternama di Indonesia berpraktik di Bogor. Dekat rumah saya ðŸ¥³

Namanya adalah Jiemi Ardian. Dokter satu ini, saking lakunya, bikin saya harus war slot kosong beliau di aplikasi Siloam. Kalau saya mau berobat untuk Februari 2024, artinya sejak Desember 2023 harus sudah book. Selalu penuh.

Mungkin salah satu alasannya karena kita masih kekurangan psikiater atau tenaga ahli jiwa ya. Alasan lain adalah karena ya dr Jiemi memang sangat bagus. Saya merasa cocok dan tidak menyesal untuk berobat.

Karena saya mendengar beberapa teman yang justru jadi trauma berobat ke psikiater. Soalnya ketika stres malah disuruh solat. Seakan, selama ini, para penderita gangguan mental ini ga pernah solat ðŸ˜µ‍💫

Kenapa tidak pakai BPJS? Saya punya beberapa alasan.
  • Takut ketahuan orang tua karena faskes tingkat satunya benar-benar di sebelah rumah.
  • Pindah faskes juga susah. Udah coba beberapa faskes tingkat satu di Kota Bogor yang masih satu kecamatan. JELEK SEMUA PELAYANANNYA.
  • Takut berobat ke dokter yang salah terus trauma kayak teman-teman saya. Abis dr Jiemie adanya di Siloam.
  • Teman cerita dia berobat di Jakarta pakai BPJS. Nunggu dokter datang bisa empat jam! Sebaliknya, sama dr Jiemi, saya ga pernah harus nunggu beliau. Beliau selalu on time. Hari dan jamnya juga sesuai dengan kesibukan saya.
  •  Bookingnya gampang lewat aplikasi.
  • Deket dari rumah. 
Saya sendiri belum menemukan opsi psikiater yang lebih baik dari segi layanan, jam konsultasi, dan harga. Jadi dr Jiemi adalah pilihan terbaik saya saat ini.

Bahkan, bisa via Zoom juga! Nah, kebetulan, konsultasi pertama saya via Zoom.

Dr Jiemi tidak pernah sekalipun menyalahkan saya. Beliau benar-benar suportif dan memberikan konseling seperti yang saya harapkan.

Namun, kehidupan saya sepanjang 2023 ini betul-betul berat. Saya berkali-kali relapse. Saya bukannya tidak berusaha. Bahkan obat-obatan pun sepertinya tidak menolong saya.



Frekuesi saya sakit semakin sering. Psikosomatis benar-benar menurunkan kualitas hidup saya dan menghambat aktivitas harian. 

Ada satu hal yang membuat saya tertegun. Ketika saya mengeluh pada dr Jiemie bahwa hidup saya seperti jalan di tempat. Menurutnya progresif dan regresi memang bisa berjalan bersamaan. Jadi jika saya merasa maju, tapi juga mundur, itu hal yang wajar.

Oke, sampai di sini dulu ceritanya. Nanti saya akan cerita lagi perkembangannya.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama