Chang
Tubuh Chang terayun-ayun. Ia membuka mata dan melihat sekeliling. Di mana aku, pikirnya. Ia tidur di atas ranjang gantung di sebuah rumah sederhana. Sebuah jaring tergantung di dindingnya. Nampak pula peralatan memancing lain. Lalu di sisi lain rumah itu, beberapa ikat ikan yang telah dikeringkan atau diasapi digantung berjejer. Bau khas laut masih tercium kuat. Chang memutuskan ia perlu membersihkan badan.
Ia melangkah keluar dari rumah itu. Rumah berbentuk kotak dengan satu ranjang gantung dan lebih banyak gantungan ikan. Ia harus mencari air bersih. Namun di matanya yang terlihat hanya air laut. "Kau sudah bangun?" sapa seorang perempuan. Di kepalanya terdapat lilitan kain berwarna cerah. Pakaiannya longgar. Di pinggul kirinya terdapat sebuah keranjang berisi ikan. "Mau kau apakan ikan-ikan itu?" tunjuk Chang. "Sebagian akan kugarami lalu kujemur hingga kering. Sisanya kuasapi. Semua akan kujual. Mau ikut?" Chang berpikir sebentar, "Ide bagus. Tapi aku ingin membersihkan diri. Di mana aku bisa menemukan air bersih?" Perempuan itu member isyarat, "Mari ikuti aku."
"Nah, kau mandi di sana," perempuan it menunjuk pancuran, "jangan khawatir soal pakaian. Nanti aku carikan yang cocok denganmu. Sabunnya ada di bawah pohon." Chang melucuti pakaiannya dan meletakkannya di dekat pohon kelapa. Pelan-pelan ia mencelupkan kaki. Airnya segar. Ia menceburkan seluruh tubuhnya. Menggosok tubuh dan mengusapkan sabun. Setelah tubuhnya merasa segar, ia menuju pancuran kecil dan membasuh tubuh. Tak lama, sepotong pakaian bersih telah diletakkan di atas bebatuan. Pakaian tersebut sangat pas dnegan tubuh Chang. Kemudian ia kembali menemui perempuan itu.
"Siapa namamu?"
"Panggil aku Uem. Kau?"
"Aku Chang."
"Kemana tujuanmu?"
"Hallendoirf. Apakah aku sudah dekat dengan pulau itu?"
"Letaknya tujuh hari berlayar dari sini." Chang langsung lemas. Ternyata ia masih jauh dari tujuannya. "Di mana aku bisa menemukan kapal yang dapat membawaku ke sana?"
"Lupakan keinginanmu. Cuaca tengah memburuk. Tidak ada kapal yang mau meninggalkan dermaga. Semua jadwal pelayaran dihapus. Bahkan ayahku belum juga pulang. Kau tertahan di pulau ini. Oh ya, kau belum menceritakan kenapa kau terombang-ambing sendirian di tengah laut?"
"Duduklah," pinta Chang. Uem duduk di sampingnya dan bersiap mendengarkan. "Aku melakukan perjalanan dari Benua Mata Angin. Tujuan utamaku adalah berlayar ke Hallendoirf. Lalu aku bertemu seorang teman baru yang mengajakku naik sebuah kapal kecil. Nahkodanya mengatakan cuaca cerah dan tidak akan ada masalah dengan perjalanan kami. di tengah pelayaran, sebuah ombak besar menghantam. Hujan deras mulai turun dan kilat sambar menyambar. Ternyata ada badai. Aku sudah berusaha keras untuk tidak goyah di atas kapal. Aku berpegang erat pada tiang layar. Namun kapal itu akhirnya tenggelam. Aku pingsan dan tak sadar, tiba-tiba berada di atas sepotong kayu lapuk. Aku tidak tahu kemana penumpang yang lain. Aku juga tidak dapat menemukan temanku atau sisa-sisa bangkai kapal. Sebelum kau menemukanku, aku hampir putus asa karena tidak tahu arah mana yang kutuju dan dapatkah aku mencapai daratan."
Uem menggelengkan kepalanya. "Aku takjub. Betapa mengerikan ketika kau tersadar kau tdaik bersama siapapun. Kecil kemungkinan penumpang yang lain selamat. Karena dalam jalur pelayaran menuju Hallendoirf, ini satu-satunya pulau yang didiami penduduk. Ada dua pulau lain yang lebih kecil tapi tersembunyi gugusan karang. Aku tidak yakin ada di antara mereka--penumpang kapal itu--berhasil mencapai pulau lain atau diselamatkan kapal lain." Uem bangkit. "Ayo, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku. Sebaiknya kau membantuku."
Chang membersihkan ikan-ikan. Menyiapkan potongan-potongan kayu bakar lalu menyalakan apinya. Asap yang keluar dipakai untuk mengolah ikan-ikan itu. Sementara Uem tengah menggarami ikan-ikan lainnya dan bersiap menjemur di depan rumah. "Kemana ayahmu, Uem?"
"Dia sedang mencari paus. Daging paus mahal dan banyak dicari orang. Ayahku membuntuti sekawanan paus yang tengah bermigrasi. Setahuku, ayah melewati Benua Mata Angin."
"Kapan ia akan pulang?"
"Entahlah. Dengan cuaca seburuk ini di laut sana, aku tak yakin tak aka nada badai. Ayah pasti tinggal sementara waktu di kota pesisir yang ia singgahi."
"Apakah semua penduduk pulau ini berprofesi sebagai nelayan?"
"Kebanyakan dari kami justru mencari nafkah di Hallendoirf. Tetanggaku banyak yang menjadi tukang masak atau penghibur. Lebih banyak pilihan pekerjaan di Hallendoirf. Budaya melaut mulai ditinggalkan sejak cuaca makin tidak dapat diprediksi. Badai besar sering menerjang kami lima tahun terakhir. Orang-orang tak mau mengambil risiko tidak mendapat uang. Mereka memutuskan menjual kapal-kapal mereka dan bekerja keras di Hallendoirf. Pada akhir bulan mereka pulang dan menemui istri serta anak-anaknya."
Chang kelelahan. Sepanjang hari bekerja akhirnya Uem mengajaknya makan. Seorang penadah ikan olahan sudah datang dan mengambil banyak ikan. Ia juga memesan lebih banyak lagi ikan olahan. Uem seorang perempuan yang terampil dan cekatan. Dalam waktu cepat ia telah selesai memasak hidangan khas penduduk pulau setempat. "Rasakanlah," ujar Uem. Chang mencicipi kuah sup ikan itu. "Ini sangat lezat!" seru Chang. "Makanlah, kau pasti sangat lapar."
Chang tak hentinya memuji kelezatan masakan Uem. Selain sup tadi, ada pula ikan bakar dan ikan yang dimasak bersama jamur. Uem benar-benar memahami cara menjamu tamu. "Aku berterima kasih atas kebaikan hatimu menampung dan memberiku makanan yang enak-enak. Aku minta maaf bila merepotkan karena sepertinya aku masih lama akan berada di sini. Sebelum mendapat kapal yang dapat membawaku ke Hallendoirf, apa yang bisa kulakukan di sini?"
"Kau bisa membantuku mengolah ikan. Aku akan membagi keuntunganku dengamu. Jika belum cukup, kau bisa mencari lagi. Bagaimana?"
"Tentu. Mengolah ikan tidak terlalu sulit bagiku. Di mana kau tidur mala mini? Kuliah di rumahmu hanya ada satu ranjang."
"Aku punya tikar lipat. Kau tidurlah di ranjang gantung."
"Aku banyak merepotkanmu."
"Bukan maumu. Tak mungkin aku membiarkanmu begitu saja setelah tertimpa musibah. Ayo tidur, besok aka nada banyak pekerjaan menunggu kita."
Peppe
"Tuan! Sebaiknya kita batalkan saja perjalanan dagang ini! Aku tidak mau berada di tengah-tengah perang! Kehadiran kita di sini hanya akan membahayakan nyawa kita! Aku sudah yakin sekarang Kerajaan Selatan akan memerangi Kerajaan Timur. Sebaiknya kita berhati-hati dan mencari jalan pulang yang jauh memutar." Taremb terlihat panik. Ia tak henti membujukku segera meninggalkan tempat ini. "Kita tidak bisa membiarkan penduduk desa-desa di perbatas menjadi korban prajurit Kerajaan Selatan. Kita harus memperingatkan mereka!"
Hari ini kami akan menuju Gosheang. Desa Gosheang bertetangga dengan desa Wring. Kedua desa itu dipisahkan oleh sungai besar dan jurang-jurang terjal. Untuk menuju ke Gosheang, kami perlu memutari perbukitan. Meski lebih jauh dan melelahkan, Gosheang merupakan salah satu persinggahan favoritku. Penduduknya ramah dan menjadi pelanggan tetap madu-madu yang kubawa. Sejak dini hari kami telah bersiap. Aku menyuruh Taremb menyiapkan perbekalan. Anak buahku yang lain telah mengangkut barang-barang ke atas kereta kuda. Setelah berpamitan dengan kepala desa Wring, kami berangkat.
Jalanan becek, licin, dan berbatu. Hujan semalam benar-benar mengubah jalan kecil yang kami lewati menjadi kekacauan. Batu-batu kerikil dan lubang-lubang membuat perjalanan kami tidak mulus. Segera saja cipratan lumpur mengotori kami. Rombongan kami bergerak pelan. Matahari mulai menyapa. Kabut menghalangi penglihatan. "Hai, bau apa ini?" salah seroang anak buahku berseru. "Taremb, kau menciumnya?" tanyaku. "Ya, ada bau menusuk. Aku akan memeriksanya, tuan." Rombonganku beristirahat di sebuah tanah lapang. Kami meneguk air bergantian dan menyiapkan makan siang. Taremb seorang diri mencari sumber bau yang mengganggu indera penciuman kami.
Lama Taremb pergi. Tiba-tiba ia kembali sambil berlari-lari dengan panik. "Tuan! Tuan harus melihatnya bersamaku! Lihatlag!" Aku menatap Taremb heran. "Ada apa Taremb? Kau sudah menemukan asal baunya?" Taremb terlihat ketakutan. Ia memaksaku memeriksa apa yang ditemukannya.
Aku menahan nafas. Bau itu, bau busuk aneh seperti sesuatu yang terbakar hingga gosong, sangat menyengat. Aku mengibas-ibaskan tangan di depan hidung. "Tuang," Taremb menoleh memandangiku dengan eksrepsi yang sulit kuterjemahkan. Di hadapanku, gundukan mayat yang telah dibakar hingga hitam. Dan mayat-mayat lainnya yang bergerlimpangan di sekitar gundukan. Sisa-sisa darah muncrat mencoreng dinding rumah. Banyak kerusakan. Bahkan tanaman dan ternak pun dalam kondisi buruk. Aku dan Taremb berkeliling, memeriksa tiap sisi Gosheang. Sepertinya tidak ada yang selamat atau utuh. Jejak-jejak sepatu prajurit terlihat di sana sini. Anak panah dengan ukiran tertentu pada tangkainya semakin menegaskan siapa pelaku yang begitu keji membantai penduduk Gosheang. "Kita harus kembali ke desa Wring sekarang juga dan memberi tahu keadaan darurat ini!"
Aku kembali ke tanah lapang dan memberi perintah, "Cepat bereskan seluruh perbekalan! Kita kembali ke desa Wring!" Anak buahku berpandangan. "Kenaoa tuan? Apa kita tidak akan berdagang ke Gosheang?"
"Gosheang sudah hancur oleh prajurit Kerajaan Selatan." Anak buhaku berpandangan. "Jangan diam saja!" ujarku memperingatkan. Kini waktu menjadi sangat berharga. Kami harus memberi tahu desa-desa di perbatasan. Ada musuh mengintai diam-diam, siap membekar desa mereka.
Ketika kami sampai di desa Wring, penduduk terlihat heran. "Apakah ada yang tertinggal?" tanya seorang warga. Taremb lalu menceritakan apa yang dilihatnya. Penduduk desa Wring nampak cemas. "Apa yang harus kami lakukan?" mereka bertanya-tanya. "Menurutku, kita harus mengungsi. Menyelamatkan nyaw alebih penting dari pada harta. Tinggalkan rumah-rumah kalian dan bawalah pakaian serta makanan secukupnya. Kita akan meninggalkan desa," perintah kepala desa. "Tapi kita wajib memperingatkan desa-desa lain di sepanjang garis perbatasan. Pasukan Kerajaan Barat bisa menyerang kapan saja," ujarku.
Maka kami berbagi tugas dengan penduduk desa Wring. Dua orang penduduk desa bernama Cuff dan Opet akan mengawal perempuan dan anak-anak menuju Gunung Suci untuk mencari bala bantuan dan persembunyian. Taremb, Moran, Boi, dan Eta akan berpencar ke desa-desa lain dengan menaiki kuda untuk menyebarkan berita tentang pasukan Kerajaan Barat. Sementara sisanya akan memeriksa jalur-jalur di sekitar perbatasan dan mencoba menutupnya.
"Lalu kenapa Raja Korguz harus memerangi saudaranya?"
"Mungkin iri. Entahlah. Ayah mereka sudah tiada dan tidak ada yang menjadi penengah."
"Bagaimana dengan perbatasan? Apakah dulu sering terjadi konflik dan ketegangan?"
"Tidak! Perbatasan selalu aman. Hubungan niaga kami berjalan lancar. Ini kali pertaman kami bersingungan dengan pasukan Kerajaan Selatan."
Sayang sekali salju cantik yang mulai menutupi tanah tercemar oleh serangan Kerajaan Selatan. Meski tidak ada satupun dari kedua kerajaan ini ada hubungannya denganku, tapi aku menyayangkan penyerangan ini. Aku seperti ikut merasakan kegetiran yang dirasakan penduduk di perbatasan. Walau bagaimanapun, merekalah pelanggan setia rombongan dagangku.
Kami sampai di jalur utama garis perbatasan antara Kerajaan Selatan dan Kerajaan Timur. Berupa jalan besar, di kiri kanannya ditutupi semak dan pepohonan. Kami memutuskan menumbangkan beberapa pohon besar untuk menghalangi akses terhadap jalan. Lalu kami menuju jalur kedua. Kami menggali tanahnya dalam-dalam dan meletakkan banyak tombak-tombak runcing sehingga tidak dapat dilompati. Kemudian kami mengalirkan air dan sedikit tanah ke dalamnya agar berlumpur dan keruh.
Beberapa jalur lain pun kami tutup sebisanya. Hari sudah lewat malam ketika kami telah menutup lima jalur. Pekerjaan menggali dan mengalirkan air benar-benar makan waktu. Peluh membanjiri tubuh. "Ada yang datang!" bisik seseorang. Kami segera merunduk. Bunyi tapal kaki kuda mendekat. Dua ekor kuda putih dengan surai yang indah ditunggangi dua orang dengan baju jala baja. Salah satunya mengenggam sebuah bendera. Temannya membawa obor dan pedang di pinggang. "Sial! Jalur ini sudah ditutup! Noa, lihat ini! Ada parit yang cukup dalam!"
"Kedatangan kita telah tercium," ucap orang yang dipanggil Noa itu. "Kita harus melapor pada tuan Xzat. Sebelumnya, kita cari dulu jalur yang lain." Aku memberi isyarat. Lima orang pemuda mengangguk sembari menggenggam kapak mereka erat-erat. Sisanya bersenjatakan sekop, cangkul, linggis, garpu jerami, dan pisau. Kami merayap, mengitari dua orang berkuda itu. Kami bermaksud memerangkap mereka. Kuda salah seorang prajurit meringkik. "Apa lagi ini?" teriak teman Noa. Aku menghambur sembari meneriakkan sumpah serapah. Kapakku menghantam helm salah satu prajurit. Orang-orang menghambur dari semak. Kedua prajurit malang itu menjadi bulan-bulanan. Setelah puas, kami mengambil senjata dan panji yang mereka bawa. Panji berlambang Kerajaan Selatan.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Pimpinan pasukan ini akan mencari anak buahnya yang tidak juga kembali," ujar kepala desa Wring. "Sembunyikan saja mayatnya," ujarku. "Kita harus kembali dan bermusyawarah dengan desa-desa lain." Kami lalu mengubur kedua jasad prajurit itu beserta kudanya dalam satu liang. Kemudian kami meninggalkan garis perbatasan.
Rim
Upacara penobatan berlangsung menjemukan. Selain harus beribadah mengelilingi Gunung Suci dan berpuasa sehari semalam, tanpa jeda aku membaca mantra-mantra. Aku hanya boleh berhenti ketika tengah membersihkan diri atau buang air. Lalu puncak upacara, aku harus memberkati kaum tanah timur. Seluruh penduduk desa Knmor, Knvan, dan Knwen berkumpul di kaki bukit menungguku membasuh kepala merak dengan air suci yang telah kuberi doa. Aku mendengarkan tiap permohonan mereka dan memohonkannya pada para dewa. Benar-benar menguras tenaga.
Ini hari pertama kepemimpinanku. Sepagi ini telah datang pasangan suami istri yang melaporkan kenakalan anak mereka dan meminta saranku. "Menngapa tidak kalian sendiri yang menasihati putra kalian?" tanyaku heran. "Rim, dia tidak mau mendengarkan kami. kami kira bila kau yang bicara langsung, ia akan lebih segan." Demi menyenangkan hati kaumku, akupun menemui anak itu.
Usianya tak jauh beda denganku. Ia tengah bermalas-malasan, kebiasaan yang selalu ia lakoni setiap hari seperti cerita orangtuanya. Aku mengejutkannya. Buru-buru ia bangkit dan menyambutku. "Rim!" ia menyapa riang lalu memersilakan aku duduk. "Apa kabar teman kecil?" tanyaku ramah. Setelah berbincang-bincang sekadarnya, aku mulai bicara ke pokok permasalahan. "Orangtuamu datang dan berkeluh kesah tentangmu." Ia langsung membuang muka. "Ada apa? Apa kau senang begini terus? Hidup harus berjalan dan memiliki perkembangan dari waktu ke waktu. Kau bukan anak kecil lagi. Kau wajib bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Carilah pekerjaan di luar desa jika kau tak ingin bertani atau beternak. Mungkin kau bisa berdagang."
Ia menunduk saja. Aku berusaha mencari perhatiannya. "Kau ceritakan saja apa maumu, biar aku yang membantumu mengatakan pada orangtuamu."
"Aku ingin bekerja ke kota tapi orangtuaku melarang. Mereka ingin aku meneruskan usaha mereka berladang. Karena itu satu-satunya harta berharga keluarga kami."
"Apa salahnya berladang?"
"Aku tidak ahli bertanam. Aku sering gagal panen."
"Apa kau tidak percaya bahwa tidak ada usaha yang sia-sia? Aku yakin kegagalan panen yang sebelumnya karena kau belum belajar banyak. Cobalah. Lagi pula, perempuan mana yang mau kau nikahi bila kau tak punya ladang atau ternak?"
"Elepta mau kunikahi. Ia bilang, asal aku punya pekerjaan, meskipun bukan peternak atau petani. Ia setuju aku berdagang atau berlayar. Ia juga mendukungku bekerja di gudang kerajaan. Mungkin orangtuanya kurang suka, tapi aku dan Elepta sudah sepakat."
Tenggorokanku tercekat. Pria muda ini adalah kekasih Elepta, perempuan yang selama ini ingin kusunting.
wow!!!!
BalasHapuskereeeeeennnnn....
salutttt
makasih mbak :D
BalasHapus