![]() |
ppfkb.blogspot.com |
"San, kalau Bakso Pak Mul
kiosnya dimana?" Yang di seberang telpon tertawa. "Mir, sejak kapan
kamu suka bakso? Bukannya kamu phobia bakso sejak nonton acara investigasi di
televisi? Katamu banyak bakso dicampur daging tikus dan ikan busuk.
Pengolahannya juga buruk karena alat giling daging dipakai bergantian tanpa
dicuci. Ada angin apa kamu jadi tanya kios bakso?" Aku menepuk paha dengan
keras hingga orang yang lewat di dekatku mengeryitkan dahi. "Bukan, San.
Mana mau aku makan bakso kalau bukan buatan istriku. Biasa, ada dokter yang
minta. Ayolah bantu aku." Ihsan terkekeh, "Iya, iya, sekarang kamu di
mana? Biar aku yang beli dan antarkan baksonya."
Dua puluh lima menit kemudian,
dengan bau keringat apek dan kulit keling, Ihsan datang mengendarai vespa
tuanya. "San!" aku melambaikan tangan. "Terima kasih banyak.
Untung ada kamu. Berapa harganya?" tanyaku tidak sabar. "Tunggu dulu!
Jangan buru-buru. Sebetulnya aku mau tanya, apa pekerjaanmu sekarang? Pesuruh
kantor? OB? Sampai-sampai kamu harus mencarikan Bakso Pak Mul buat dokter.
Memangnya dia ngidam? Jarak kios Bakso Pak Mul dengan rumah sakit ini lumayan
lho. Panas-panas begini kok ada ya orang yang mencari bakso. Seakan tidak ada
tukang bakso lain yang lebih dekat tempatnya dari sini."
"Salah. Pekerjaanku yang
sekarang ini keren. Enak saja, masak aku dikira OB. Tinggal bawa brosur,
tunjukkan ke dokter-dokter di dalam rumah sakit itu, aku bisa dapat gaji tiga
juta sebulan! Bagaimana? Kurang keren apa pekerjaanku? Tidak kena panas, tidak
kena hujan, tinggal datang ke rumah sakit-rumah sakit yang berpendingin
ruangan. Hayo, apa yang kurang enak dari pekerjaanku?" Kuakui, hatiku
bungah dapat menyombongkan pekerjaanku kini pada Ihsan. Dulu, di antara
teman-teman sepermainan, akulah yang selalu menjadi bahan olokan karena tidak
punya pekerjaan maupun penghasilan yang tetap. Sekarang aku sama dengan mereka,
bahkan aku merasa lebih baik. Tentu bagi orang kebanyakan, pekerjaanku dianggap
ringan dan tak menyusahkan.
"Tiga juta? Cuma dengan bawa
brosur? Sekaligus mencarikan kios Bakso Pak Mul? Edan!" Ihsan menepuk
tanganku dengan keras. "Aku tidak percaya!" bantah Ihsan.
"Paling-paling kamu beruntung punya kenalan dokter yang menyuruhmu
mencarikan bakso. Pasti kamu masih nganggur, luntang-lantung tidak jelas."
"Siapa
bilang? Aku kasih tahu ya, aku bekerja sebagai medical representative. Tahu
tidak? Halah, aku yakin kamu belum pernah dengar istilah bahasa Inggris seperti
itu. Mau bukti? Ayo ikut aku ke dalam."
"Nantang?"
"Iya.
Butuh bukti kan? Kalau ternyata dugaan kamu salah, kamu harus traktir aku. Tapi
jangan bakso. Traktir es cendol!"
"Ayo.
Siapa takut. Ngapusi ae."
Aku membawa Ihsan ke lantai tiga,
ruang praktik seorang dokter anak. "Tunggu sebentar, aku tidak bisa bawa
kamu ke dalam, tapi kamu bisa intip. Nanti pintunya aku buka sedikit,"
Ihsan mengangguk. Aku menenteng plastik berisi Bakso Pak Mul ke dalam ruangan
dokter. Pak Dokter itu tengah menungguku. "Dapat juga ya? Bagus!" Pak
Dokter mengacungkan jempol. Setelah sedikit berbasa-basi, aku undur diri. Pak
Dokter mengantarku sampai ke pintu ruang praktiknya. Kupelankan suara,
"Tiga ribu ya?" Pak Dokter tersenyum sembari mengangguk. "Lho,
apa itu tadi? Bakso Pak Mul seporsi harganya 6 ribu, kok kamu bilang 3 ribu?
Wah, aku tidak mau tahu, ganti uangku 6 ribu," Ihsan memprotes.
"San, 3 ribu itu bukan 3 ribu
dalam arti sebenarnya," ujarku. "Terus?" tanya Ihsan.
"Jangan di sini, kita cari tempat di luar," bujukku. Ihsan manut. Ketika kami tengah bersantai
menikmati es cendol beberapa blok letaknya dari rumah sakit, aku buka mulut.
"Dalam dunia kerjaku, 3 ribu sama artinya dengan 3 juta. Jadi aku berani
bayar dokter itu 3 juta, pakai uang pabrik."
"Hah?
Sudah sekaya apa kamu, berani memberi seorang dokter uang 3 juta? Kelebihan
uang?"
"Sebentar,
sabar, aku belum selesai cerita. Tentu ada maksudnya kenapa aku berani memberi
dokter itu uang 3 juta."
"Jadi
maksudnya?"
"Supaya
pak dokter tadi mau memakai barang dari pabrik tempatku bekerja. Aku kerja di
pabrik obat. Tugasku, mengumpulkan pesanan obat-obatan dari dokter-dokter di
rumah sakit. Tapi bukan sekedar mengumpulkan. Kalau bisa, aku mendorong agar
mereka terus memakai produk dari pabrikku."
"Jadi
kamu main sogok?"
"Sogok
itu terlalu kasar. Ya, aku jadi sponsor lah buat si dokter. Entah dari sisi
uang atau seminar. Pabrikku akan membayari si dokter seminar, kalau perlu
sampai ke luar negeri."
Ihsan manggut-manggut tanda paham.
Nampaknya ia mulai menemukan titik terang dalam kisahku. "Berarti kamu
seperti sales yang suka keliling kampungku ya?"
"Beda.
Kalau sales, menawarkan barang sekaligus membawa. Aku cuma menawarkan tapi ada
orang lain yang bertugas membawa obat-obatan pesanan dokter."
"Wah,
kerjamu enak dong!"
Tanpa sadar, aku menaikkan dagu
tanda kepongahan. "Betul, kerjaku memang enak. Dan betul, pesaingnya juga
banyak. Pekerjaan macam ini di jabodetabek, banyak pelakonnya. Kami bersaing
agar si dokter mau memakai produk dari pabrik kami. Belum pabrik dari luar
negeri yang menawarkan obat-obat bagus tapi dengan harga lebih mahal."
"Mereka
juga pakai cara sepertimu?"
"Kira-kira
begitu. Semua medical reprentative punya target yang harus dipenuhi dalam satu
bulan. Selama target bulanan terpenuhi, aku tidak perlu khawatir. Yang bahaya,
kalau pesanan dari dokter belum memenuhi target. Seperti bulan lalu. Aku
dibikin pusing karena ada yang menjegalku."
Ini merupakan hal baru bagi Ihsan.
Ia terlihat serius memperhatikanku. "Selama aku terus menjaga agar
dokter-dokter itu di bawah pengawasanku, mereka akan tetap memakai produk yang
kutawarkan. Persaingan itu biasa, semua orang pasti ingin sukses dan meraih
untung besar. Repotnya ketika aku terpaksa melakukan prosedur buang
barang."
"Kamu
membuang obat-obatan yang harganya mahal itu???"
"Jangan
bingung, jangan pusing. Aku tidak benar-benar membuang obat-obatan itu. Aku membuangnya
pada distributor. Nanti distibutor bisa menjualnya ke daerah, dengan harga
lebih murah."
"Berarti
apa yang kamu lakukan itu baik, orang-orang di daerah bisa mendapat obat
bagus."
Aku menarik nafas lalu menyeruput
tegukan terakhir kuah santan dan gula merah es cendolku. "Justru di sana
pangkal masalahnya. Belum tentu obat itu segera dibeli masyarakat di daerah
dari distributornya. Obat itu bisa jadi sudah kadaluarsa atau memang sedikit
rusak." Ihsan menganga. "Pekerjaanmu berbahaya!" ujar Ihsan. "Tidak,
selama aku berhati-hati," sahutku yakin. "Tapi kamu menyogok dokter.
Meskipun cuma seporsi Bakso Pak Mul. Mending kamu jadi pengangguran saja dulu
atau cari kerja lain. Masih banyak pekerjaan yang lebih aman. Kasihan istrimu
nanti."
"Maaf, San, tidak bisa, aku
senang dengan pekerjaanku sekarang." Ihsan bangkit dan meninggalkanku yang
termangu. Cuma sebentar San, sampai istriku melahirkan dan uangku cukup, aku
akan cari pekerjaan lain. Untuk saat ini, aku butuh pekerjaan. Aku mengulang-ulang
kalimat itu dalam hati.