shutterstock.com/pic-6636634 |
"Kata orang, lebih baik perempuan menikahi laki-laki
yang lebih tua dibanding dirinya. Laki-laki tidak setahan banting perempuan.
Laki-laki tidak sedewasa perempuan. Karena seorang perempuan akan mudah
mengubah diri menjadi seorang wanita dewasa, seorang perempuan akan menjadi ibu
bagi anaknya. Ketika seorang perempuan memiliki anak, akan tumbuh rasa tanggung
jawab dan ingin mengayomi dalam hatinya. Sehingga ia segera menyesuaikan diri
dan paham betul posisinya. Apa kamu percaya?" Aku bukan percaya. Aku nelangsa.
"Kamu tahu? Seorang perempuan yang menikah muda
dipandang lebih baik dibanding seorang lelaki yang terlalu muda menjadi ayah.
Bila setelah menikah si perempuan tidak mnunda waktu kehamilan dan cepat
memiliki anak, orang percaya dia akan mampu merawat anaknya. Sebab ia memiliki
kodrat. Jauh dalam sanubarinya, ia tahu apa tugas dan kewajiban seorang ibu.
Kamu juga percaya kan, tidak ada ibu yang menjerumuskan anaknya? Semua ibu tahu
cara terbaik membesarkan anaknya. Bukankah surga di telapak kaki ibu? Karena
ibu begitu berjasa, begitu mulia." Tidak semua ibu memiliki sifat keibuan,
itu yang kupercaya. Zaman telah berubah, beban kehidupan bisa mendorong seorang
ibu bertindak nekat dengan membuang
bayinya atau membunuh anaknya. Aku menolak pendapatnya.
"Sementara kalau seorang lelaki menikah muda lalu
menjadi ayah terlalu cepat, orang menjadi khawatir. Sudahkah ia mampu mencukupi
kebutuhan anak istrinya? Sudahkah ia mampu mengemban tanggung jawab yang besar?
Ia sebagai kepala keluarga, tugasnya berat dan tidak main-main." Aku juga
tidak pernah menganggap tugasku kelak akan menjadi tugas yang enteng. Aku
bahkan tidak berani membayangkan terlalu jauh bagaimanan nantinya jika aku
menjadi seorang ayah.
"Jadi, apa kamu yakin melamarku sekarang? Kamu
sanggup memikul beban lebih berat? Kuliahmu belum selesai, keuanganmu belum
stabil. Usia kita sama-sama muda, kamu lebih muda beberapa bulan dariku. Bagaimana
caranya kamu meyakinkan keluargaku dan keluargamu kalau kita siap
menikah?" Bukan mereka yang kurang yakin, kamu yang belum yakin.
Seandainya kamu cukup yakin, kamu tidak akan bilang begini. Kamu yang pusing,
kamu yang pening. Tidak bersangkut paut dengan keluargamu apalagi keluargaku.
Buatku, selama kita sama-sama yakin, restu turun dengan mudah.
"Asal kamu minta izin pada orangtuaku untuk
menikahiku. Tidak masalah walau kamu belum punya gelar sarjana, walau toko
online kamu masih bertumbuh." Aku bangkit dengan jemari menggenggam erat
tepian meja hingga kukunya memutih hingga tanganku terasa sakit. Hingga nafasku
naik turun. Khas orang yang tidak sabar untuk melepaskan amarahnya. Kesal.
Sebal. Kecewa. Pedih. Sedih. Campur aduk menjadi satu. Aku tidak punya cara
lain untuk menggambarkan bahwa aku marah. Terlampau marah untuk menjelaskan.
"Kalau mau menolakku, katakan. Kalau tidak suka,
bilang. Jangan berpanjang-panjang kata dulu! Kamu yang tidak yakin padaku, kamu
yang meremehkan aku. Harusnya kamu berani, aku mengajak nikah berarti aku sudah
yakin. Aku saja bisa yakin memilihmu sebagai calon istri, kamu malah
mengombang-ambing perasaanku. Ucapkan terus terang, dari pada kamu melanjutkan
basa basi busuk ini. Ya sudah, tidak perlu ada pernikahan dalam hubungan kita.
Kita akhiri saja. Beres." Kamu yang dari tadi bicara hati-hati mendadak
semakin hati-hati. Kamu yang tadi memilih kata menjadi bungkam tanpa kata.
Pandanganmu kehilangan asa. Mulutmu kehilangan busa.
Penjelasan yang terlanjur kamu lontarkan semacam ingin kamu telan kembali.
Seharusnya. Sebaiknya. Setidaknya. Coba saja. Mungkin begitu sekelumit yang
berputar dalam otakmu yang dibungkus kulit cantikmu. "Kamu mencabut
lamaranmu?" Suaramu, ya, suaramu, terdengar aneh di telinga.
"Iya," jawabku singkat.
Tiga Tahun Berlalu
"Dis, kamu ingat Jono? Aduh, kalau ingat dia, ibu
miris Dis! Dulu dia itu calon menantu kesayangan ibu. Tapi kenapa kamu lepas?
Lelaki sebaik dia malah kamu biarkan menikahi perempuan lain. Ngenes rasanya
ibu kehilangan Jono, seperti kehilangan anak sendiri. Seperti kehilangan emas
24 karat. Ibu kira ibu akan segera mendapatkan cucu karena ibu lihat Jono serius
sekali sama kamu. Tiba-tiba Jono datang ke rumah waktu kamu lagi di kampus.
Jono mengantar surat undangan pernikahannya ke ibu. Ya ampun Dis, asal kamu
tahu ya, ibu nangis sesenggukan! Ibu tidak menyangka kamu bisa putus dari Jono.
Ibu kan sudah kenal baik dengan ibunya Jono. Dis! Dis! Kok diam saja? Ibu kan
sedang bicara. Kamu ini bagaimana."
Gladys meyembunyikan kepalanya dalam benaman bantal. Ia
tidak peduli ibunya mau bicara apa. Ia lebih tidak ingin peduli lagi kalau tahu
ibunya masih membahas Jono. Sudahlah, Jono bukan jodohnya. Apa susahnya ibu
menerima kenyataan itu? Gladys saja berjuang melepaskan Jono setengah mati.
Sekarang ibu malah menyeret-nyeret pikiran dan hatinya mengenang keindahan yang
sempat ia reguk bersama Jono. Bukan, bukan salahku, jerit Gladys dalam hati.
Jono yang memutuskannya, jadi bukan dia yang meninggalkan Jono. Mana ia tahu
sebulan kemudian Jono menikahi orang lain? Dia tidak menyangka, semudah itu
Jono mendapatkan wanita. Sampai detik ini, tidak pernah tercium bau busuk dari
pernikahan Jono. Ia tampak bahagia dan harmonis dengan istrinya.
Tapi hati Gladys lah yang tidak harmonis.
Jauh dalam hatinya, ia menyalahkan kesalahan sekaligus
keteledoran idir. Mengapa ia kurang yakin pada Jono? Itu alasan Jono
meninggalkannya dan memilih perempuan lain untuk melahirkan anaknya. Kenapa
bukan dia saja? Dia bisa menjadi istri sekaligus ibu yang baik. Jono akan
bangga. Ia, bangga, seandainya Jono memberinya kesempatan mencicipi menikah
muda. Namun Jono malah memboyong orang lain dalam bahtera rumah tangganya.
"Dan kamu harus tahu, dia itu suami sekaligus ayah
kebanggan istri dan anaknya! Di lingkungan tempat tinggalnya, mereka dikenal
pasangan yang rukun. Semua orang berkata, kehidupan Jono sangat bahagia.
Setelah menikah, dia diterima bekerja di sebuah perusahaan swasra. Taraf
hidupnya meningkat! Pernikahan memberinya limpahan rezeki tak terkira. Sayang
anak, sayang istri, penuh tanggung jawab, berpenghasilan tetap, mana yang
kurang? Pasti istrinya setia sekali pada Jono," ibu tetap meneruskan
cerita penuh kebanggannya tentang Jono. Ah, sehebat apa Jono sekarang? Dulu
diapun sudah hebat.
Jono tidak akan selamanya menjadi anak-anak. Dia sangat
dewasa dan penuh keceriaan dalam mengemban banyak tugas. Dialah Jono.
***
shutterstock.com/pic-60018625 |
"Kamu memang suami yang baik. Aku akui, kamu sangat
menyayangi anak kita. Kamu tidak seperti kebanyakan ayah yang gila kerja lalu
lalai ikut membesarkan anaknya. Tapi kamu belum paham apa yang aku mau. Kalau
cuma ini pekerjaanmu, kamu tidak bisa memenuhi aku. Aku mau yang lebih. Aku
tidak terbiasa hidup susah. Kamu tahu itu, kamu kenal keluargaku. Kamu pasti
mengerti." Jono membantu membereskan pakaian istrinya ke dalam koper
besar. Ia membawakan koper itu ke teras. Istrinya pamit, pulang ke rumah
orangtuanya.
Jono menelpon seseorang. Terdengar suara riang di
seberang telpon. "Nak Jono? Ibu kangen! Ayo, kapan silaturahmi ke sini,
kapan ketemu ibu dan Gladys. Bawa istri dan anakmu ya!"