"Ibu, saya mohon kerja sama ibu dalam membimbing
Adi. Belajar itu tidak cukup di ruang kelas lho, bu. Di rumah juga harus
belajar. Supaya pelajaran itu benar-benar diserap anak ddan tidak cepat lupa.
Kalau ibu cuma mengandalkan kami, guru-guru di sekolah, hasilnya kurang
memuaskan. Dengan mengulang pelajaran yang sudah diterima Adi di sekolah, Adi
akan lebih paham." Perempuan yang di hadapanku tetap berkelit. Melihat
kedua tangannya bersidekap saja sudah membuatku kurang nyaman.
"Saya ini single
parent, bu. Saya sibuk. Mana saya punya waktu mengajari Adi di rumah. Kalau
saya pulang, Adi sudah tidur. Saya berangkat kerja, Adi belum bangun. Makanya
saya serahkan sepenuhnya pendidikan Adi ke tangan pihak sekolah. Saya mohon ibu
juga memahami posisi saya dan mau membantu saya. Ibu tidak usah khawatir, kalau
Adi perlu les tambahan akan saya bayar di muka biayanya. Asal ibu tidak
memanggil ssaya lagi ke sekolah." Kalimat pembelaan meluncur deras dari
mulutnya. Perempuan ini benar-benar keras kepala!
"Bu, tidak ada yang dapat menggantikan peran seorang
ibu. Begitu pula kami, guru-guru yang mengajar Adi. Biarpun ibu mampu membayar
untuk biaya les tambahan Adi, percuma. Adi tidak membutuhkan waktu lebih lama
di sekolah. Adi membutuhkan ibu, perhatian ibu. Coba ibu berusaha meluangkan
waktu, sebentar saja." Perempuan ini menolak dengan gelengan keras. Ia
bangkit, masih bersidekap. "Saya kira sekolah ini cukup bagus untuk tempat
Adi menimba ilmu. Dan saya pikir biaya yang harus saya keluarkan juga pantas
membuat Adi mendapatkan fasilitas maksimal. Kalau bu guru masih menuntut saya
memperhatikan Adi, apa gunanya ibu dengan teman-teman? Buat apa saya bayar
mahal? Saya ibunya, saya paling tahu apa yang dibutuhkan Adi. Saya yakin Adi
cuma perlu les tambahan."
Ibunya Adi meninggalkan ruang guru, membiarkan otakku
panas dan jantungku melonjak-lonjak. Adi adalah salah satu muridku yang
spesial. Bukan karena ia berkebutuhan khusus atau disable. Dia justru sama saja dengan anak lain. Hanya, Adi anak
yang nakal. Ia sulit dikendalikan dan acap kali membuat keributan. Kami, para
guru, sepakat bahwa Adi mencari perhatian. Apalagi Adi anak semata wayang dari
seorang ibu yang single parent.
Sepanjang mengajar Adi, belum pernah aku bersua dengan ibunya. Kudengar ibunya
sangat sibuk. Sehari-hari Adi dirawat seorang pengasuh. Kemanapun ia pergi, ada
sopir pribadi yang siap menemani.
Sekolah kami memang tidak bisa dianggap murah karena
termasuk sekolah swasta unggulan di kota. Setiap tahunnya, kami terpaksa
menolak banyak calon murid yang ingin belajar di sini. Namun Adi adalah salah
satu anak yang beruntung karena ia termasuk golongan pertama pendaftar.
Setiap mendengar Adi membuat ulah, aku merasa tidak
nyaman. Bukan sekedar aku wali kelasnya. Aku peduli padanya. Bila sepulang
sekolah anak-anak lain dijemput orangtuanya, Adi dijemput oleh sopirnya.
Sementara sang pengasuh selalu mengawasi Adi meskipun ada saja kejadian yang
membuat ia lengah.
"Seorang anak harus diasuh dan menjadi tanggung
jawab ibunya. Bukan tanggung jawab pengasug!" seruku. Salah satu rekanku,
Merry, menepuk bahuku dengan lembut. "Kamu benar. Niatmu baik. Tapi jangan
salahkan dia. Kamu dengar sendiri betapa dia sangat sibuk mencari uang. Dia
cuma single parent dan dia harus
menghidupi Adi. Menurutku, dia hanya ingin yang terbaik untuk Adi.
Percayalah." Aku menggerutu lagi, "Bukan berarti ia menjadi single parent lantas ia menumpahkan
tanggung jawabnya mendidik Adi pada kita! Lagi pula, siapa suruh cerai? Kalau
tidak mau berat menanggung anak, jangan cerai dong." Merry mengelus dada.
"Sabar, sabar."
Adi termasuk muridku yang sering sakit. Dalam sebulan
bisa dua sampai tiga kali ia tidak masuk. Selain itu tubuhnya tergolong kurus
dan ia susah makan. Bila ada waktu luang, aku berusaha membuatkan camilan sehat
bagi anak didikku. Namun Adi selalu menolak camilan pemberianku. Baru kutahu,
ia tidak suka makanan manis. Ternyata Adi punya banyak daftar makanan pantangan
yang membuatnya tidak leluasa menikmati masakan. Selain makanan manis, ia juga
tak bisa menyentuh makanan asam dan pedas.
***
"Surat panggilan?!" aku mengeryit. "Apa
maksudnya?" Pengasuh Adi hanya menunduk takut. "Kamu bisa jaga Adi
tidak sih mbak? Saya kan cuma minta tolong, mbak jaga Adi setiap hari. Kenapa
sekarang saya malah dapat surat panggilan dari dewan guru?" Kumatikan
rokok dan kusambar ponsel. Niatku, menelpon wali kelas Adi dan menyelesaikan
masalah melalui telpon. Sayangnya, berulang kali aku menelpon dan tidak
mendapat respon.
Ketika aku muncul di ruang guru sekolah Adi, beberapa
pasang mata menatapku dengan janggal. Aku tidak peduli. Mungkin mereka tidak
terbiasa melihat perempuan berpakaian modis datang sebagai orangtua murid. Aku
memakai rok lace hitam berpotongan asimetris di atas lutut dengan blus kerah V.
Rambutku yang dipotong cepak kuberi foam lalu kubentuk acak agar terlihat lebih
manis.
Di hadapanku berdiri seorang perempuan yang menginjak
pertengahan dua puluhan tahun. Wajahnya ayu, dengan kerudung modis ala gadis
kebanyakan. Penampilannya tentu berbanding terbalik denganku. "Ada masalah
apa bu guru? Apa pengasuh saya kurang mengawasi Adi? Saya sudah sering dengar
Adi itu nakal dan suka menggangu teman. Tapi saya kira wajar Adi mengusili
temannya. Dia kan cuma anak-anak." Bu guru tersenyum. "Kalau soal
uang bulanan, apa pengasuh saya belum menyerahkan uang?" Bu guru membuka
mulut. "Ini bukan soal Adi nakal atau tidak, bukan pula soal uang bulanan.
Tapi tentang Adi dan ibu."
Deg! Aku? Aku menelan ludah. Apa kaitannya urusan sekolah
Adi denganku? "Begini bu, Adi tergolong cepat dalam menangkap pelajaran di
kelas. Tapi dia cepat lupa. Padahal kalau pelajaran itu diulang-ulang, tentu
lebih mudah ia serap. Apalagi sebenatr lagi kenaikan kelas. Adi belum hafal
perkalian lho, bu. Jadi saya mohon ibu memperhatikan Adi ketika sedang belajar
di rumah."
Memperhatikan katanya? Apa kurangnya perhatianku pada
Adi? Dia kudaftarkan ke sekolah bermutu, kubekali sopir dan pengasuh. Semua
permintaan Adi sebisa mungkin kukabulkan. Adi juga tidak sungkan bermanja
padaku. Tapi kenapa aku dianggap kurang perhatian? "Lho, ibu bagaimana
sih, ibu kan gurunya Adi, kenapa saya yang harus mengajari Adi perkalian?"
tanyaku sengit. Aku memberondongnya dengan segenap argumen dan emosi yang
kupunya. Semua terasa memuakkan. Harusnya mereka tahu betapa beratnya menjadi single parent. Apalagi Adi yang daya
tahan tubuhnya rendah dan memiliki banyak pantangan membautku sangat
berhati-hati dalam menyediakan menu.
"Bu, tidak ada yang dapat menggantikan peran seorang
ibu. Begitu pula kami, guru-guru yang mengajar Adi. Biarpun ibu mampu membayar
untuk biaya les tambahan Adi, percuma. Adi tidak membutuhkan waktu lebih lama
di sekolah. Adi membutuhkan ibu, perhatian ibu. Coba ibu berusaha meluangkan
waktu, sebentar saja." Kekesalanku memuncak. Biar besok Adi kupindahkan
sekolahnya ke tempat lain. Tempat yang guru-gurunya tidak berisik dan
menggangguku dengan surat panggilan orangtua.