Ini merupakan
perjalanan pertama saya dengan kereta api. Biasanya, saya menggunakan mobil
sewa atau menumpang mobil teman. Meskipun distrik tujuan saya kali ini adalah
distrik terdekat dengan distrik tempat saya tinggal, saya tidak biasa melakukan
perjalanan dengan kereta api. Selain tentu akan lebih menghemat biaya jika saya
menumpang di mobil teman, saya jarang memiliki keperluan untuk secara khusus
datang kemari. Ini distrik yang besar, tidak sebesar distrik tempat saya
berdiam selama sepuluh tahun terakhir. Namun tidak banyak yang bisa saya
lakukan di sini kecuali menghadiri pernikahan seorang teman.
Saya hanya perempuan
biasa, hidup dengan gaji seadanya dari hasil mengabdi sebagai guru di sebuah
sekolah sederhana yang kalau tidak bisa dibilang hampir tak layak. Bangunan
sekolah merupakan bangunan tua dan rapuh. Langit-langitnya rusak, pagar
temboknya telah roboh, dan halaman sekolahnya telah berubah menjadi sawah.
Dulunya, bangunan ini hanyalah gudang untuk penyimpanan sementara sembako bagi
warga tidak mampu yang mendapat subsidi dari pemerintah. Sehingga bangunan ini
tidak cukup layak sebagai tempat menghabiskan waktu selama lima jam sehari
untuk bersekolah.
Kereta berjalan
melambat dan berhenti di sebuah stasiun kecil. Ini stasiun ketiga yang
disinggahi kereta api yang saya tumpangi. Karena saya berdiri di dekat
pintu,saya mendapat pemandangan jelas aliran orang keluar masuk kereta ini.
Lalu masuk sepasang suami istri, duduk tidak jauh dari tempat saya berdiri.
Sang istri menggendong bayi lelaki yang tengah lasak-lasaknya dan sang suami
membawa tas perlengkapan bayi, payung, serta jaket dengan tudung kepala
berhiaskan telinga beruang. Jaket yang lucu untuk seorang bayi yang lucu.
Keadaan kereta yang asak membuat sang suami mengalah dan berdiri membiarkan
istrinya duduk.
Si bayi benar-benar tak
mau diam. Setelah berdiri beberapa lama memandang jendela, ia minta turun. Ia
sangat lincah, kakinya terus bergerak ingin melangkah kesana kemari. Ayah
ibunya nampak kelelahan. Selain sulit bergerak karena padatnya penumpang, udara
panas ditambah terik matahari di luar kereta membuat keduanya dibanjiri peluh.
Ayahnya mengelap keringat dengan sapu tangan. Refleks, saya pun mengelap butir
keringat pada kening. Oh, panasnya! Kemarau yang menyiksa!
Teman seperjalanan saya,
seorang perempuan berkaca mata tebal dengan edisi koran baru di tangannya yang
saya kenal sejak di stasiun mengamati si bayi dengan takjub. Ah, bayi yang
tampan! Beberapa orang mulai memperhatikan si bayi dengan berguman kecil.
Ibunya terlihat bahagia, menyadari perhatian orang-orang terhadap bayinya.
Ibunya tersenyum pada saya dan mengangkat si bayi. Bayi itu memamerkan keempat
gigi mungilnya. "Siapa namamu, tampan?" tanya saya. "Diego,
tante," sahut ibunya cerita. Tiba-tiba Diego meraih ke arah saya. Dengan
cepat, kacamata saya lepas dan telah berada dalam genggamannya. "Diego,
sayang, jangan nak," ayahnya segera mengembalikan kacamata saya. Teman
seperjalanan saya tersenyum. Ia membetulkan letak kacamatanya dan mencoba
berhati-hati agar Diego kecil tidak tertarik melakukan hal serupa padanya.
Namun Diego anak yang ramah. Tidak pada saya, ia pun tersenyum dan memamerkan
giginya pada tiap orang yang menyapa atau mengelus pipinya yang selembut
mentega.
"Waktunya makan,
sayang," ibunya mendudukkan Diego kecil di samping teman seperjalanan
saya. Perempuan itu membantu ibu Diego dengan memegangi tubuh Diego. Si bayi
masih menggerakkan kaki dan tangannya, menolak diam. Ayahnya mengeluarkan kotak
makan kecil dan sendok sementara ibunya menyiapkan termos kecil dan bubur bayi
instan. Setelah menyeduh, mengaduk, dan memeriksa suhu bubur instan―dengan
meletakkan sesuap di bibirnya―ibunya menyorongkan
sesendok pada Diego. Wajah Diego berubah agak merah. Ia mengeryit dan menggaruk
ujung hidung. Beberapa penumpang kereta api tertawa. Ternyata buburnya masih
terlalu panas! Ibu Diego kemudian menuangkan air tambahan ke dalam bubur.
Sekarang Diego bisa makan.
Teman seperjalanan
saya, si wanita berkacamata tebal, ikut repot dibuatnya. Ia memegangi Diego
yang didudukkan di kursi sementara perempuan lain yang duduk di sisi lain Diego
membantu memegangi botol dot Diego yang berisi air putih. Ayahnya sibuk
membantu menjaga keseimbangan istrinya.
Sepanjang perjalanan di
atas kereta, kami semua memusatkan perhatian pada Diego. Betapa bayi kecil lucu
itu membuat perjalanan tidak menjemukan. Betapa saya tidak merasa lelah meski
sepanjang jalan berdiri dan bergoyang mengikuti irama laju kereta, kadang
didorong atau disenggol orang yang lewat. Sementara ayah dan ibunya berjuang
merayu Diego menghabiskan makanan. Teman seperjalanan saya, si wanita
berkcamata tebal, nampak mengacuhkan koran edisi barunya. Perempuan yang duduk
di sisi lain Diego siap sedia menyodorkan botol dot air putih bila Diego
membutuhkan minum.
Seorang bayi seperti Diego
bisa menyita perhatian kami. Padahal, ia hanya seorang bayi. Tapi lihatlah, ia
mengakrabkan kami.
Kereta berhenti di
stasiun terakhir. Saya telah sampai. Dari sini saya masih harus menyambung
perjalanan dengan bus kota menuju gedung resepsi. Saya melambaikan tangan pada
Diego. Bayi itu tertawa, masih tetap lincah, bergerak dalam buaian ibunya.
Buburnya telah habis.