"Winda!" teriak Dirga. Winda menoleh smebari
mengusap air mata yang meleleh di pipinya. "Mas Dirga!" seru Winda
dengan nada sedih. "Kamu kenapa main jauh-jauh sampai kesini? Tadi Bulik
Nanik panik cari kamu kemana-mana. Kalau mau main sepeda, izin dulu sama mas
atau bulik. Biar orang di rumah tidak panik. Kamu orang baru di sini, kamu
belum hafal jalan. Ayo, biar mas gendong." Dirga mengangkat tubuh mungil
Winda. "Sepedaku bagaimana mas?" tanya Winda sambil terisak. Sepeda
berwarna merah jambu itu terlihat kotor dan lecet di sana sini. "Iya, kita
bawa," hibur Dirga.
Winda kecil mengaduh. Kaki dan tangannya terluka akibat
jatuh dari sepeda. Sepeda roda empat baru pemberian dari Bulik Nanik menabrak
pohon kelapa di pinggir sungai. Beruntung, sepeda dan winda tidak meluncur
masuk ke dalam sungai. Setelah menabrak pohon kelapa, sepeda itu oleng. Tubuh
Winda menghantam semak-semak yang cukup kuat menahan tubuhnya. Namun tidak
dengan luka-luka itu.
Sesampai di rumah, Bulik Nanik tampak panik. "Oalah,
nduk, cah ayu!" Tubuh Widna berpindah dari tangan Dirga ke tangan Bulik
Nanik. "Sini, bulik bersihkan lukamu dulu ya? Habis itu bulik suapi pakai
pecel. Sudah, jangan nangis. Nanti biar Mas Dirga perbaiki sepedamu. Lain kali
jangan diulang ya nak, jangan nakal. Kalau mau pergi main izin dulu. Kamu orang
baru di sini." Winda hanya memandangi sepeda merah jambunya dengan sedih.
Air matanya tidak juga berhenti mengalir. "Ayo, jangan nangis terus, malu
sama Mas Dirga. Ya kan mas?" ujar Bulik Nanik. "Percaya sama mas,
sepedamu nanti mas perbaiku biar jadi bagus lagi. Asal kamu nurut sama
bulik!" Mas Dirga mengusap kepala Winda dengan sayang.
Winda memperhatikan tangan dan kakinya yang dipenuhi
belitan perban. Setiap gerakan kecil membuatnya meringis akibat perih. Ia hanya
memandangi anak-anak tetangga yang tengah bermain di tanah lapang di samping
rumah bulik. Bulik melarangnya keluar rumah karena takut luka-luka di tangan
dan kaki Winda terkena debu. "Nanti infeksi," ujar bulik. Sementara
Mas Dirga tidak terlihat batang hidungnya. Winda menerka, mungkin Mas Dirga
membawa sepeda merah jambunya ke bengkel.
"Hei, kamu mau ikut main?" seru seseorang.
Winda melongok ke bawah jendela tempatnya bersandar. Nampak seorang bocah
lelaki seusia dirinya tengah membawa bola sepak. "Tidak, kata bulik aku
belum boleh main sebelum lukaku sembuh." Bocah itu mendekat. Ia
melongokkan kepalanya ke dalam untuk melihat Winda lebih jelas. "Kaki dan
tanganmu kenapa? Kok diperban?"
"Tadi aku jatuh dari sepeda," jawab Winda. Ia
mengamati bocah itu. Sejak kedatangannya ke rumah bulik, belum pernah ia
bertemu dengan bocah lelaki itu. Rambutnya berwarna coklat kemerahan, khas anak
yang suka bermain dengan sinar matahari. Kulitnya juga gelap, tidak seperti
kulit Winda yang kuning langsat. Bocah itu tidak memakai alas kaki. Winda
bergidik membayangkan cacing-cacing yang bisa menembus permukaan kulit bocah
itu, sepert cerita ibu padanya setiap ia membandel melepas sendalnya. "Kenapa
kamu tidak pakai sendal?" tanya Winda polos. "Mana bisa main bola
pakai sendal?" bocah itu balik bertanya. Raut muka winda terlihat heran.
"Kalau kamu mau main bola, pakai sepatu bola dong." Bocah itu
tertawa, "Kamu yang mau belikan?"
Percakapan itu berlanjut. Hingga setiap sore Winda selalu
bersandar di jendela, mengobrol dengan bocah lelaki dengan bola sepaknya.
Kadang Winda menonton ketika kaki-kaki lincah bocah itu tengah menggiring atau
menyepak bola. Kadang Winda ikut bertepuk tangan bila bocah itu menciptakan
gol. Meski ia tidak bisa keluar rumah untuk bermain, ia tidak merasa kesepian.
Winda justru menantikan waktu sore, saat bocah itu dan kawan-kawannya membuat
pertandingan bola.
"Nah, sekarang kamu boleh main nduk! Lihat,
luka-lukamu sudah sembuh," Bulik Nanik memeluk Winda dengan sayang.
"Untung lukamu sudah sembuh. Waktu liburanmu kan sudah selesai. Dua hari
lagi kamu harus masuk sekolah," sahut Mas Dirga. Masuk sekolah? Dua hari
lagi? Berarti aku pulang ke rumah? Tapi kan aku belum pernah main bola di
lapangan sebelah rumah bulik? Batin Winda bergemuruh. Beragam tanya memenuhi
benaknya. Seketika wajahnya menjadi kusut. "Ibumu sedang dalam perjalanan.
Hari ini kamu pulang," lanjut Mas Dirga. Winda berlari ke dalam kamar. Ia
segera duduk dan bersandar ke jendela. Daun jendela ia buka lebar-lebar. Namun
bocah itu, bocah yang bahkan belum ia tahu namanya, tidak terlihat mata.
Ibu datang lebih cepat. Ibu segera mengemasi
barang-barang Winda. Ketika mobil akan berangkat membawa ibu dan Winda, ia
merajuk. "Sebentar lagi bu, sebentar lagi," pintanya. Winda berlari
ke lapangan. Sesuatu dalam dadanya terasa naik turun dan membuatnya tidak
tenang. Bocah itu muncul sambil menimang kotak kecil yang cantik.
"Hei!" sapa bocah itu dari kejauhan. "Kamu sudah boleh keluar
rumah ya?" Tangis Winda hampir pecah. "Aku mau pulang, ke rumahku.
Aku masuk sekolah dua hari lagi. Liburanku sudah selesai." Bocah itu
terdiam. Ia menyorongkan kotak kecil yang cantik pada Winda. "Ini kotak
musik kakakku. Kata kakakku, aku boleh memberikannya untukmu. Jaga baik-baik
ya. Kamu boleh menyimpan anting atau gelang di situ." Bocah itu
melambaikan tangan lalu pergi. Winda termangu.
***
Dua belas tahun berlalu. Sejak terakhir kali aku
menginjakkan kaki di kota kecil ini. Kota tempatku pertama kali belajar naik
sepeda roda empat yang pada hari itu juga kubuat rusak. Kota tempatku berlibur
sebelum kudengar banjir besar memporakporandakan desa tempat Bulik Nanik dan
Mas Dirga tinggal. Hingga aku tak pernah lagi kemari sebelum hari ini.
Kulihat desa ini telah jauh berbeda. Jalanan yang dulu
berupa tanah dan batu kini berubah menjadi paving block rapi yang mengular
hingga perbatasan dengan desa tetangga. Lapangan becek tempat anak-anak dulunya
bermain sudah tak ada, beralih rupa menajdi bangunan sekolah dasar. Surau tak
jauh dari bekas rumah bulik dulu berdiri pun tak berbekas jejaknya. Dea
terlihat sepi. Mungkin karena musim panen membuat seluruh penduduk desa
berkumpul di sawah.
"Hei, siapa kamu?" bentak seorang lelaki.
Jantungku rasanya mau copot. Aku membalik badan. Seketika indera penciumanku
tersentak dengan bau alkohol dan bau badan yang bercampur menjadi satu. Membuat
kepalaku pening. Aku melangkah mundur. "Kenapa mundur? Mau bilang aku bau,
hah? Orang baru, jangan sombong kamu! Pasti kamu bukan penduduk desa ini, juga
bukan penduduk desa tetangga! Mau apa kesini?" Hardikannya yang kasar
membuatku ciut. Tanpa sadar langkahku semakin mundur. Ketika tangan lelaki itu
mencoba meraihku, aku menjerit dan berlari. Dasar pemabuk! Siang-siang begini
malah menggangguku!
Aku berlari, berusaha mencari tempat sembunyi. Hingga aku
melihat sebuah gudang yang pintunya sedikit terbuka. Aku langsung masuk dan
menutupnya dari dalam. Melalui bilik bambu, aku dapat melihat ke luar. Pemuda
mabuk itu tidak terlihat. Tentu saja, dia tidak mungkin mengejarku, dia kan
mabuk. Jalan saja sempoyongan, bicara saja tidak benar. Mungkin dia sudah
terkapar di tepi jalan. Setelah menghitung sampai angka 100, aku yakin keadaan
sudah aman. Aku keluar dari gudang.
"AAaaa!" aku menjerit ketika tasku ditarik dari
samping hingga aku terjatuh. Tukang mabuk itu! Ia tengah menggeledah isi tasku.
"Jangan buka tasku! Tidak sopan!" aku berteriak marah. Lelaki itu
menghalau tanganku. Terjadi tarik menarik. Entah apa yang ia inginkan, ponsel
atau dompetku. Tapi bahkan kupikir ia tidak menyadari apa yang ia cari. Karena
dia mabuk! Bruk. Sebuah kotak cantik berukuran kecil jatuh dari dalam tasku.
Kotak itu tempatku menyimpan jam tangan. Kotak itu kumiliki sejak SD, kudapat
dari seorang teman yang kukenal di desa ini.
Lelaki itu merenggut tas dan kotak berisi jam tanganku
lalu lari. Sebelum lari ia mendorongku lagi dan membuatku jatuh kedua kalinya.
Aku meringis kesakitan. Tanganku dipenuhi lecet. Pupus harapanku mencari teman
masa kecilku. Kotak yang dapat mempertemukanku dengan teman masa kecilku telah
berpindah tangan.
***
"Mana setorannya?" lelaki itu menarik kerah
baju temannya sembari melotot. Dengan takut, temannya menyerahkan sebuah tas
tangan wanita. "Hah! Isinya cuma sedikit!" lelaki itu meludah. Di
dalam tas tersebut tidak ada ponsel atau dompet, kecuali beberapa lembar uang
kertas seribuan, binder, dan bedak. Ketika ia merogoh, ia merasa sebuah benda
yang aneh. Ia mengeluarkan benda itu. Sebuah kotak perhiasan, yang beri untuk
seorang perempuan, dua belas tahun lampau.